Setelah Putusan DKPP, Lebih dari 25 LSM Minta Ketua KPU Hasyim Asy’ari Mundur
Demi pulihkan kepercayaan dan pemilu yang legitimate karena proses selama ini dinilai curang, Ketua KPU diminta mundur.
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih, yang terdiri dari lebih dari 25 lembaga swadaya masyarakat, Rabu sore, dalam rilisnya, meminta Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy’ari mundur dari jabatannya. Hasyim dinilai telah melanggar etik sebanyak empat kali.
Pelanggaran etik yang diputuskan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terhadap ketua dan enam anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin dinilai sangat serius oleh koalisi.
Putusan MK tentang syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, yang tidak segera dikonsultasikan kepada DPR, bisa membuat penilaian publik bahwa calon wakil presiden yang ditetapkan KPU dinilai cacat etik. KPU yang punya peran penting sebagai penyelenggara pemilu akan semakin jauh nilai etika, profesionalitas, dan integritasnya melaksanaan pemilu yang tinggal enam hari lagi.
Mundurnya Hasyim dinilai penting agar publik tidak semakin kehilangan kepercayaannya, baik terhadap institusi penyelenggara pemilu maupun terhadap pelaksanaan pemilu itu sendiri serta hasil-hasilnya.
Baca juga: Pelanggaran Etik Berulang, KPU Diminta Lebih Cermat
Sebelumnya, Senin (5/2/2024) lalu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan, ketua dan enam anggota KPU melanggar etik terkait tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Hasyim Asy’ari pun dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir. Adapun enam anggota KPU dijatuhi sanksi peringatan keras.
Sejauh ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih, yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
LSM lainnya adalah Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Perhimpunan Pattiros, Forum Informasi dan Komunikasi Organisasi Non Pemerintah (FIK Ornop) Sulawesi Selatan, Yayasan Masagena Center Sulsel, Koalisi OMS Kawal Pemilu Sulsel, dan Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan.
Bahkan, Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan, PoshDem Univ. Andalas, Koalisi Mahasiswa dan Rakyat Tasikmalaya (KMRT), MaTA Aceh, PSHK, Lokataru Foundation, Centra Initiative, Media Link, Setara Institute, Themis Indonesia, dan YASMIB ikut bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil.
Mundurnya Hasyim dinilai penting agar publik tidak semakin kehilangan kepercayaannya, baik terhadap institusi penyelenggara pemilu maupun terhadap pelaksanaan pemilu itu sendiri serta hasil-hasilnya.
Berdasarkan catatan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih, putusan DKPP itu menambah bukti bahwa Hasyim Asy’ari telah melanggar etik sebanyak empat kali.
Pulihkan kepercayaan publik
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih menambahkan, dijatuhi sanksi etik kepada anggota KPU bisa memengaruhi kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu. Tak hanya bagi publik, tetapi juga memengaruhi dari sisi internal KPU. Akibatnya, jika penyelenggara pemilu sudah tidak dipercaya publik, legitimasi hasil pemilu berpotensi kurang dipercaya publik.
”Saya melihat tidak ada putusan DKPP yang dijalankan Ketua KPU Hasyim Asy’ari. Karena sudah berkali-kali terbukti melanggar etik. Dimulai sejak pernyataan kontroversialnya mengenai sistem pemilu, pertemuannya dengan Ketua Partai Republik Satu, tindakannya yang tidak menindaklanjuti Putusan MA mengenai kuota 30 persen untuk caleg perempuan, hingga terakhir mengenai pencalonan Gibran Rakabuming,” ujar Kaka saat dihubungi Kamis (8/2/2024).
Menurut Kaka, berbagai sanksi pelanggaran etik seharusnya bisa menjadi pedoman bagi penyelenggara pemilu untuk tertib etika dan hukum. Sebab, berbagai pelanggaran itu berawal dari perilaku yang tidak tertib hukum sehingga ada pihak yang mengadukan ke DKPP.
