Refleksi Seabad Nahdlatul Ulama
Peringatan seabad NU, sebagai sebuah organisasi, adalah pemantik dan media dalam mendemonstrasikan ”integrasi” kaum Nahdliyin dan negara. Apa implikasi struktural kemunculan kaum Nahdliyyin ini dalam kekuatan politik ?
Menggunakan perspektif open-ended history, puncak kehadiran pengaruh Nahdlatul Ulama adalah ketika Presiden Republik Indonesia Joko Widodo turut menyanyikan Jalal Wathan pada 7 Februari 2023 di Jawa Timur.
Partisipasi Presiden Jokowi ini melambangkan ”penyatuan” negara modern dengan kaum Nahdliyin. Yang terakhir, sebagaimana akan dijelaskan, adalah kumpulan massa besar hasil reproduksi binaan ulama yang bersangkut paut dengan keturunan dan komunitas para wali. Sejarah mencatat, komunitas ini telah tumbuh sekitar abad ke-15. Maka, eksistensi kaum Nahdliyin pada dasarnya jauh lebih tua dari Nahdlatul Ulama (NU), sebagai organisasi modern. Karena itu, di sini, penggunaan frasa keturunan wali, kaum Nahdliyin, dan kaum santri berarti sama.
Peringatan seabad NU, sebagai sebuah organisasi, adalah pemantik dan media dalam mendemonstrasikan ”integrasi” kaum Nahdliyin dan negara.
Baca juga : Satu Abad NU Mengawal Bangsa
Baca juga : Memaknai Peran Nahdlatul Ulama
Kontestasi
Jika mengikuti pandangan sejarawan MC Ricklefs, Mystic Synthesis in Java (2006), apa yang disebut kaum Nahdliyin berakar pada praktik keislaman masa Demak (1478-1554). Terutama setelah interupsi Pajang (1554-89) dan Mataram Islam abad ke-17-18 di bawah tutelage (asuhan) para wali.
Kehadiran Islam menggelar hubungan kekuasaan unik di Jawa karena melahirkan kontestasi antara penguasa tradisional dan wealth-based power (kekuasaan berdasarkan kekayaan) para wali. Hasilnya adalah sejarah unik, mempertontonkan pasang surut kaum priayi dan Nahdliyin di Jawa, dalam proses trans-historikal.
Maka, menurut sejarawan Ong Hok Ham dalam Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan Petani di Karesidenan Madiun Abad ke-XIX (2019 [2018]), Mataram selalu mendapat rongrongan dari kekuatan lokal, “terutama yang diwakili dinasti para wali pada saat masuknya agama Islam.”
Inilah yang menyebabkan Sultan Agung (bertahta 1613-1646) berperang melawan para wali dan ‘menyandera’ anggota-anggota penting dari keluarga-keluarga ini dengan perkawinan. Ini preseden sejarah “ketersingkiran” keturunan para wali ke pinggiran kekuasaan. Yang terahir inilah cikal-bakal kaum Nahdliyyin.
Ilustrasi
Dominasi kaum priayi
“Kemenangan” otoritas politik tradisional di masa itu menandai kebangkitan kaum priayi. “Kemenangan” penguasa tradisional Mataram atas para wali, cikal-bakal kaum Nahdliyyin, meneguhkan posisi kaum priayi yang berlanjut hingga masa Orde Baru (1967-98). Dengan kata lain, walau debatable, “masa jaya” kaum priayi dalam sejarah politik lebih lama dari kerajaan-kerajaan tradisional yang mereproduksinya.
Peneguhan posisi membuat kalangan priayi tetap dibutuhkan kolonial: VOC (1602-1800), dengan pasang-surutnya, negara kolonial modern (1800-1942). Ini terjadi karena kaum priayi tetap menjadi perantara antara rakyat dan penguasa dan menjelaskan mengapa kolonial bisa memobilisasi rakyat untuk kepentingan tanam paksa (1830-70).
Studi Heather Sutherland, The Making of Bureaucratic Elite (1979) memperlihatkan bahwa pada 1850-an, terutama sejak 1870, posisi priayi sebagai administrator telah berubah menjadi pejabat bergaji. Di sini, kaum priayi tertransformasi menjadi modern. Maka, Robert van Niel dalam The Emergence of the Modern Indonesian Elite (1970 [1960]), menyatakan bahwa di antara the great common masses yang mencapai 98 persen dari total penduduk Jawa pada 1900, hanya kaum priayi yang melihat kolonial Belanda sebagai kekuatan politik.
