logo Kompas.id
Politik & HukumMenanti Kompas Moral Presiden
Iklan

Menanti Kompas Moral Presiden

Sulit mengharapkan pemilu berlangsung jujur dan adil jika Presiden telah nyatakan keberpihakannya.

Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
· 6 menit baca

Bakal capres Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan menghadiri undangan Presiden Jokowi untuk makan siang bersama di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (30/10/2023).
KOMPAS

Bakal capres Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan menghadiri undangan Presiden Jokowi untuk makan siang bersama di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (30/10/2023).

Hari pencoblosan surat suara tinggal sekitar tiga pekan. Di saat para kontestan bergerak mencari dukungan, Presiden Joko Widodo tiba-tiba menyatakan secara terbuka bahwa presiden dan menteri boleh berpihak dan mengampanyekan salah satu kontestan Pemilu 2024.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Pernyataan Jokowi ini lantas memantik kecurigaan bagi sejumlah pihak bahwa memang orang nomor satu di Indonesia ini ingin memenangkan salah satu pasangan calon pada Pemilihan Presiden 2024. Pada kontestasi ini, putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden, mendampingi calon presiden Prabowo Subianto.

Sejumlah pihak mengkhawatirkan sikap Jokowi yang demikian akan diikuti penyalahgunaan kekuasaan oleh para aparatur sipil negara, TNI/Polri, hingga ratusan penjabat kepala daerah.

Apalagi, jika melihat persebaran penjabat kepala daerah hingga November 2023, memang tidak main-main. Dari total 38 provinsi, terdapat 20 penjabat gubernur, 40 penjabat wali kota, dan 138 penjabat bupati. Artinya, potensi suara yang berada di bawah mereka mencapai 140.657.540 pemilih atau setengah dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) nasional.

Tak heran jika salah satu pasangan calon sangat ambisius mengincar kemenangan satu putaran.

Baca juga: Ketua KPU: Ikut Kampanye, Jokowi Harus Ajukan Cuti ke Presiden

Melihat tingginya DPT yang berpotensi disalahgunakan tersebut, Feri Amsari, dalam Satu Meja The Forum bertajuk ”20 Hari Menuju Pemilu, Mau Menang, Jangan Curang!” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (24/1/2024) malam, mengaku tak heran jika salah satu pasangan calon sangat ambisius mengincar kemenangan satu putaran. Ia pun berprasangka, jangan-jangan Presiden Jokowi melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) telah menentukan pos-pos tertentu untuk kemudian digunakan dalam upaya memenangkan Prabowo-Gibran.

”Setidak-tidaknya kalau dari data yang kami kumpulkan, ketika kepala desa menyatakan dukungan kepada calon tertentu, sudah ada indikasi kecurangan, mereka tidak dilakukan penghukuman oleh kepala daerahnya. Wajar saja (penjabat kepala daerah) tidak bisa menghukum kepala desa yang mendeklarasikan kepada calon tertentu. Sebab, mereka bisa dievaluasi oleh atasannya, yaitu mendagri dan presiden,” ujar pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, ini.

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari

Selain Feri, diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo ini juga dihadiri Mardani Ali Sera selaku Deputi Netralitas Penyelenggaraan Pemilu Tim Pemenangan Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Habiburokhman selaku Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Wakil Deputi Kinetik Teritorial Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Adian Napitupulu; dan Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan.

Feri melanjutkan, sulit memang mengharapkan pemilu berlangsung jujur dan adil apabila Presiden telah menyatakan keberpihakannya. Untuk itu, ia justru mendukung langkah yang ingin diambil Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD untuk mundur dari jabatannya sehingga konflik kepentingan itu tidak muncul saat sedang berkampanye sebagai cawapres.

”Nah, sayangnya contohnya tidak ditunjukkan oleh Presiden. Kompas moralnya hilang di presiden sebagai suri teladan. Apalagi, dia akan memasuki fase penting, yaitu fase menjadi guru bangsa. Setiap mantan presiden akan menjadi guru bangsa. Dia harus menunjukkan, betapa elegannya dia dalam berpolitik, dan itu tidak dicontohkan presiden,” ucap Feri.

