Koalisi Masyarakat Sipil Temukan Indikasi Awal Kecurangan Pemilu
Koalisi masyarakat sipil bertekad tak akan menormalisasi dan memaklumi masifnya pelanggaran dan kecurangan Pemilu 2024.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil bertekad tidak akan menormalisasi dan memaklumi masifnya pelanggaran dan kecurangan selama Pemilu 2024. Mereka menemukan adanya dugaan pelanggaran pemilu yang masif, baik di dalam maupun luar negeri. Data sedang dikumpulkan untuk disalurkan ke jalur-jalur hukum yang konstitusional.
Penulis Okky Madasari yang juga mengelola Omong-omong Media saat konferensi pers ”Jaga Pemilu, Jaga Suara 2024, Kecurangan Pemilu dan Omong-omong Media”, di Jakarta, Sabtu (17/2/2024), mengatakan, selama pemilu pihaknya melakukan riset kualitatif di enam provinsi dan 17 kabupaten kota. Enam provinsi itu adalah Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Selatan. Riset dilakukan dengan pengamatan, wawancara, dan pendokumentasian pada H-2 hingga H+1 pemungutan suara.
”Kami melihat bahwa banyak TPS (tempat pemungutan suara) dan daerah yang dipantau, menjelang pencoblosan kepala desa, kepala lingkungan RT dan RW, dan dukuh sudah bergerak memenangkan dan mengarahkan pemilih mencoblos salah satu pasangan calon, bahkan calon anggota legislatif. Baik itu dilakukan secara tidak langsung melalui pendekatan halus maupun to the point dengan ancaman verbal,” ungkap Okky.
Selain itu, para kepala lingkungan itu juga terlihat aktif membagikan bahan kebutuhan pokok, sarung, atau uang tunai dalam lingkup program bantuan sosial (bansos) atau pribadi. Di beberapa pesantren juga ditemukan ada arahan, bujukan, bahkan pemberian uang dari kepala pesantren terhadap santri dengan nilai mulai dari ratusan ribu rupiah sampai Rp 1 juta per orang untuk memilih paslon tertentu.
”Campur tangan kepala lingkungan dan otoritas lokal itulah yang kami temukan sebagai salah satu faktor kunci bagi pemilih untuk memutuskan pilihannya. Sebagian besar di TPS itu memenangkan pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka,” ucap Okky.
Saat dicari tahu alasan mengapa mereka mau memilih pasangan tersebut, sejumlah alasan dikemukakan. Mulai dari rasa kasihan karena sudah berulang kali kalah dalam kontestasi pilpres, ingin minum susu dan makan siang gratis, karena ada arahan dari atas, takut program bansos tidak dilanjutkan, melihat figur tertentu gemoy, hingga kehadiran anak Presiden Joko Widodo. ”Ternyata faktor anak Jokowi betul-betul berperan dalam pemilu kali ini,” kata Okky.
Temuan lain, di beberapa TPS, surat suara untuk pilpres gambar paslon nomor urut 2 sudah terlebih dahulu dicoblos. Pihaknya masih akan menelusuri apakah itu hanya terjadi di TPS tertentu atau sudah sistematis dan masif. Ada pula video sejumlah orang mencoblos surat suara pilpres untuk paslon nomor urut 2 sebelum pencoblosan.
Temuan di luar negeri
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo memaparkan pihaknya juga melakukan pemantauan pemilu luar negeri di sejumlah wilayah. Migrant Care termasuk pemantau pemilu luar negeri yang terakreditasi Bawaslu. Temuan-temuan signifikan saat pemantauan pemilu di luar negeri yang diselenggarakan lebih awal adalah di Kuala Lumpur, Malaysia, ribuan orang berbondong-bondong dan berdesakan masuk ke TPS terpadu di WTC Kuala Lumpur.
”Di Malaysia, ada kontestan yang melakukan kampanye pada hari pencoblosan, yaitu Uya Kuya di depan WTC Kuala Lumpur di depan orang-orang yang sedang registrasi di TPS. Ini akan kami laporkan ke Bawaslu,” kata Wahyu.
Di Hong Kong ada 70.000 orang yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena ada perubahan mendadak dari mekanisme TPS ke pemilihan lewat pos. Hal itu sempat menimbulkan kericuhan.
Perubahan metode pemilihan di Hong Kong itu sebagian besar tidak diketahui oleh para pemilih yang sebelumnya telah mendapatkan undangan pencoblosan di TPS sehingga mereka masih berbondong-bondong datang ke Konsulat Jenderal RI (KJRI) untuk memilih. Dari 2.390, hanya sekitar 753 yang menggunakan hak suaranya atau sekitar 25 persen dari DPT. Ia khawatir ada unsur kesengajaan untuk menghindari para pekerja migran menggunakan hak pilihnya.
”Kami juga menemukan ketidakcermatan pemilihan waktu penyelenggaraan pemilu di daerah-daerah dengan data pemilih besar. Di sejumlah negara, pemilu justru dilakukan mendekati Imlek yang membuat partisipasi pemilih rendah,” kata Wahyu.
