Kasus Korupsi Menara BTS 4G Akankah Selesai Sampai di Sini?
Kejaksaan dinilai hanya tegas ke satu pihak, tetapi tidak ke pihak lain dalam kasus menara BTS 4G Kemenkominfo.
Beberapa nama yang disebut menerima uang terkait proyek pembangunan menara base transceiver station atau BTS 4G telah ditetapkan sebagai tersangka. Tidak tanggung-tanggung, anggota Badan Pemeriksa Keuangan turut di dalamnya.
Hingga saat ini 16 orang sudah dijadikan tersangka dalam kasus korupsi pembangunan menara BTS 4G Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Mereka adalah bekas Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, bekas Diretur Utama Bakti Kemenkominfo Anang Achmad Latif, Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia Galumbang Menak Simanjuntak, dan tenaga ahli Human Development Universitas Indonesia (Hudev UI) Yohan Suryanto.
Terdakwa lainnya adalah Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan, Account Director of Integrated PT Huawei Investment Mukti Ali, Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera Windy Purnama, Dirut PT Basis Utama Prima Muhammad Yusrizki, serta Dirut PT Sansaine Jemy Sutjiawan.
Tersangka lainnya adalah pejabat pembuat komitmen Bakti Elvano Hatorangan, Kepala Divisi Lastmile dan Backhaul Bakti Muhammad Feriandi Mirza, dan dan Walbertus Natalius Wisang yang disangka melakukan perintangan penyidikan. Tersangka berikutnya adalah Edward Hutahaean, Sadikin Rusli, anggota Badan Pemeriksa Keuangan Achsanul Qosasi, serta Kepala Hudev UI Muhammad Amar Khaerul.
Beberapa di antaranya baru ditetapkan sebagai tersangka ketika persidangan sudah berjalan. Mereka ditetapkan sebagai tersangka karena di persidangan terungkap fakta hukum adanya bagi-bagi uang untuk mengamankan proyek pembangunan BTS 4G. Mereka, antara lain, Elvano, Feriandi, Edward, Sadikin, dan Achsanul Qosasi.
Di sisi lain, terdapat pula nama orang yang disebut di persidangan telah turut menerima uang, tetapi hingga kini mereka tidak kunjung ditetapkan sebagai tersangka atau bahkan belum diperiksa. Mereka adalah Dito Ariotedjo yang disebut menerima Rp 27 miliar; Windu Aji Sutanto yang disebut menerima Rp 66 miliar; serta Nistra Yohan yang disebut menerima uang Rp 70 miliar untuk Komisi I DPR. Namun, ketiganya seolah tak tersentuh.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Kuntadi, Rabu (31/1/2024), mengatakan, kasus tersebut hingga saat ini masih berjalan. Kuntadi pun memastikan bahwa penyidik juga mencermati fakta hukum yang terungkap dalam persidangan.
Baca juga: Kejaksaan Tak Kompak soal Status Nistra Yohan di Kasus BTS 4G
Namun, Kuntadi menampik bahwa kasus korupsi pembangunan menara BTS 4G dibatasi hanya kepada para pihak yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Sebab, hingga kini penyidik tetap mendalami dugaan keterlibatan nama-nama lain yang telah disebut para terdakwa ataupun saksi di persidangan.
Meski demikian, Kuntadi tetap tidak membenarkan ataupun menolak menjelaskan mengenai status hukum dari sosok bernama Nistra dalam kasus tersebut. Nistra adalah sosok yang beberapa kali disebut para terdakwa ataupun saksi di persidangan sebagai orang yang menerima uang sebesar Rp 70 miliar bagi Komisi I DPR.
Di persidangan, jaksa penuntut umum menyebut status hukum sudah masuk daftar pencarian orang (DPO). Namun, Kuntadi tetap menolak untuk menjelaskan hal itu, termasuk dugaan Nistra sudah sebagai tersangka sehingga kemudian ditetapkan sebagai DPO. ”Saya tidak akan terbuka soal itu. Nanti kita tunggulah,” kata Kuntadi.
