logo Kompas.id
Politik & HukumMana Dulu Surat Suara yang...
Iklan

Mana Dulu Surat Suara yang Harus Dihitung, Pilpres ataukah Pileg?

Manakah yang harus dihitung dulu suaranya? Surat suara Pilpres, DPR, DPD, DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota?

Oleh
IQBAL BASYARI, DIAN DEWI PURNAMASARI
· 4 menit baca
Warga menunjukan berbagai jenis surat suara saat simulasi pemungutan suara Pemilu 2024 di halaman kantor Wali Kota Jakarta Pusat, Rabu (17/1/2024).
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Warga menunjukan berbagai jenis surat suara saat simulasi pemungutan suara Pemilu 2024 di halaman kantor Wali Kota Jakarta Pusat, Rabu (17/1/2024).

Setelah pencoblosan selesai dan tempat pemungutan suara ditutup pukul 13.00 waktu setempat, tugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara atau KPPS belum berakhir. Ketujuh anggota KPPS masih harus menghitung surat suara yang diberikan oleh para pemilih melalui lima jenis surat suara.

Manakah terlebih dahulu yang harus dihitung surat suaranya? Surat suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, atau anggota DPRD kabupaten/kota?

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Ketentuan di Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 25 Tahun 2023 tentang Pemungutan dan Penghitungan Surat Suara dalam Pemilihan Umum tidak mengatur secara ketat urutan penghitungan suara. Namun, dalam Pasal 25 Ayat (2) disebutkan, proses penghitungan suara dapat dilakukan secara berurutan. Dimulai dari penghitungan suara untuk surat suara pilpres, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD provinsi, serta anggota DPRD kabupaten/kota.

Pasal 25 Ayat (2) disebutkan, proses penghitungan suara dapat dilakukan secara berurutan. Dimulai dari penghitungan suara untuk surat suara pilpres, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD provinsi, serta anggota DPRD kabupaten/kota.

Aturan ini berbeda dengan ketentuan urutan penghitungan suara di Pemilu 2019. Dalam Pasal 52 Ayat (6) PKPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Surat Suara dalam Pemilu, KPU mengatur secara ketat urutan penghitungan suara. Proses penghitungan suara dilakukan secara berurutan dimulai dari penghitungan suara untuk surat suara pilpres, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD provinsi, serta anggota DPRD kabupaten/kota.

Meskipun norma kedua aturan tersebut mirip, ada perbedaan yang cukup signifikan karena ada kata ”dapat”. Hal ini membuat penghitungan suara dapat dilakukan tidak sesuai urutan, bahkan berpotensi membuat KPPS kebingungan. Lalu, bagaimana agar KPPS tidak kebingungan mengurutkan penghitungan surat suara?

Baca juga: Penghitungan Suara Dua Panel Bakal Mempersulit Pengawasan

Anggota KPU, Idham Holik.
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Anggota KPU, Idham Holik.

Sebaiknya berurutan

Anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, penghitungan suara sebaiknya dilakukan sesuai urutan yang diatur di PKPU, dimulai dari surat suara pilpres dilanjutkan dengan surat suara anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan terakhir DPRD kabupaten/kota. Urutan tersebut sudah disampaikan kepada KPPS saat bimbingan teknis yang berlangsung akhir Januari lalu. Pihaknya meyakini KPPS tidak akan kebingungan menentukan urutan penghitungan suara.

”Berkenaan dengan urutan perhitungan surat suara di TPS dalam pengarahan kepada KPU daerah, kami minta agar surat suara pilpres dihitung yang pertama kali,” ujarnya di Jakarta, Senin (5/2/2024).

Berkenaan dengan urutan perhitungan surat suara di TPS dalam pengarahan kepada KPU daerah, kami minta agar surat suara pilpres dihitung yang pertama kali.