Inilah “modal sejarah” kaum priayi dalam beradaptasi dengan urut-urutan kelahiran modern state (negara modern) baik kolonial maupun republik setelah Indonesia, hingga masa Orde Baru. Dari konteks inilah kita menemukan perspektif perkembangan kaum Nahdliyyin dewasa ini dengan menggunakan frasa pada Castoriadis, Veblen, and the ‘Power Theory of Capital’ karya DT Cohrane (2011): open-ended history.
Kehadiran Islam menggelar hubungan kekuasaan unik di Jawa karena melahirkan kontestasi antara penguasa tradisional dan wealth-based power (kekuasaan berdasarkan kekayaan) para wali.
Nasib Nahdliyyin
Kesan bahwa perkembangan kaum Nahdliyyin berada dalam lingkup open-ended history (sejarah [yang masih] terbuka) dapat diperoleh dari kalimat mantan Menteri Agama Kiai Dachlan menjelang Konfrensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta, 5-8 Mei 1975. “NU dilarang bicara politik karena sudah bukan parpol." Namun, kegiatan dakwah dihambat karena dianggap sudah tidak ada.
Kalimat yang dikutip Ahmad Baso dalam Historiografi Khittah dan Politik Nahdlatul Ulama (2022 [2021]) ini sesungguhnya menjelaskan implikasi keberadaan NU, sebagai sebuah organisasi Islam, setelah fusi (penyatuan)-nya ke dalam Partai Persatuan Pembangunan pada Januari 1973.
Tekanan dimulai pada pemilihan umum pertama masa Orde Baru (1971), ketika NU, sejak 1952, masih menjadi partai politik. Seiring dengan Golkarisasi di desa-desa, terutama di basis NU di Jawa Timur, “beredar spanduk atau tulisan di gerbang desa berbunyi ‘desa bebas parpol’ jelang pemilu.”
Tentu, agar adil, bukan hanya NU yang tertekan pada masa Orde Baru. Akan tetapi, kutipan di atas seakan-akan memperlihatkan bahwa nasib kaum Nahdliyyin, sebagai keturunan para wali, berada dalam lingkup closed-history (sejarah tertutup). Setelah disingkirkan penguasa Mataram abad ke-17 dan 18, prospek perkembangan cikal-bakal Nahdliyyin ini secara struktural “tertutup” selama hampir dua abad oleh dominasi priayi yang beraliansi dengan VOC dan kolonial Belanda.
Ringkasnya, kecuali di masa Demokrasi Liberal (1945-59) dan masa Demokrasi Terpimpin Soekarno (1959-67), keturunan para wali yang (kemudian) menjelma menjadi kaum Nahdliyyin, sejak masa Mataram abad ke-17 dan ke-18, Hindia Belanda hingga Orde Baru berada dalam tekanan. Fenomena ini saya gambarkan sebagai “kelompok di luar pagar kekuasaan” dalam makalah “Masses without Citizenship: The Islamic Protest Movements in 19th Century Java”, saya sampaikan di Leiden, 1989.
Akan tetapi, oleh faktor struktural-institusional, pada kenyataannya perkembangan kaum Nahdliyyin berada dalam lingkup open-ended history (sejarah terbuka). Menggunakan perspektif Thorstein Veblen, Cohrane menjelaskan bahwa perubahan lembaga-lembaga (institutions) tak terelakkan karena harus menanggapi kebutuhan menetap manusia. Akan tetapi, perubahan lembaga-lembaga itu tak pernah mampu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial yang berlangsung lebih cepat. Sebagai akibatnya, tulis Cohrane, “no endpoint, no goal toward which a society is moving.”
Sebagian besar terjadi melalui proses pelembagaan kaum Nahdliyyin yang khas: pesantren. Melalui pesantren keturunan para wali telah menemukan “suaka” untuk menghindari tekanan kekuasaan politik. Akan tetapi, sebagaimana dicatat Heather Sutherland, bahkan di masa dominasi aliansi priayi-negara kolonial, keberadaan santri dirasakan.
Sementara kaum priayi menemukan social-base-nya pada negara kolonial, kaum santri, selain berorientasi ke Timur Tengah, memperteguh basis sosial di dunia perdagangan antar pulau dan organisasi keagamaan. Dalam posisi semacam ini, catat Heather Sutherland, keberadaan santri dirasa sebagai “the major non priayi element in Javanese supra-village sphere.”
