Disayangkan, Komoditas Strategis Sawit Tidak Muncul dalam Debat Cawapres
Sawit RI menguasai 30 persen pasar minyak nabati dunia. Ketiga paslon patut menawarkan program terkait masa depan sawit.
JAKARTA, KOMPAS — Sangat disayangkan debat calon wakil presiden yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum RI pada Minggu (21/1/2024) malam tidak menyinggung masalah substantif tentang sawit Indonesia. Tidak terlihat jelas dari seluruh pasangan calon bagaimana rencana kebijakan mereka tentang sawit yang pada tahun 2022 menyumbang devisa ekspor senilai 39,07 miliar dollar AS atau setara Rp 600 triliun. Padahal, dalam berbagai diskusi publik, beberapa rencana terkait komoditas strategis ini telah muncul, seperti kebutuhan akan badan setingkat menteri yang khusus menangani sawit secara komprehensif dan lestari.
”Ada sekitar 20 juta jiwa yang terkait dengan sawit, baik pekerja langsung maupun tidak langsung, belum keluarganya,” kata Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Rabu (24/1/2024). Menurut Achmad, dibutuhkan kebijakan tentang model pengembangan kebun sawit yang komprehensif.
Indonesia kini memiliki 16,38 juta hektar perkebunan kelapa sawit dengan 41 persennya merupakan milik masyarakat. Ia mengatakan, diperlukan batas-batas yang jelas untuk perkebunan sawit agar komoditas lain juga mendapat ruang. ”Biar kita tidak tergantung hanya pada sawit,” kata Achmad.
Dalam debat yang diikuti cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar; cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka; dan cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, berlangsung di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024) malam, tema yang dibahas adalah pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup, sumber daya alam dan energi, pangan, agraria, masyarakat adat, serta desa.
Baca juga: Jalan Berliku Kelapa Sawit dari Loyang Menjadi Emas
Ia mengatakan, kebijakan tentang sawit adalah hal esensial bagi Indonesia. Tidak hanya karena mencakup banyak orang, tetapi ada pertemuan antara kepentingan ekonomi, lingkungan hidup, sosial, bahkan politik luar negeri dan keamanan dan politik luar negeri. ”Tidak jarang ada kekerasan yang terjadi karena sawit,” kata Achmad.
Senada dengan Achmad, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahrizal, menilai, strategi debat keempat Pilpres 2024 masih didominasi oleh gimik atau sesuatu yang sengaja dibuat untuk menarik perhatian. Debat belum mengutamakan substansi.
Baca juga: Peneliti CSIS Nilai Debat Cawapres Masih Didominasi Gimik, Belum Substansi
Hal tersebut membuat sejumlah isu penting terkait ekonomi dan lingkungan hidup jauh dari pembahasan serius. Nicky menyayangkan terlewatnya topik-topik penting dalam debat tersebut. ”Perdebatan itu adu gagasan, bukan adu gimik,” katanya.
Idealnya para pasangan calon capres/cawapres melihat persoalan-persoalan yang mengemuka sebagai hal substantif dalam program kerja mereka yang ditawarkan kepada rakyat Indonesia. Industri sawit sebagai salah satu motor perekonomian yang menyerap 16,2 juta pekerja langsung dan tidak langsung dan menjadi sumber penghidupan bagi sedikitnya 48 juta orang layak mendapat perhatian serius.
Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia dan kini menguasai 30 persen pasar minyak nabati internasional tentu membutuhkan rencana kebijakan komprehensif yang ditawarkan oleh ketiga pasangan capres/cawapres dalam Pemilu 2024. Dari sisi ketahanan energi, kebijakan 35 persen bauran biodiesel sawit terhadap bahan bakar fosil membuat pemerintah menghemat devisa 2,64 miliar dollar AS (Rp 38 triliun).
Konsep pasangan calon
Sejatinya, para pasangan capres dan cawapres ini telah memiliki konsep terkait perkebunan sawit. Sayangnya dalam debat antarcawapres pada Minggu malam lalu, karena berbagai faktor, esensi ini tidak muncul. Padahal, dalam tatanan demokrasi justru acara debat menjadi ajang para calon pemegang mandat kekuasaan (kratos) untuk merepresentasikan dirinya dalam sebuah dialog pada pemegang kekuasaan yang sebenarnya, yaitu rakyat (demos).