Iklan

Setelah menghitung surat suara pilpres, KPPS melanjutkan penghitungan surat suara anggota legislatif. Urutannya mengacu pada norma di Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebut pemilu sebagai sana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Namun, KPU tidak mempermasalahkan jika urutan penghitungan suara tidak urut. Sepanjang proses penghitungan suara dilakukan dalam kondisi cahaya yang terang dan sesuai dengan tata cara pembacaan dan penentuan suara sah, tidak ada implikasi pidana yang ditanggung KPPS.

Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, Senin (13/11/2023).
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA

Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, Senin (13/11/2023).

Konsisten

Dosen hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai, urutan penghitungan suara seharusnya konsisten dengan urutan yang ada dalam PKPU. Selain sudah menjadi tradisi sejak Pemilu 2019, urutan tersebut juga sudah dipraktikkan lama di pemilu legislatif, bahkan sebelum pemilu serentak. Pada pemilu-pemilu sebelumnya, urutan penghitungan suara diawali dengan DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

”Urutan tersebut juga sudah sesuai jenjang struktur pemerintahan kita dari nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, khususnya terkait sistem pemerintahan presidensial yang dianut,” katanya.

Urutan tersebut juga sudah sesuai jenjang struktur pemerintahan kita dari nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, khususnya terkait sistem pemerintahan presidensial yang dianut.

Jika melihat dari sisi hal-hal yang paling dinantikan publik dalam pemilu, urutan penghitungan surat suara seharusnya dimulai dari surat suara pilpres. Ketika surat suara pilpres dihitung paling awal, hal itu dapat mengurangi spekulasi publik di tengah keberadaan lembaga hitung cepat yang mayoritas hanya menghitung hasil pilpres.

Oleh karena itu, perubahan urutan penghitungan suara sebaiknya hanya dilakukan jika dalam situasi kedaruratan, seperti keterlambatan logistik pemilu terkait ketersediaan formulir C. Hasil yang akan digunakan untuk penghitungan suara. Lebih dari itu, KPPS mestinya konsisten pada urutan yang ada dalam PKPU.

Jika syarat dan ketentuan itu tidak diikuti dengan baik, Titi khawatir bisa muncul praktik transaksional di TPS. Calon anggota legislatif, misalnya, bisa meminta didahulukan penghitungan suaranya karena tidak sabar ingin mendapatkan hasil pemilu lebih dulu. Padahal, jika pemilihan presiden dihitung paling akhir, hal itu pun juga rawan kontroversi dugaan manipulasi, kecurangan, dan rekayasa.

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati
KOMPAS/FABIO MARIA LOPES COSTA

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati

Padahal, dalam tataran teknis informasi yang ambigu itu bisa membingungkan KPPS di lapangan dalam melakukan penghitungan. Harusnya, secara tegas saja dilakukan secara berurutan seperti Pemilu 2019.

Sementara Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Neni Nur Hayati memiliki pandangan. Diksi kata ”dapat dilakukan secara berurutan” di PKPU 25/2023 berpotensi multitafsir untuk penyelenggara pemilu ad hoc. Sebab, hal itu bisa berarti dapat dilakukan atau tidak bisa dilakukan. Ketika tidak dilakukan secara berurutan, hal itu pun tidak menjadi masalah dan tidak ada sanksinya.

Baca juga: Pilih Dua, Tiga, atau Lima Surat Suara?

”Padahal, dalam tataran teknis informasi yang ambigu itu bisa membingungkan KPPS di lapangan dalam melakukan penghitungan. Harusnya, secara tegas saja dilakukan secara berurutan seperti Pemilu 2019,” katanya.

Neni berpandangan, jika tidak ada sosialisasi yang masif kepada penyelenggara pemilu ad hoc, hal itu dapat berimplikasi serius terhadap akurasi penghitungan jika seluruh TPS perlakuannya tidak sama. Selain itu, juga bisa terjadi potensi kecurangan dan manipulasi suara. Sebab, publik tidak bisa menjamin situasi di TPS. Saksi partai politik tidak semua mendapat bimbingan teknis oleh partai. Ada pula faktor kelelahan dari petugas KPPS dan tidak maksimalnya pengawas TPS.

Editor:
SUHARTONO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000