Ikhtiar agar Suara Tetap Terjaga
Proses rekapitulasi yang panjang membuat potensi manipulasi suara juga besar. Bagaimana kiat untuk mengamankan suara?
Setelah pemungutan suara berakhir, tanggung jawab para peserta pemilu tidak berakhir begitu saja. Masih ada tahapan rekapitulasi suara yang tak kalah krusial dan melelahkan. Pada tahap ini, potensi kecurangan untuk memanipulasi suara yang bisa menggagalkan calon anggota legislatif memperoleh kursi parlemen relatif besar.
Tak ayal, para kontestan pemilu mengerahkan kader serta menyerukan kepada masyarakat untuk ikut mengawal suara. Sejumlah elemen masyarakat pun berpartisipasi dengan membuat kanal-kanal untuk mengawal proses penghitungan suara. Ada KawalPemilu, ada pula JagaSuara2024, dan lainnya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Lalu, bagaimana kiat bagi caleg dan pemilih untuk mengawal suaranya agar tetap terjaga?
Pada Pemilu 2024, penetapan hasil secara resmi menggunakan rekapitulasi berjenjang mulai dari tingkat tempat pemungutan suara (TPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota, KPU provinsi, hingga KPU RI. Meski menyediakan aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap), KPU tidak menggunakan data penghitungan suara yang diunggah dalam Sirekap itu sebagai basis penetapan hasil pemilu.
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilu, rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan pada empat tingkat. Setelah penghitungan suara di TPS, rekapitulasi dilakukan pada tingkat kecamatan (PPK), kabupaten/kota, provinsi, dan nasional di KPU RI.
Proses rekapitulasi suara berlangsung selama 35 hari, dimulai dari rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat kecamatan oleh PPK pada 15 Februari hingga 2 Maret. Selanjutnya, rekapitulasi dilakukan di KPU kabupaten/kota pada 17 Februari hingga 5 Maret. Kemudian pada 19 Februari hingga 10 Maret, rekapitulasi suara digelar di KPU provinsi. Setelah itu, rekapitulasi tingkat nasional dimulai 22 Februari hingga 20 Maret yang dilakukan oleh KPU RI.
Panjangnya proses rekapitulasi setiap jenis surat suara pun berbeda bergantung tingkatan. Rekapitulasi suara pemilihan anggota DPR, DPD, dan pilpres melalui empat tingkat, mulai dari kecamatan hingga nasional. Sementara untuk pemilu anggota DPRD provinsi melalui tiga tingkat, hanya sampai provinsi. Sementara bagi pemilu anggota DPRD kabupaten/kota perlu rekapitulasi hingga dua tingkat, yakni sampai rekapitulasi tingkat kabupaten/kota.
Paling panjang di dunia
Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ramlan Surbakti mengatakan, salah satu kelemahan pemilu Indonesia adalah proses rekapitulasi hasil penghitungan suara paling panjang di dunia. Butuh waktu hingga 35 hari sebelum peserta pemilu dan publik mendapatkan hasil pemilu secara resmi dari KPU. Panjangnya proses rekapitulasi berjenjang itu memunculkan potensi manipulasi hasil penghitungan suara yang juga cukup besar.
Potensi manipulasi suara paling besar terjadi saat proses rekapitulasi tingkat kecamatan yang dilakukan oleh PPK. Hal itu disebabkan oleh banyaknya hasil perolehan suara yang harus direkapitulasi dari setiap TPS.
Situasi itu sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memanipulasi suara. Modusnya, saksi parpol bekerja sama dengan penyelenggara pemilu untuk mengubah hasil perolehan suara. Potensi manipulasi terbesar adalah memindahkan suara partai ke caleg atupun antara satu caleg ke caleg lain dalam satu partai. Manipulasi itu cenderung tidak dipermasalahkan oleh saksi dari parpol lain karena dianggap tidak merugikan.
”Manipulasi hanya bisa dilakukan jika ada kerja sama antara saksi dan penyelenggara karena tidak mungkin parpol bisa mengubah sendiri tanpa bantuan dari KPPS (Kelompok Panitia Pemungutan Suara),” ujar Ramlan saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (16/2/2024).