Potensi ”abuse of power”

Djohermansyah Djohan sependapat dengan Feri. Jika Jokowi masih menjabat sebagai presiden, berbagai macam sumber daya yang dimiliki berpotensi bakal dikerahkan untuk kepentingan pemenangan calon tertentu. Untuk itu, sebaiknya Jokowi mengambil cuti di luar tanggungan negara dalam masa kampanye ini sehingga meminimalkan penyalahgunaan fasilitas negara.

”Kalau sekarang abu-abu, bisa saja dia (Jokowi) menggunakan fasilitas negara itu. Ini yang berbahaya. Dan, dalam praktik kepala daerah, itu terjadi abuse of power oleh kepala daerah,” ujar Djohermansyah.

Upaya memenangkan kontestan yang didukung Jokowi itu sangat mungkin pula melalui pengerahan para penjabat kepala daerah yang kini tersebar di mana-mana. Para penjabat ini boleh dikatakan kini adalah all the president men karena pengangkatan dan pemberhentian mereka sekarang sudah tersentralisasi di Istana, yang mana awalnya proses pengangkatan tersebut dari gubernur dan diputuskan Kemendagri.

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan
KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan

Iklan

”Nah, jadi kalau ada kode-kode dari Presiden, tanda-tanda, maka itu akan dibaca oleh penjabat sebagai isyarat untuk kepentingan-kepentingan apa yang diharapkan oleh Presiden. Sebab, kariernya, nasibnya, tergantung pada Presiden. Presiden sudah ngancam, kan, Anda (penjabat) miring-miring, Anda akan kami copot. Miring-miring itu mungkin kalau kita baca sebagai kode,” katanya.

Karena itu, ia melihat, memang yang paling ideal, sebaiknya pejabat publik yang maju dalam jabatan elected official haruslah mengundurkan diri, seperti Mahfud, Prabowo yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Gibran (Wali Kota Surakarta), dan Muhaimin (Wakil Ketua DPR).

Tradisi itu sebetulnya sudah diadopsi dalam sistem pemilihan kepala daerah. Misalnya, jika gubernur ingin mau maju sebagai calon anggota legislatif (caleg), mereka harus mundur ketika sudah ditetapkan sebagai caleg. Begitu pula ASN yang ingin menjadi kepala daerah, mereka harus mundur ketika telah ditetapkan sebagai calon kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum.

”Nah, mengapa di jabatan sepenting presiden, wapres, kok (Mahfud, Prabowo, Gibran, dan Muhaimin) enggak mundur? Ada apa ini? Itulah akibat inkonsistensi dalam kebijakan,” tutur Djohermansyah.

Memang yang paling ideal, sebaiknya pejabat publik yang maju dalam jabatan elected official, haruslah mengundurkan diri.

Berpolitik yang terhormat

Adian Napitupulu pun mengaku pernah menyarankan Mahfud untuk mundur dari jabatan Menko Polhukam. Hal ini perlu dilakukan agar kemenangan yang diraih adalah kemenangan yang terhormat dan semakin memperkecil peluang pihak lawan untuk menggugat kemenangan tersebut.

Tak terkecuali Jokowi. Menurut dia, sulit untuk melepaskan presiden dari fasilitas negara. Sebab, pengawalannya saja sudah bersifat melekat. Presiden ke mana-mana harus dilindungi oleh Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) yang digaji oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika Paspampres pergi, ini justru akan bertentangan dengan aturan yang berkaitan dengan pengamanan presiden.

”Ayo, kita bangunlah berpolitik yang terhormat, gitu lho. Semua bisa kita perdebatkan soal sejauh mana presiden boleh berkampanye. Tetapi, pada akhirnya rakyat akan melihat. Lalu kita bilang, ‘Hei Paspampres, kamu tidak boleh nemenin, (karena) kamu dibayar pakai APBN? Enggak mungkin juga. Ketika kita bilang Paspampres tidak boleh nemenin, kita jadi jahat juga sama presiden. Yang ngamanin siapa? Begitu kita bilang boleh, lho APBN terpakai,” kata Adian.