Dibutuhkan ruang-ruang publik yang menjadi ajang interaksi tersebut. Oleh karena itu, beberapa waktu lalu, diadakan Bincang Kompas ”Urun Rembuk Bersama Stakeholder Sawit Nasional” di Jakarta, Rabu (17/1/2024). Selengkapnya diskusi itu bisa diakses lewat kanal Youtube Harian Kompas.
Para anggota dewan pakar tim sukses ketiga pasangan calon berdiskusi dengan pemangku kebijakan sawit di Indonesia. Hadir Achmad Nur Hidayat dari Tim Nasional Pemenangan pasangan capres/cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Panji Irawan dari Tim Kampanye Nasional pasangan capres/cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabumi Raka, serta Danang Girindrawardana dari Tim Pemenangan Nasional pasangan capres/cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Achmad Nur Hidayat, yang akrab disapa Matnur, mengatakan, Anies-Muhaimin melihat sawit adalah salah satu peluang menyejahterakan masyarakat. Menurut Matnur, pasangan capres/cawapres nomor 1 melihat bahwa inkonsistensi regulasi, terutama terkait legalitas tanah, menjadi persoalan terbesar bagi 2,6 juta pengusaha kecil, 4,2 juta pekerja langsung, dan 12 juta pekerja tidak langsung.
”Salah satu agenda pertama dalam menyelesaikan sawit adalah menyelesaikan masalah legalitas tanah petani,” kata Matnur.
Badan setingkat kementerian
Selain itu, petani membutuhkan akses teknologi. Petani diberdayakan dengan pendirian koperasi serta peremajaan sawit. Ia juga menggarisbawahi pentingnya diplomasi sawit di luar negeri agar sawit dari Indonesia bisa mendapatkan perlakuan yang proporsional.
Matnur mengajukan pentingnya dibentuk badan setingkat kementerian yang khusus mengatur sawit dari hulu sampai hilir. Badan tersebut dibutuhkan untuk sinkronisasi berbagai kebijakan sehingga tidak tumpang tindih dan merugikan petani.
Baca juga: Debat Kedua Cawapres Belum Dalami Permasalahan Dasar Sawit
Usul akan adanya Badan Sawit Nasional, seperti Malaysia Palm Oil Board (MPOB) di Malaysia, juga mengemuka dari Panji Irawan. Panji mengatakan, badan yang disebutnya Badan Sawit Indonesia menjadi lembaga yang memiliki otoritas penuh sehingga dapat menjembatani pemangku kepentingan dengan baik, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan demikian, sawit yang bisa disebut sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia bisa ditangani dengan baik.
Panji mengatakan, Prabowo dan Gibran menyebutkan sawit sebagai tulang punggung tidak hanya dalam konteks hari ini, tetapi ke depan Indonesia berpeluang menjadi raja energi hijau dunia, dari sawit. Selain legalitas tanah, Panji mengatakan, pihaknya melihat bahwa pemerintah yang baru nantinya perlu menjamin ketersediaan pupuk, benih, dan pestisida.
Koperasi-koperasi akan digunakan untuk menyalurkan pupuk ke petani. ”Dewan Pakar TIm Kampanye Nasional Prabowo-Gibran juga telah memikirkan, bangun pabrik pupuk di kluster para petani. Dengan konsep ekonomi koperasi, mereka menjadi pemegang saham,” kata Panji.
Anggota Dewan Pakar Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Danang Girindrawardana, juga menggarisbawahi persoalan lahan ini. Ia mengatakan, banyak inkonsistensi aturan terkait hak guna usaha (HGU) sehingga status lahan bisa berubah dari areal usaha pertanian menjadi kawasan hutan dan nonhutan di tengah masa berlakunya. Hal ini disebabkan soal lahan ini diatur oleh tiga kementerian, yaitu Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
”Kebijakan di industri sawit hendaknya berawal dari hulu, bukan di hilir. Oleh karena itu, TPN Ganjar-Mahfud akan mereformasi birokrasi dan tata kelola kementerian atau lembaga yang terkait industri sawit,” kata Danang.
Danang mengatakan, ada beberapa target yang ditetapkan TPN seperti meningkatkan produktivitas dengan peremajaan, meningkatkan sumber daya genetis, strategi kawasan khusus bioenergi, memastikan hilirisasi sawit serta berbagai aturan untuk kepastian hukum. Ia mengatakan, untuk bisa mencapai berbagai target tersebut, dibutuhkan badan setingkat menteri yang secara khusus mengurusi industri sawit.