Selain Nistra, nama lain yang beberapa kali disebut terdakwa ataupun saksi di persidangan sebagai penerima uang adalah Dito Ariotedjo dan Windu Aji Sutanto. Lagi-lagi, Kuntadi menolak untuk menjawab mengenai mereka. Kuntadi hanya memastikan bahwa sejauh ini penyidik belum berencana untuk meminta keterangan lagi dari Dito Ariotedjo.
Menurut Kuntadi, kendala dalam pengembangan kasus menyangkut nama-nama tersebut adalah minimnya alat bukti. Sementara pengakuan di persidangan belum cukup membuktikan keterlibatan mereka meski Kuntadi memastikan tetap mencermati pengakuan atau keterangan saksi di persidangan.
”Kendala kita itu bukan pengakuan, tapi alat buktinya masih belum (cukup). Minimal, kan, dua alat bukti. Ada 100 orang mengatakan (hal yang sama), itu baru 1 alat bukti. Makanya pengakuan di pengadilan, ya, kita baru hanya sebatas mencermati,” tutur Kuntadi.
Diragukan
Kesungguhan Kejaksaan Agung diragukan sejumlah kalangan. Wakil Ketua Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) Kurniawan berpandangan, tidak adanya jawaban resmi dari Kejagung mengenai status Nistra merupakan contoh yang sangat jelas. ”Kami anggap Kejaksaan Agung belum menetapkan Nistra sebagai DPO,” kata Kurniawan.
Oleh karena itu, kata Kurniawan, LP3HI kembali mengajukan permohonan praperadilan terhadap penghentian penyidikan terhadap Nistra Yohan yang tidak dimasukkan DPO ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permohonan praperadilan dengan pihak termohon Jaksa Agung RI tersebut merupakan kali kedua diajukan LP3HI karena pernah melakukan permohonan serupa.
Ini menimbulkan buruk sangka publik yang mencederai rasa keadilan masyarakat.
Menurut Nistra, secara substansi, permohonan praperadilan yang diajukan LP3HI tidak berbeda dengan permohonan praperadilan sebelumnya. Yang berbeda adalah adanya keterangan yang menyatakan, LP3HI telah meminta ke Partai Gerindra agar bekerja sama dengan penyidik untuk menyerahkan Nistra karena Nistra disebut sebagai anggota partai politik tersebut.
”Mekanisme kontrol yang diatur di KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) hanya melalui praperadilan. Jika tidak ada kontrol publik, akan terbuka terjadinya penyimpangan," ujarnya.
Baca juga: Menanti Tersangka Kasus BTS 4G Lainnya Diungkap
Secara terpisah, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menyayangkan sikap kejaksaan yang dinilai tidak total dalam penuntasan kasus korupsi BTS 4G. Ada beberapa orang yang disebut jelas menerima uang di persidangan, tetapi tidak dilakukan proses hukum, bahkan menjabat jabatan publik.
Menurut Zaenur, tidak diprosesnya nama-nama seperti Dito, Nistra, dan Windu Aji tersebut menjadi pertanyaan publik. Bukan tidak mungkin publik menduga itu ada hubungannya dengan gelaran Pemilu 2024. Terlebih beberapa waktu lalu kejaksaan memang mengeluarkan kebijakan untuk tidak memproses hukum mereka yang ikut berkontestasi dalam pemilihan legislatif.
”Ini menimbulkan kecurigaan publik. Sangat disayangkan kejaksaan tidak tuntas karena seperti tidak menyentuh kelompok tertentu sementara tegas pada kelompok yang lain. Ini menimbulkan buruk sangka publik yang mencederai rasa keadilan masyarakat,” kata Zaenur.
Oleh karena itu, Zaenur mendukung ketika ada kelompok masyarakat sipil yang mengajukan permohonan praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya penghentian penyidikan. Namun, hal itu ditujukan untuk suatu kasus yang dihentikan melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Sementara dalam kasus ini, Zaenur menilai yang terjadi bukanlah SP3, melainkan sebagian dari kasus tersebut tidak ada kemajuan atau didiamkan.
Lepas dari itu, Zaenur berharap agar kejaksaan menunjukkan netralitasnya dengan memproses pihak-pihak yang sudah disebut di persidangan sebagaimana beberapa orang lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Tidak ada cara lain selain itu untuk meyakinkan publik dengan menangani kasus tersebut secara profesional.