Dua Pegawai Pajak Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Puluhan Miliar Rupiah
Yulmanizar dan Febrian didakwa menerima suap dan gratifikasi miliaran rupiah dari sejumlah wajib pajak perusahaan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Yulmanizar dan Febrian, didakwa menerima suap dan gratifikasi miliaran rupiah dari sejumlah wajib pajak perusahaan karena turut merekayasa pajak. Kedua pegawai dimaksud merupakan anak buah dari Angin Prayitno Aji, bekas Direktur Penagihan dan Pemeriksaan di Direktorat Jenderal Pajak, yang sudah lebih dulu dihadapkan ke meja hijau.
Dakwaan terhadap Yulmanizar dan Febrian dibacakan jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rio Vernika Putra, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (25/1/2024). Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri dengan didampingi Rianto Adam Pontoh dan Sukartono sebagai hakim anggota.
Yulmanizar dan Febrian didakwa menerima hadiah uang atau janji serta menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya sebagai pemeriksa pajak di Ditjen Pajak Kemenkeu. Penerimaan tersebut diterima secara bersama-sama dengan Alfred Simanjuntak, Wawan Ridwan selaku tim pemeriksa pajak, serta bersama Dadan Ramdani selaku Kasubdit Kerja Sama dan Dukungan Pemeriksaan dan Angin Prayitno Aji selaku Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Kemenkeu.
”Padahal, diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya,” kata jaksa.
Yulmanizar dan Febrian adalah anak buah Angin yang ditunjuk sebagai anggota tim pemeriksa pajak. Saat itu, Angin menjabat sebagai Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Kemenkeu. Sebagai bagian dari tim pemeriksa, keduanya bertugas mencari wajib pajak perusahaan yang berpotensi kurang bayar pajak.
Pada saat itu, tim pemeriksa menemukan potensi pajak tahun 2016 sebesar Rp 5 miliar dari PT Gunung Madu Plantations (PT GMP). Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, tim pemeriksa menemukan invoice yang dikeluarkan PT GMP agar harga diturunkan sehingga berdampak pada turunnya pajak yang harus dibayar.
Dalam proses tersebut, PT GMP meminta dilakukan rekayasa pajak dan menjanjikan Rp 30 miliar untuk pajak beserta fee bagi tim pemeriksa dan pejabat struktural di dalamnya. Hal itu disetujui Angin. Akhirnya tim membuat perhitungan pajak sebesar Rp 19,8 miliar, sementara fee sebesar Rp 10 miliar.
Hal serupa dilakukan terhadap PT Bank Pan Indonesia (Panin) Tbk atau Bank Panin. Tim pemeriksa menemukan potensi pajak sebesar Rp 81,6 miliar. Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, ditemukan kurang bayar pajak sebesar Rp 926,26 miliar.
Melalui Veronika Lindawati, yang diberi kuasa oleh Bank Panin untuk mengurus pajak, dilakukan negosiasi. Veronika meminta kewajiban pajak Bank Panin pada angka Rp 300 miliar dan menjanjikan imbalan Rp 25 miliar kepada tim pemeriksa dan pejabat struktural. Setelah disetujui Angin, tim pemeriksa melakukan rekayasa sehingga didapatkan angka Rp 303,6 miliar.
Rekayasa pajak berikutnya dilakukan terhadap PT Jhonlin Baratama. Tim pemeriksa awalnya mendapatkan potensi pajak sebesar Rp 6,6 miliar untuk tahun pajak 2016 dan Rp 19 miliar untuk tahun pajak 2017. Konsultan pajak PT Jhonlin Baratama, Agus Susetyo, menyampaikan agar surat ketetapan kurang bayar PT Jhonlin Baratama dibuat pada kisaran Rp 10 miliar dan menjanjikan fee Rp 50 miliar bagi tim pemeriksa dan pejabat struktural.
Terkait dengan dakwaan gratifikasi, Yulmanizar dan Febrian beserta Angin, Dadan Ramdani, Wawan Ridwan, dan Alfred Simanjuntak diduga menerima fee dalam kurun 2014-2019 dari wajib pajak yang totalnya berjumlah Rp 17,9 miliar dan fasilitas berupa tiket pesawat dan hotel sebesar Rp 5,6 juta. Wajib pajak dimaksud adalah PT Sahung Brantas Energi, PT Rigunas Agri Utama, CV Perjuangan Steel, PT Indolampung Perkasa, PT Esta Indonesia, PT Walet Kembar Lestari, PT Gunung Madu Plantations, serta PT Link Net. Gratifikasi berupa uang tersebut dibagi dua, yakni 50 persen bagi pejabat struktural, sementara 50 persen dibagi rata di antara tim pemeriksa pajak.
”Bahwa perbuatan terdakwa bersama-sama dengan Febrian, Alfred Simanjuntak, Wawan Ridwan, Dadan Ramdani, dan Angin Prayitno Aji haruslah dianggap suap karena berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,” kata jaksa.
Yulmanizar dan Febrian didakwa dengan dakwaan pertama, kesatu Pasal 12 Huruf a juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP; kedua Pasal 12 Huruf b jo Pasal 18 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP; dan ketiga Pasal 11 jo Pasal 18 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Keduanya juga didakwa dakwaan kedua, yakni Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Terhadap dakwaan tersebut, baik Yulmanizar maupun Febrian mengaku memahaminya. Sementara, kuasa hukum keduanya, Heber Sihombing, menyatakan tidak akan mengajukan eksepsi. Oleh karena itu, persidangan selanjutnya adalah pemeriksaan saksi.
Dalam kasus ini, Angin Prayitno Aji sudah lebih dulu dihukum pengadilan. Awal 2022, Angin divonis 9 tahun penjara karena menerima imbalan hingga Rp 3,3 miliar untuk merekayasa laporan pajak tiga perusahaan yang merupakan wajib pajak. Kemudian akhir Agustus 2023, hukumannya bertambah setelah majelis hakim menyatakan Angin terbukti menerima gratifikasi dan pencucian uang. Ia dihukum pidana penjara selama 7 tahun.