KPU yang memangku peran penting sebagai penyelenggara pemilu, justru telah menjadi lembaga yang semakin menjauhkan pemilu dari nilai etika, profesionalitas, dan integritas. Karena itu, Hasyim Asy’ari harus segera mundur dari jabatannya sebagai Ketua KPU RI agar tidak semakin memperburuk citra lembaga. Ini juga agar publik tidak semakin hilang kepercayaan mereka, baik terhadap institusi penyelenggara pemilu maupun terhadap pelaksanaan pemilu itu sendiri.
Akan lebih baik dan sadar Ketua KPU Hasyim Asy’ari mundur dari jabatannya. Keputusan mundur itu juga tidak mengganggu tahapan pemilu yang sudah berjalan karena masih ada enam anggota KPU dengan tugasnya masing-masing. Ini agar ada kepercayaan publik pada KPU.
”Akan lebih baik dan sadar Ketua KPU Hasyim Asy’ari mundur dari jabatannya. Keputusan mundur itu juga tidak mengganggu tahapan pemilu yang sudah berjalan karena masih ada enam anggota KPU dengan tugasnya masing-masing. Ini agar ada kepercayaan publik pada KPU,” tutur Kaka.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, menyatakan, putusan DKPP telah menunjukkan bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu telah ikut melanggengkan politik dinasti. Dalam putusan tersebut, para anggota KPU terbukti melanggar etik karena menerima Gibran Rakabuming Raka sebagai salah satu calon wakil presiden untuk Pemilu 2024.
Egi menyampaikan keputusan DKPP itu juga semakin menunjukkan bahwa penyelenggara Pemilu 2024 ini telah cacat secara etik. Sebab, sebelumnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) juga menyatakan Hakim Konstitusi Anwar Usman yang memutus perkara batas usia minimal capres-cawapres melakukan pelanggaran etik berat. ”Ini, kan, dua kali dibuktikan bahwa pemilu kita telah cacat secara etik, pertama oleh MK lewat putusan MKMK dan kedua lewat KPU melalui DKPP,” tuturnya.
Ini, kan, dua kali dibuktikan bahwa pemilu kita telah cacat secara etik, pertama oleh MK lewat putusan MKMK dan kedua lewat KPU melalui DKPP.
Pencalonan Gibran persoalan sejak awal
Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini berpendapat, putusan DKPP pasti menimbulkan kontroversi dan spekulasi di publik. Apalagi pelanggaran etika oleh KPU berkaitan dengan persoalan yang memang kontroversial sejak awal, yakni terkait pencalonan Gibran di Pilpres 2024.
Meskipun DKPP menyatakan tidak ada pengaruhnya dengan pencalonan Gibran, tidak serta-merta bisa meyakinkan publik. Sebab, KPU sudah tidak cermat dan tidak profesional dalam menindaklanjuti Putusan MK dengan menerima pencalonan Gibran.
Tuntutan (Hasyim mundur) tersebut lazim dan wajar saja sebagai koreksi atas kepemimpinan yang problematik. Pergantian Ketua KPU bisa dipandang publik sebagai upaya serius menjaga marwah dan citra KPU di mata publik karena KPU tidak abai pada dinamika dan aspirasi publik yang berkembang.
”Tuntutan (Hasyim mundur) tersebut lazim dan wajar saja sebagai koreksi atas kepemimpinan yang problematik. Pergantian Ketua KPU bisa dipandang publik sebagai upaya serius menjaga marwah dan citra KPU di mata publik karena KPU tidak abai pada dinamika dan aspirasi publik yang berkembang,” ujar Titi.
Baca juga: Koalisi LSM Nilai Bukan Lagi Kecurangan Pemilu, melainkan Kejahatan Pemilu
Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari enggan mengomentari putusan tersebut karena merupakan kewenangan penuh DKPP. Meski demikian, dalam setiap persidangan perkara itu, ia dan enam unsur pimpinan KPU lainnya selalu mengikuti persidangan serta memberikan argumentasi jawaban, keterangan, dan alat bukti terkait (Kompas.id, 6/2/2024).