Gabungan lembaga pendidikan pesantren, dunia komersial dan jaringan Timur Tengah telah membangun dinding otonomi mereka dari berbagai intervensi kekuasaan bersifat trans-historis.
Di sinilah dasar-dasar keberlakuan struktur open-ended history bagi kaum Nahdliyyin. Gabungan lembaga pendidikan pesantren, dunia komersial dan jaringan Timur Tengah telah membangun dinding otonomi mereka dari berbagai intervensi kekuasaan bersifat trans-historis. Maka, ketika terjadi perubahan kekuasaan politik dari kerajaan dan negara kolonial kepada republik; dan perubahan internal negara republik (Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru), dengan modal dunia pesantren, kaum Nahdliyyin menemukan dasar struktural. Membuat sejarah tetap terbuka baginya.
Kemujaraban open-ended history ini kian terlihat ketika lembaga dan sistem politik negara beralih dari bureuacratic polity, yang hanya mengakomodasikan partisipasi politik kalangan elite pejabat sipil dan militer, kepada sistem politik demokrasi pasca-Orde Baru.
Dalam sistem demokrasi, negara secara langsung atau tidak harus beraliansi dengan kelompok atau organisasi yang mampu menghimpun massa. Sesuai prinsip open-ended history, hanya NU, yang mampu menawarkan aliansi jenis ini.
Partisipasi Presiden Jokowi dalam menyanyikan Yalal Wathan, kehadiran punggawa negara dan seluruh kekuatan politik nasional dalam peringatan seabad NU adalah hasil perubahan sistem dan struktur relasi lembaga kekuasaan politik dalam open-ended history.
Yang sementara “tersisa” dari uraian analitik ini adalah pertanyaan: Apa implikasi struktural kemunculan kaum Nahdliyyin ini dalam kekuatan politik masyarakat dewasa ini?
Di sini, saya tertegun dengan cara sejarawan Ricklefs menemukan inti gagasan karya sastra Jawa Kuna seperti kakawin yang disebutnya the cult of beauty (pemujaan atas keindahan). Mengutip Zoetmulder, Ricklefs menyatakan bahwa kakawin adalah religio poetae (puisi kerohanian). Tujuannya untuk membujuk dewa tertentu turun, kepada siapa puisi tersebut menyatukan diri.
Ricklefs melanjutkan, melalui religio poetae ini kita menemukan benang merah dengan inti tradisi kaum Nahdliyyin. Dibangun oleh kesadaran kesatuan simbolik daripada kepentingan kelas, kaum Nahdliyyin mengungkap diri dengan lantunan pemujaan terhadap orang-orang suci. Dari Nabi Muhammad, sahabat, pemimpin mazhab hingga para wali di tingkat “domestik”. Tujuan untuk membangun sanad.
Secara harfiah, sanad adalah tali pengabsahan ilmu keagamaan yang diturunkan otoritas lebih tinggi kepada murid. Secara konseptual, frasa yang sama berarti penyatuan spiritual bersifat hierarkis kalangan “bawah” kepada otoritas tertinggi pada tingkat makhluk, yaitu Nabi Muhammad.
Ricklefs melanjutkan, melalui religio poetae ini kita menemukan benang merah dengan inti tradisi kaum Nahdliyyin.
Melalui mekanisme “perantara” (wasilah), penyatuan itu pada akhirnya tertuju kepada Sang Pencipta: Allah. Dalam konteks inilah aksi “domestifikasi” terakomodasi. Para orang suci, juga benda suci seperti makam, dari “pusat”-nya, terdistribusikan lintas geografis, termasuk di Tanah Jawa.
Lepas dari perdebatan teologis, inti gagasan keagamaan kaum Nahdliyyin, dengan demikian, adalah respek, akomodatif dan sebisa mungkin menghindari konflik yang berpotensi merusak keharmonisan.
Di tengah absennya kalanggan “kiri” yang hancur pada 1965, dan masih lemahnya pengaruh kaum buruh dan kelompok-kelompok sosial-ekonomi lain, perkembangan pesat pengaruh publik pada kaum Nahdliyyin secara tak langsung kian memperkuat posisi tawar-menawar negara berhadapan dengan masyarakat.
Fachry Ali Salah Satu Pendiri Lspeu Indonesia dan Penasihat Menteri PPN/Kepala Bappenas