Politisi PDI-P, Adian Napitupulu, pada acara Satu Meja The Forum
TANGKAPAN LAYAR KANAL YOUTUBE KOMPAS TV

Politisi PDI-P, Adian Napitupulu, pada acara Satu Meja The Forum

Karena itu, bagi Adian, Pilpres 2024 merupakan momentum bagi seluruh pihak, baik partai politik, KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Mahkamah Konstitusi, maupun presiden, untuk menguji komitmen menjaga pemilu tetap berlangsung jujur dan adil. ”Apakah benar semua kalimat-kalimat kita yang indah itu betul-betul kita laksanakan atau cuma lip service? Ini waktunya,” ujarnya.

Mardani Ali Sera mengungkapkan bahwa dirinya juga mengusulkan agar Muhaimin untuk mundur dari jabatannya di DPR. Menurut dia, langkah yang diambil Mahfud patut diapresiasi karena akan menjadi kompas moral bagi publik. ”Nah, untuk kompas moral, makanya wilayahnya bukan legal formal, tetapi wilayah etik, hati nurani, dan menjadi guru bangsa,” tuturnya.

Mardani berharap, sikap serupa bisa diambil Jokowi sehingga menjaga pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Elite politik, bahkan sampai paling atas yakni presiden, harus bisa menjaga etika politik. ”Kalau lihat legal formalnya, presiden boleh kampanye asal mengajukan cuti. Tetapi, dalam konteks membangun demokrasi yang sehat, dalam konteks kita mendidik masyarakat agar punya pandangan yang sakral terhadap demokrasi, sikap partisan presiden sangat berbahaya,” ujarnya.

Baca juga: Presiden Ikut Kampanye, secara Etika Politik Menjadi Masalah

Penyakit mundur jabatan

Sementara itu, Habiburokhman justru mempertanyakan ”penyakit mundur dari jabatan” yang belakangan ramai digaungkan. Seharusnya, jika Mahfud merasa rangkap jabatan adalah hal yang negatif, Mahfud sudah harus mundur sejak awal masa kampanye.

Ia berpandangan, keputusan mundur atau tidak mundur dari jabatan ini tergantung pribadi masing-masing dan persoalan internal. Keputusan tersebut tidak bisa asal dilabeli sebagai sesuatu yang positif atau negatif. Sejauh ini, ia menyebut Prabowo tidak pernah berpikiran untuk mundur dari jabatan Menhan.

Ia pun menegaskan, dalam konteks konstitusi, aturan perundang-undangan, maupun etika, tidak ada masalah sama sekali bagi presiden jika ingin berkampanye, bagi anaknya sekalipun. Menurutnya, potensi abuse of power justru lebih besar ketimbang yang maju kontestasi hanya anaknya atau orang yang didukung. ”Jadi jelas, tidak ada masalah. Yang diproteksi oleh undang-undang adalah jangan sampai kampanye menggunakan fasilitas negara. Yang kedua, tidak kalah penting, dia harus cuti,” katanya.

Wakil Ketua Umum Gerindra Habiburokhman menjawab pertanyaan awak media di Gedung Nusantara II DPR, Jakarta, Selasa (23/5/2023). Ia menegaskan, belum ada pembahasan terkait usulan nama dalam Kabinet Indonesia Maju jika ada perombakan.
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA

Wakil Ketua Umum Gerindra Habiburokhman menjawab pertanyaan awak media di Gedung Nusantara II DPR, Jakarta, Selasa (23/5/2023). Ia menegaskan, belum ada pembahasan terkait usulan nama dalam Kabinet Indonesia Maju jika ada perombakan.

Namun, Habiburokhman setuju agar seluruh masyarakat tetap ikut mengawasi jalannya pemilu ini agar tetap berlangsung jujur, adil, dan tanpa ada penyalahgunaan kekuasaan. Di sisi lain, ia juga mengingatkan agar optimisme harus selalu dibangun.

”Pemilu ini, kan, pesta kita semua. Pesta ratusan juta orang yang diselenggarakan oleh ratusan ribu penyelenggara. Kecurangan kita lawan bersama-sama, tetapi spirit bahwa ini adalah momen bagi kita untuk menentukan pilihan dan pemimpin yang akan memimpin kita lima tahun ke depan, itu harus kita maksimalkan. Kita serap kampanye ini, kita cermati gagasan-gagasan, pemimpin seperti apa yang bisa membawa negara ini lebih baik ke depan,” ucapnya.

Editor:
MADINA NUSRAT
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000