Laporan Jaga Pemilu, Mayoritas Dugaan Pelanggaran Dilakukan ASN
Sanksi yang kurang tegas membuat banyaknya kasus pelanggaran oleh ASN. Contoh dari pimpinan negara juga ikut menentukan.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mayoritas dugaan pelanggaran pemilu yang dilaporkan kepada Perkumpulan Jaga Pemilu Indonesia berkaitan dengan netralitas aparatur sipil negara atau ASN dan politik uang. Banyaknya pejabat negara yang tidak netral selama pemilu memberikan contoh buruk bagi ASN untuk melakukan hal yang sama.
Divisi Advokasi dan Hukum Perkumpulan Jaga Pemilu Rusdi Marpaung menuturkan, terdapat pejabat negara yang tidak netral selama pemilihan umum. Hal ini kemudian dinilai memengaruhi sikap ASN di berbagai daerah di Indonesia.
”Kita bisa melihat menteri ikut kampanye tanpa cuti atau kita tidak tahu apakah cuti atau tidak. Petinggi BUMN (badan usaha milik negara) juga kampanye dan sanksinya tidak ada. Ini berjalan dari atas ke bawah. Di sisi lain, sanksinya tidak ada,” tutur Rusdi dalam konferensi pers Jaga Pemilu di Jakarta, Senin (12/2/2024).
Sanksi pelangaran netralitas ASN sangat lemah karena hanya berupa teguran dan saksi administraf. Sanksi ini tidak memberikan efek jera kepada ASN.
Kita bisa melihat menteri ikut kampanye tanpa cuti atau kita tidak tahu apakah cuti atau tidak. Petinggi BUMN juga kampanye dan sanksinya tidak ada. Ini berjalan dari atas ke bawah. Di sisi lain, sanksinya tidak ada.
Berdasarkan data dari situs web jagapemilu.com, terdapat 150 laporan masuk dan telah diverifikasi berdasarkan wilayah. Lima laporan terbanyak berasal dari DKI Jakarta, diikuti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Laporan itu dikumpulkan dalam periode Januari-Februari 2024.
Sebagian besar ASN
Sekretaris Perkumpulan Jaga Pemilu Luky Djani mengatakan, berdasarkan data dari laporan yang masuk ke Jaga Pemilu serta pemantauan media sosial dan media online, pelanggaran pemilu didominasi oleh prinsip netralitas ASN sebanyak 39 persen. Selanjutnya terdapat laporan politik uang (20 persen), pelanggaran kampanye (17 persen), kasus-kasus unik (11 persen), pelanggaran administrasi (8 persen), dan intimidasi (5 persen).
Berdasarkan data dari laporan yang masuk ke Jaga Pemilu serta pemantauan media sosial dan media online, pelanggaran pemilu didominasi oleh prinsip netralitas ASN sebanyak 39 persen. Selanjutnya terdapat laporan politik uang (20 persen), pelanggaran kampanye (17 persen), kasus-kasus unik (11 persen), pelanggaran administrasi (8 persen), dan intimidasi (5 persen).
Aktor-aktor yang diduga melanggar aturan pemilu sebagian besar adalah ASN sebanyak 32 persen, calon anggota legislatif (29 persen), dan cawapres nomor urut 2 (10 persen). Ada pula pelanggaran oleh penyelenggara pemilu, kepala daerah, partai, Kementerian Pertahanan, paslon nomor urut 3, dan Presiden.
Pelanggaran didominasi oleh pelanggaran tindak pidana pemilu (44 persen), disusul dugaan pelanggaran hukum lain (33persen), dugaan pelanggaran administrasi (13 persen), dan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara (10 persen).
Inisiator Jaga Pemilu, Ketua Bawaslu 20117-2022, Abhan, mengatakan, ada perubahan tren dugaan pelanggaran pemilu. Pada pemilu 2019, laporan pelanggaran pemilu terjadi mayoritas melibatkan para peserta pemilu. Sementara itu, laporan terkait netralitas ASN tidak terlalu banyak.
”Laporan terkait netralitas ASN baru muncul menjelang pilkada. Selama pilkada, ASN didesak untuk memberikan dukungan kepada atasan yang merupakan pejabat pembina kepegawaian. Hal ini membuat ASN bersikap tidak netral,” tuturnya.
Laporan terkait netralitas ASN baru muncul menjelang pilkada. Selama pilkada, ASN didesak untuk memberikan dukungan kepada atasan yang merupakan pejabat pembina kepegawaian. Hal ini membuat ASN bersikap tidak netral.
Kini, prinsip netralitas ASN terjadi menjelang Pemilu 2024. Ia menyebutkan, sanksi terhadap ASN yang kurang tegas membuat banyaknya kasus pelanggaran.
Laporan dari Jaga Pemilu akan dibawa ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). ”Bawaslu punya fungsi menginvestigasi. Karena itu, Bawaslu harus transparan dalam upayanya menangani potensi pelanggaran yang masyarakat temukan. Ini untuk menjaga kepercayaan publik terhadap proses penyelenggaraan,” katanya.
Masa tenang
Dalam pemaparannya, Jaga Pemilu menyebutkan sejumlah potensi pelanggaran selama masa tenang dan menjelang pemilu, yaitu pendekatan door-to-door untuk mendapatkan dukungan, jual beli suara atau ”serangan fajar”, dan pelanggaran netralitas petugas tempat pemungutan suara (TPS). Ada pula masalah dalam distribusi logistik, proses penyampaian formulir pemberitahuan memilih, dan pendirian TPS.
Melihat rawannya pelanggaran pemilu, pengawasan terhadap jalannya pemilu sangat dibutuhkan.
Belajar dari pemilu sebelumnya, Luky Djani menyebutkan, terdapat pula potensi pelanggaran dan manipulasi suara pemilih, seperti politik uang, intimidasi terhadap pemilih, mobilisasi pemilih, intimidasi kepada penyelenggara, pemilih tidak memenuhi syarat menggunakan hak pilihnya, dan pemilih yang mempunyai hak suara tidak dapat menggunakan hak pilihnya. ”Melihat rawanya pelanggaran pemilu, pengawasan terhadap jalannya pemilu sangat dibutuhkan,” katanya.
Antropolog Sandra Hamid mengatakan, demokrasi sudah menghasilkan sistem pemerintahan yang secara demokratis dipilih oleh masyarakat pada Pemilu 2014 dan 2019. Meskipun ada kemunduran demokrasi, hal itu tidak berarti sistem tersebut bukan pilihan yang tepat untuk diterapkan di Indonesia.
Ia justru menilai, dengan adanya demokrasi, masyarakat bisa terus berpartisipasi untuk menentukan arah pembangunan negara ini. Manfaat demokrasi seharusnya disadari bukan hanya oleh akademisi, tetapi juga oleh masyarakat sipil.
”Kalau masyarakat memercayai demokrasi itu hal yang baik, kita akan mempertahankan nilai demokrasi. Apakah demokrasi harus diteruskan? Tentu harus diteruskan karena itu menjadi itikad baik, dan sudah ada keberhasilnya. Tetapi, masyarakat harus lebih menyadari kenapa (demokrasi) itu perlu,” katanya.