Kejaksaan Tak Kompak soal Status Nistra Yohan di Kasus BTS 4G
Status Nistra Yohan yang dalam persidangan disebut menerima uang Rp 70 miliar dari proyek BTS 4G masih simpang siur.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Kejaksaan tidak kompak dalam mengungkap status Nistra Yohan, staf ahli dari anggota Komisi I DPR, yang disebut dalam persidangan kasus dugaan korupsi pembangunan menara base transceiver station atau BTS 4G menerima uang Rp 70 miliar. Jaksa penuntut umum menyebut Nistra telah masuk dalam daftar pencarian orang, sementara Kejaksaan Agung menyatakan masih mengkajinya. Ketidakkompakan pernyataan dua pihak yang berasal dari satu institusi tersebut dianggap sebagai upaya membatasi kasus ini pada pihak tertentu saja.
Pada persidangan kasus pembangunan menara BTS di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 8 Januari 2024, majelis hakim bertanya kepada Irwan Hermawan yang duduk sebagai saksi terhadap terdakwa Windy Purnama mengenai pihak yang menerima uang dari Irwan dalam kasus pembangunan menara BTS.
Salah satunya adalah Nistra Yohan yang disebut menerima uang sebanyak dua kali dengan total Rp 70 miliar. Nistra disebut Irwan sebagai staf ahli dari anggota Komisi I DPR meski Irwan mengaku tidak mengetahui maksud pemberian uang itu.
Ketika majelis hakim bertanya kepada jaksa penuntut umum mengenai keberadaan Nistra, jaksa mengatakan, sudah dilakukan pemanggilan kepada Nistra beberapa kali. ”Orang ini DPO (daftar pencarian orang), Yang Mulia,” kata jaksa penuntut umum.
Meski demikian, ketika dikonfirmasi terkait pernyataan jaksa penuntut umum mengenai status Nistra yang masuk DPO, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Kuntadi tidak mengiyakan ataupun menampik. Kuntadi hanya mengatakan, pihaknya masih mencermati dan mendalami.
”Ya, nanti dilihat dulu. Yang jelas kita masih mencermati,” kata Kuntadi, Selasa (16/1/2024).
Selain Nistra, uang terkait proyek pembangunan BTS 4G juga dibagikan kepada Edward Hutahaean, Achsanul Qosasi melalui Sadikin, Elvano Hatorangan, serta Feriandi Mirza. Nama lainnya adalah Dito Ariotedjo dan Windu Aji.
Ketika ditanya kembali tentang status Nistra, Kuntadi kembali mengelak dengan mengulang pernyataan, ”Lihat saja dan nanti dulu.”
Kuntadi malah meminta agar pertanyaan itu disampaikan kepada jaksa penuntut umum. Kuntadi juga berusaha mengelak ketika ditanya tentang kemungkinan Nistra masih hidup atau tidak. ”Nantilah, dilihat, ya. Pelan-pelanlah, jangan buru-buru. Tunggulah,” ujar Kuntadi.
Demikian pula ketika ditanya mengenai sosok berinisial ”S” yang disebut Kejagung sebagai pihak yang mengetahui uang sebesar 1,8 juta dollar AS atau sekitar Rp 27 miliar, Kuntadi mengatakan tidak tahu. Sosok S tersebut diungkap Kejagung setelah memeriksa advokat Maqdir Ismail pada Juli 2023.
Menurut Kuntadi, hingga saat ini, status Dito ataupun Nistra masih saksi. Ketika ditanya mengenai sosok Windu Aji yang disebut menerima uang Rp 66 miliar, Kuntadi hanya mengatakan, penyidik masih mendalami.
Setengah-setengah
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman berpandangan, pernyataan Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung tersebut dinilai sebagai upaya untuk melokalisasi perkara hanya kepada pihak yang saat ini sudah menjadi tersangka. Penyidik dinilai tidak bermaksud untuk mengembangkan kasus itu ke pihak lain.
Terhadap sosok bernama Nistra, lanjut Boyamin, pihaknya telah mengajukan permohonan praperadilan karena yang bersangkutan telah dipanggil dua kali oleh penyidik, tetapi tidak pernah memenuhi panggilan itu. ”Seharusnya, sudah diterbitkan surat perintah membawa dalam pengertian dicari sebagai DPO. Kejagung kalau mengatakan belum itu berarti tidak ada niat untuk mengejar Nistra Yohan,” kata Boyamin.
Menurut Boyamin, beberapa waktu lalu dia pernah menyampaikan informasi kepada Kejagung mengenai keberadaan Nistra Yohan yang diduga berada di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Namun, informasi itu tidak ditanggapi Kejagung.
Ketidakseriusan Kejagung, kata Boyamin, juga tampak dari belum ditemukannya sosok berinisial S sejak beberapa bulan lalu. Padahal, penyidik telah memeriksa para saksi, termasuk Dito dan Maqdir, serta mereka yang kini tengah duduk sebagai terdakwa di persidangan. Hal itu dinilai memperkuat anggapan tentang ketidakseriusan Kejagung untuk menuntaskan kasus ini.
Boyamin mengingatkan, upaya yang setengah-setengah sebagaimana ditunjukkan Kejagung saat ini dapat menurunkan kepercayaan publik yang selama ini disebut cukup tinggi. Berkaca pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak menuntaskan beberapa kasus sehingga mengakibatkan kepercayaan publik turun, Boyamin berharap hal itu tidak dilakukan oleh Kejagung.
”Istilahnya otokritik. Masih ingin dipercaya masyarakat atau tidak. Kalau tidak dituntaskan, nanti kepercayaan masyarakat akan turun. Kejaksaan Agung jangan mengulangi kesalahan yang terjadi di KPK,” ujarnya.