Masyarakat Sipil Nilai Presiden Jokowi Gagal Penuhi Hak Ekosob dan Sipol Masyarakat
Sejumlah elemen masyarakat sipil menyampaikan posisi pemenuhan hak ekosob dan hak sipol 10 tahun terakhir ini.
JAKARTA, KOMPAS — Beberapa lembaga masyarakat sipil menyoroti lemahnya pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya, ataupun hak sipil dan politik dalam 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo. Penerbitan aturan perundangan sapu jagat, seperti Undang-Undang Cipta Kerja dan UU Kesehatan, disorot sebagai salah satu sumber masalah.
Indonesia menjadi bagian komunitas internasional setelah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (ekosob) melalui UU No 11/2005. Untuk itu, Dewan PBB terkait Hak Ekosob akan mengevaluasi Indonesia dan beberapa negara lain, seperti Romania, Mauritania, Irlandia, Irak, dan Swedia, sepanjang 12 Februari sampai 1 Maret. Indonesia dijadwalkan mengikuti evaluasi pemenuhan hak ekosob pada 20-21 Februari.
Adapun Dewan HAM PBB akan memantau penerapan Kovenan Hak Sipil dan Politik (sipol) dari negara-negara yang sudah meratifikasi. Indonesia merativikasi kovenan ini melalui UU No 12/2005. Sesi ke-140 dari komite ini akan mengevaluasi pelaksanaan hak sipil politik di Indonesia, termasuk Chile, Guyana, Namibia, Serbia, Somalia, Kerajaan Inggris, dan Irlandia Utara. Indonesia sendiri saat ini menjadi anggota Dewan HAM PBB setelah terpilih kembali pada 10 Oktober 2023.
Beberapa lembaga masyarakat, seperti Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia bersama International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, menyampaikan posisi pemenuhan hak ekosob dan hak sipol 10 tahun terakhir ini.
Program Officer for Human Rights and Democracy International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Ari Wibowo, di Jakarta, Minggu (11/2/2024), menjelaskan, pemenuhan hak ekosob dan sipol mestinya mendorong pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), demokrasi, serta menurunkan ketimpangan. Kenyataannya tak demikian.
”Ada inkonsistensi (upaya mencapai SDGs, demokrasi, dan menurunkan ketimpangan) dengan munculnya kebijakan dan regulasi, seperti UU Cipta Kerja, UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (No 4/2023), termasuk omnibus law UU Kesehatan (No 17/2023) yang meliberalisasi layanan kesehatan,” tutur Ari dalam konferensi pers terkait Posisi Politik Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Advokasi HAM Internasional: Sisi Gelap Pembangunan Era Jokowi dalam Dua Modus Represi (Populisme Sektarian dan Dalih Pembangunan).
Akibat regulasi yang tak berpihak kepada masyarakat, ketimpangan makin meningkat. ”Tingkat kemiskinan memang turun di atas kertas dibandingkan tahun 2022, tetapi ketimpangan pengeluaran malah meningkat 0,7 poin dari tahun sebelumnya,” kata Ari.
Dari segi penghormatan hak atas tanah, bumi, dan air, lanjutnya, studi INFID dan Setara Institute menemukan penurunan drastis. Proyek-proyek strategis nasional (PSN) dinilai mengabaikan hak masyarakat adat dan terus menjadi sumber perampasan hak lahan warga.
Baca juga: Pojok Pemilih
Deputi Internal Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) M Ishlah menambahkan, pemerintah cenderung melanggar prosedur pengukuran daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan yang semestinya dilakukan terlebih dahulu sebelum proyek dikerjakan.
Justru, ujarnya, proyek ditetapkan dulu, lalu AMDAL (analisis dampak lingkungan) dan berbagai aturan di atasnya termasuk rencana tata ruang wilayah (RTRW) disesuaikan kemudian. Bahkan, penggusuran tetap dilakukan terlebih dahulu. Hal ini diterapkan, misalnya, dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Karena itu, kata Ishlah, jangankan mengharap hak atas informasi ataupun pelibatan masyarakat dalam pembangunan. Umumnya, masyarakat tidak tahu rencana pembangunan di wilayahnya dan tiba-tiba digusur, seperti dalam kasus pembangunan Rempang Eco-city di Pulau Rempang, Batam.
Peneliti Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi, juga menilai pemenuhan hampir semua hak ekosob masyarakat merosot dalam 10 tahun terakhir. ”Dalam perspektif hak ekosob, ketika terjadi kemerosotan, di situ terjadi pelanggaran HAM,” ujarnya.
Dalam pengerjaan proyek-proyek strategis nasional, lanjut Palupi, perampasan hak masyarakat, terutama hak atas tanah, kerap terjadi. ”Perampasan hak dianggap selesai setelah ganti rugi diserahkan. Soal masyarakat hidup atau mati (dianggap) bukan tangung jawab negara,” ujarnya.