Sengkarut DPT luar negeri juga masih terjadi. Di Johor Bahru (Malaysia) dan New York (Amerika Serikat) masih ditemukan banyak data pemilih ganda yang berpotensi pada penggelembungan suara.
Temuan lain dari Migrant Care adalah dugaan penggelembungan suara di Daerah Pemilihan (Dapil) DKI Jakarta II. Pihaknya menemukan total perolehan suara caleg di Dapil Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan luar negeri itu mencapai 8.279.233. Menurut Wahyu, ada dugaan penggelembungan suara hingga 190 persen di dapil tersebut karena seharusnya perolehan suara hanya sekitar 4,3 juta.
Politik gentong babi
Feri Amsari dari kecuranganpemilu.com menambahkan, kecurangan tidak hanya terjadi saat pemungutan suara. Menurut dia, kecurangan bahkan sudah bisa dilihat saat penunjukan penjabat kepala daerah. Di samping itu, politisasi bansos dan politik uang yang menurut dia adalah praktik politik gentong babi. Sederhananya, politik gentong babi adalah memberikan gula-gula kepada pihak tertentu agar mau mendukung kebijakan Presiden Jokowi.
”Termasuk juga kenaikan insentif gaji dan tunjangan penyelenggara pemilu, baik KPU, Bawaslu, ASN, maupun TNI/Polri, itu tidak sehat bagi demokrasi karena kebijakan itu akan menguntungkan anak dari petahana yang maju dalam kontestasi pilpres. Ini juga tidak baik bagi proses penyelenggaran negara,” kata Feri.
Ia juga memetakan tiga jenis aparat penyelenggara negara, mulai dari menteri, presiden, hingga kepala daerah, yang diduga konflik kepentingan serta memanfaatkan fasilitas dan anggaran negara untuk mendukung salah satu paslon.
Dari sisi penyelenggara pemilu, mereka mengabaikan aspek prosedural karena langsung menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 yang menjadi karpet merah pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi. Padahal, putusan itu dibuat dengan pelanggaran etik konflik kepentingan karena paman Gibran, Ketua MK Anwar Usman, ikut menyidangkan perkara itu. Peraturan KPU yang digunakan untuk menetapkan Gibran sebagai calon juga dibuat surut ke belakang.
”Pola-pola kecurangan itu sudah kami petakan. Tetapi, mohon maaf tidak bisa kami sampaikan secara detail karena akan menjadi bahan untuk menggugat ke MK,” ujar Feri.
Tergantung hakim
Secara terpisah, calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD, seusai menghadiri pengukuhan guru besar di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, menjelaskan bahwa saat menjadi Ketua MK, ia pernah memutus pembatalan hasil pemilu dalam bentuk perintah pemilihan ulang ataupun pembatalan penuh hasil pemilu. Dengan putusan pembatalan pemilu itu berdampak pada yang menang dinyatakan diskualifikasi dan yang kalah bisa naik menjadi pemenang.
“Jadi, pemilu ulang itu bisa. Misalnya, hasil Pilkada Jawa Timur 2008 saat Khofifah dinyatakan kalah dari Soekarwo, kami batalkan dan hasilnya diulang. Kedua, hasil Pilkada Bengkulu Selatan yang menang didiskualifikasi dan bawahnya langsung naik. Ketiga, hasil Pilkada Kota Waringin Barat yang juga pemilihan ulang,” ujar Mahfud.
Ia menjelaskan bahwa pada 2008 saat MK memutus sengketa Pilgub Jatim, ia menjadi hakimnya. Saat itulah pertama kalinya istilah pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) muncul sebagai vonis pengadilan di Indonesia. Pelanggaran TSM sudah menjadi yurisprudensi. Sekarang, jika ada pihak yang merasa bahwa pemilu kali ini ada kecurangan secara TSM, selama ada bukti-bukti yang kuat, hakimnya bisa memutus dengan vonis yang sama.
“Tergantung hakimnya punya bukti atau tidak. Atau, kalau sudah punya bukti, menerima bukti apakah berani atau tidak,” ujar Mahfud.
Ia juga menyebut bahwa apa pun hasil dari pilpres, ia akan terus berjuang untuk demokrasi dan keadilan. Menurut dia, jalan perjuangan untuk demokrasi dan keadilan bukan hanya pemilu. Pemilu hanya salah satu ekspresi demokrasi.
“Saya pernah tak ada di jabatan apa pun pada 2014-2016, tetapi tetap produktif berjuang dalam demokrasi dan penegakan hukum,“ kata Mahfud.
Mahfud berpandangan gerakan masyarakat sipil dan kampus-kampus adalah justru sumber gerakan demokrasi dan perubahan dari otoritarianisme menuju demokrasi. Sejarah telah mengajarkan bahwa jika demokrasi disumbat, demokrasi akan selalu membuka jalan sendiri. “Ini sejarah kita maupun sejarah dunia,” ucapnya.