Ketua Umum PBNU: Nahdlatul Ulama Mempersatukan Perbedaan Pandangan
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menegaskan kembali peran NU dalam mempersatukan berbagai perbedaan pandangan.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·2 menit baca
BANTUL, KOMPAS — Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan memiliki peran mempersatukan berbagai perbedaan pandangan. Hal ini menjadi penting saat umat menghadapi momen-momen krusial yang bisa menentukan masa depan peradaban.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf, Senin (29/1/2024). Yahya membuka Konferensi Besar dan Halaqah Nasional Strategi Peradaban Nahdlatul Ulama yang digelar di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Kedua acara itu merupakan rangkaian peringatan Harlah Ke-101 NU berdasarkan penanggalan Hijriah.
Yahya menjelaskan, NU didirikan dengan visi membangun suatu hukumah diniyyah. Hal ini berarti NU bukan sekadar menyediakan bimbingan keagamaan bagi jemaah, melainkan juga suatu fungsi hakim yang bisa mempersatukan perbedaan-perbedaan apa pun yang terjadi di kalangan umat.
”Dalam menghadapi sejarah yang dinamis, sejarah yang mendatangkan momentum-momentum, yang akan sangat menentukan masa depan seluruh umat manusia, pasti dibutuhkan koherensi di antara para pemangku agama tentang bimbingan apa yang harus disediakan kepada umat,” ujarnya.
Perbedaan pandangan, menurut Yahya, menjadi hal wajar, termasuk di kalangan ulama. Dalam konteks itulah NU mengambil peran mempersatukan perbedaan-perbedaan pandangan yang terjadi, kemudian membawa seluruh kekuatan jemaah dalam suatu strategi bersama yang koheren.
Hal ini, menurut Yahya, menjadi penting karena dinamika domestik ataupun global saat ini dipenuhi tantangan sekaligus kerawanan. Tantangan itu bahkan dapat mengancam kedaulatan bangsa.
”Dalam keadaan seperti ini, tidak ada jalan bagi kita selain memperkuat bangsa dan negara sebagai kubu dalam menjaga kedaulatan kita bersama,” ujarnya.
Sementara itu, Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar menyebut pentingnya nahdliyin kembali memahami makna Nahdlatul Ulama. Alasannya, saat ini ada gejala menipisnya pemahaman soal NU.
”Kalau di dalam ukuran logam, misal emas, itu mungkin yang tadinya 24 karat sekarang tinggal sekarat (1 karat) memahami NU,” kata Miftachul.
Lebih jauh Miftachul mengungkapkan, NU ingin berperan sebagai penerjemah dalam memahami Islam. ”Misalnya, menerjemahkan bagaimana dakwah Islam yang benar; dakwah yang merangkul, tidak memukul; dakwah yang membina, tidak menghina; dakwah yang menyayangi, tidak menyaingi; dakwah-dakwah yang simpatik,” ujarnya.
Adapun Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus menyelipkan pesan dalam tausyiahnya terkait situasi politik menjelang pemilu saat ini. Gus Mus menyebut agar NU memenangkan Indonesia, bukan memenangkan calon presiden (capres).
Menurut Gus Mus, pemilihan presiden (pilpres) bukan urusannya NU. ”Urusannya NU itu memperbaiki kinerja, memenangkan Indonesia, bukan memenangkan capres,” katanya.