Kebebasan pers
Sementara Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito Madrim menyoroti tiadanya sumbangsih pemerintahan Presiden Jokowi terhadap kemerdekaan pers. Sebab, 10 tahun terakhir, Indeks Kebebasan Pers, seperti dikerjakan Reporters Without Borders (RSF) pada 2023, stagnan. Adapun dalam indeks kebebasan pers yang dilakukan Dewan Pers di tahun 2023 terdapat penurunan pada indikator regulasi, keamanan, ataupun keamanan ekonomi pekerja media.
”Di era Presiden Jokowi, cukup banyak regulasi yang dibuat dan mengancam kerja-kerja jurnalis mulai UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang setelah revisi masih ada pasal-pasal karet, KUHP (UU 1/2023) juga, UU Perlindungan Data Pribadi. Bahkan, pasal tentang berita bohong yang dibuat tahun 1946 masih digunakan untuk menjerat jurnalis di daerah,” tuturnya.
Perampasan hak dianggap selesai setelah ganti rugi diserahkan. Soal masyarakat hidup atau mati (dianggap) bukan tangung jawab negara.
Tak hanya itu, di wilayah tertentu, seperti di Papua, Kementerian Komunikasi dan Informatika menyiapkan gugus tugas untuk mengendalikan informasi. Ini dilakukan supaya hanya narasi positif yang muncul. Dari sisi keamanan, AJI mencatat sepanjang 2023 ada 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis dengan kasus terkait pemberitaan. Ini angka tertinggi dalam satu dekade terakhir.
Dari sisi keamanan ekonomi, UU Cipta Kerja kini mengancam keberlangsungan hidup pekerja media. Saat ini, sudah ribuan pekerja media yang diberhentikan (PHK) dengan mengacu UU Cipta kerja.
Jangankan keberlangsungan pekerjaannya, AJI Indonesia mendapati 50 persen jurnalis masih menerima upah di bawah angka upah minimum provinsi. Ini, kata Sasmito, pembiaran negara sehingga jurnalis tidak mendapat upah layak.
Pemenuhan hak ekosob dan hak sipol masyarakat di Papua juga dinilai tak lebih baik kendati masyarakat Papua pernah memilih Jokowi sebagai presiden dan menaruh harapan besar. Deputi Direktur Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua Yuliana Langowuyo menyebutkan kebebasan berekspresi di Papua sangat dibungkam.
”Kalau dulu, (aktivis) dibubarkan di lapangan. Sekarang langsung diamankan dari rumah-rumah, saat baru di titik kumpul, sudah dijemput. Bahkan, ketika kami diskusi buku, didatangi hampir 50 personel polisi lengkap dengan senjata. Ini bukti konkret kebebasan berekspresi ditekan betul di Papua,” tutur Yuliana.
Selain itu, konflik bersenjata antara TNI dan TPNPB mengakibatkan banyak masyarakat yang mengungsi ke rumah-rumah keluarganya di wilayah lain. Akibatnya, masyarakat tak bisa berkebun dan berusaha, anak-anak pun tak bisa sekolah. Namun, pemerintah terus mengirim personel militer dari luar Papua dengan alasan penegakan hukum.
”Ini memperburuk situasi di tanah Papua. Dua pihak baku tembak dan korban paling parah adalah masyarakat,” kata Yuliana.
Dia meminta Pemerintah RI menghentikan pengiriman personel militer. Tanpa pendekatan sipil dan dialog Jakarta-Papua, Yuliana menilai kondisi masyarakat tidak akan membaik.
Daniel Awigra Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia menyimpulkan secara umum terdapat dua modus represi yang dilakukan pemerintah—represi sektarian dan represi dengan dalih pembangunan. Represi sektarian populisme menggunakan isu kelompok mayoritas berdasarkan agama, rasa, etnis, dan golongan untuk kepentingan dirinya dan meminggirkan kelompok rentan. Adapun represi berikutnya dilakukan dengan dalih pembangunan.
Hal ini disampaikan kepada Dewan PBB untuk Ekosob dan Dewan HAM PBB. Selain itu, para aktivis lembaga masyarakat sipil ini pun meminta Presiden Jokowi mengundurkan diri dari jabatan karena gagal memenuhi hak ekosob dan hak sipol masyarakat.
”Koalisi masyarakat sipil Indonesia dengan ini menyatakan posisi politik: menggugat dan mendesak Presiden Joko Widodo untuk mundur dari jabatannya karena lalim, tidak melaksanakan mandatnya, yakni menjalankan pemerintahan secara adil untuk semua,” tutur Daniel Awigra, Sri Palupi, Ishlah, Sasmito, serta sejumlah rekan lainnya.
Terkait hal ini, Koordinator Staf Khusus Presiden yang juga menjadi Juru Bicara Presiden Jokowi, Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana, menolak menanggapi. ”Tanya saja Menkumham (Menteri Hukum dan HAM) karena beliau juga 10 tahun mengurusi (HAM),” ujarnya.