Di sisi lain, peluang manipulasi di antara caleg dalam satu parpol yang sama sering terjadi karena saksi parpol juga merangkap sebagai saksi caleg. Saksi tersebut cenderung loyal kepada caleg yang bisa memberikan uang lebih. Saksi cenderung memilih mengamankan suara caleg tertentu ketimbang parpol sampai rekapitulasi berakhir.
Manipulasi hanya bisa dilakukan jika ada kerja sama antara saksi dan penyelenggara karena tidak mungkin parpol bisa mengubah sendiri tanpa bantuan dari KPPS (Kelompok Panitia Pemungutan Suara).
Menurut Ramlan, kemampuan saksi dari peserta pemilu untuk rekapitulasi suara tingkat kecamatan sering kali kurang memadai. Situasi ini mengakibatkan rekapitulasi di tingkat kabupaten/kota ataupun provinsi menjadi lama. Sebab, hal-hal yang seharusnya diselesaikan di rekapitulasi tingkat kecamatan justru dibawa ke tingkat kabupaten/kota, bahkan provinsi.
Ramlan menuturkan, kunci untuk mengawal rekapitulasi suara adalah memiliki formulir model C.Hasil plano. Setiap caleg sebaiknya meminta salinan formulir tersebut kepada parpol karena setiap parpol diberikan salinan di TPS. Bahkan, jika tidak ada saksi parpol di TPS pun, KPU tetap memberikan salinan kepada parpol.
Formulir C.Hasil itu bisa menjadi pembanding saat rekapitulasi suara di setiap tingkatan. Jika ada perpindahan suara, caleg bisa mengetahuinya dan menjadikannya sebagai bahan untuk mengajukan laporan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
”Sebisa mungkin caleg mendapatkan salinan formulir C.Hasil untuk mengamankan suara yang diperoleh,” katanya.
Masyarakat, lanjut Ramlan, juga bisa berkontribusi dengan mengunggah formulir C.Hasil plano ke laman-laman pengawalan suara. Ada beberapa kelompok yang memfasilitasi pengawalan suara, di antaranya KawalPemilu dan JagaSuara2024. Semakin banyak partisipasi publik, maka peluang pihak-pihak untuk memanipulasi suara semakin kecil.
Mantan Ketua Bawaslu, Abhan, menuturkan, potensi kecurangan salah satunya terjadi saat rekapitulasi suara di PPK. Data hasil penghitungan suara di TPS yang tercatat dalam formulir C.Hasil bisa berubah dalam rekapan di PPK.
Oleh karena itu, Abhan mengingatkan, pengawas pemilu dan saksi peserta pemilu pada setiap tingkatan rekapitulasi harus mengawasi dengan jeli dan teliti. Mereka harus membawa salinan formulir C.Hasil dari tiap-tiap TPS. Para saksi pun harus membawa segala catatan keberatan yang disampaikan saat penghitungan suara di TPS.
Selain itu, pengawas TPS dan saksi peserta pemilu harus membawa hasil rekapitulasi sebelumnya. Misalnya ketika akan mengikuti rekapitulasi di PPK, saksi harus punya data formulir C.Hasil dari TPS. Begitu pula ketika akan menyaksikan rekapitulasi suara di kabupaten/kota, saksi sebaiknya membawa hasil rekapitulasi di PPK dan seterusnya sampai tingkat nasional.
”Sampaikan keberatan apabila ditemukan kejanggalan saat proses rekap di setiap tingkatan. Bila ada dugaan pelanggaran saat rekap, sampaikan segera ke jajaran pengawas pemilu. Bila dipandang perlu harus hitung ulang, sampaikan permohonan hitung ulang,” ujar Abhan.
Menurut dia, laporan dugaan manipulasi sebaiknya dilaporkan sebagai pelanggaran administratif ke Bawaslu dibandingkan dengan membawa masalah ke Mahkamah Konstitusi. Penyelesaian di Bawaslu bisa diadukan dalam waktu tujuh hari dan waktu penyelesaian bisa lebih cepat. Sementara kalau membawa masalah ke MK, perlu rekomendasi dari parpol karena yang memiliki legal standing peserta pemilu adalah parpol.
”Kalau parpol tidak mengizinkan, caleg tidak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan suaranya,” kata Abhan.