Berkelit dari Tersangka, Eddy Hiariej Ajukan Tiga Saksi Ahli di Praperadilan
Tiga ahli pidana dihadirkan pada sidang praperadilan dugaan korupsi oleh bekas Wakil Menteri Hukum dan HAM.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk melepaskan diri dari status tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi, bekas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward OS Hiariej atau Eddy Hiariej mengajukan tiga saksi ahli di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (25/1/2024). Ketiganya adalah ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa; advokat sekaligus pengajar tidak tetap pada Fakultas Hukum UI, Luhut MP Pangaribuan; dan Jamin Ginting, Guru Besar hukum Universitas Pelita Harapan.
Sidang yang dimulai pukul 10.00 hingga 15.15 dan dipimpin majelis hakim tunggal Estiyono dihadiri tim Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku pihak termohon dan tim kuasa hukum pemohon. Adapun tersangka Eddy Hiariej tampak tidak hadir.
KPK sebelumnya menyebutkan bahwa bekas Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy Hiariej menerima suap dan gratifikasi hingga Rp 8 miliar dari Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri Helmut Hermawan. Hingga kini, Eddy belum ditahan meskipun sudah mengajukan pengunduran diri sebagai wamen.
Dalam persidangan, baik pemohon maupun termohon berkutat pada pertanyaan, antara lain, seputar pengambilan keputusan oleh pimpinan KPK yang bersifat kolektif kolegial hingga ketercukupan bukti permulaan sebelum menetapkan tersangka.
Seusai sidang, pengacara pemohon, Muhammad Luthfie, mengatakan, ketiga saksi ahli menyampaikan bahwa penetapan tersangka harus diawali dengan adanya alat bukti yang dibutuhkan secara sah, baik alat bukti berupa saksi, ahli, maupun surat/dokumen.
”Tidak boleh usai penyelidikan terus ketika masuk tahap penyidikan lantas semena-mena menetapkan seseorang sebagai tersangka dengan alasan sudah ada bukti permulaan yang cukup. Bukti awal hanya sebagai permulaan saja. ”
”Tidak boleh seusai penyelidikan terus ketika masuk tahap penyidikan lantas semena-mena menetapkan seseorang sebagai tersangka dengan alasan sudah ada bukti permulaan yang cukup. Bukti awal hanya sebagai permulaan saja,” ucapnya.
”Ahli Ibu Eva dan Pak Luhut menyampaikan, mendesak supaya Presiden segera mengangkat kembali satu anggota KPK agar terpenuhi kembali Undang-undang KPK, yakni pimpinan KPK terdiri lima orang supaya tidak menimbulkan salah tafsir atau penafsifan berbeda dalam tugas-tugas KPK.”
Begitu pula mengenai pimpinan KPK harus rigit lima orang. Menurut Luthfie, putusannya juga harus kolektif kolegial, tidak boleh diputuskan kurang dari lima orang.
”Ahli Ibu Eva dan Pak Luhut menyampaikan, mendesak supaya Presiden segera mengangkat kembali satu anggota KPK agar terpenuhi kembali Undang-Undang KPK, yakni pimpinan KPK terdiri lima orang supaya tidak menimbulkan salah tafsir atau penafsifan berbeda dalam tugas-tugas KPK,” katanya.
Mendahului surat perintah
Kuasa hukum tersangka yang lain, Ricky Sitohang, menilai penetapan tersangka mendahului surat perintah penyidikan. ”Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa tahap akhir dari penyidikan untuk menentukan tersangka. Di sini terjadi kepincangan, tidak sesuai dengan etika dan prosedur. Dengan demikian, kami sebagai pemohon meminta kepada hakim agar penetapan tersangka tidak sah,” katanya.
Kepala Bagian Litigasi dan Perlindungan Saksi Koordinator Tim Biro Hukum KPK Iskandar Murwanto mengatakan, pihaknya akan mengajukan dua saksi ahli pada sidang berikutnya yang direncanakan berlangsung pada Jumat (26/1/2024).
Menurut Iskandar, ada substansi-substansi yang tidak pihaknya sepakati dari keterangan saksi ahli. Dan itu akan di-counter oleh pendapat dari pihak termohon. KPK sudah sesuai dengan ketentuan. ”Apakah berkaitan dengan pengujian, apakah bukti permulaan untuk menetapkan tersangka itu bisa diperoleh di tahap penyelidikan,” ucapnya.
Terkait putusan oleh empat pimpinan KPK, Iskandar menyebut, pihaknya berpedoman pada putusan Mahkamah Konstitusi yang kemudian dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015. Di situ pembentuk undang-undang menetapkan tiga pimpinan KPK terkait dengan kegentingan.
”Di undang-undang disebut kurang dari tiga (pimpinan). Kalau tiga lebih, masih kuorum. Empat orang itu masih dalam batas ketentuan KPK yang dapat mengambil keputusan dan itu sudah disetujui bersama. Jadi, pimpinan sepakat. Kami berpandangan tidak ada kesalahan dalam prosedur terkait kolektif kolegial pimpinan KPK dalam memutuskan,” katanya.