Narasi ”Serangan Personal” dalam Debat Capres Dinilai Menyesatkan
Di Indonesia, masyarakat menyukai kandidat yang punya cara komunikasi persuasif, lembut, sederhana, mudah dipahami.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pengamat dan ahli komunikasi politik menilai, narasi mengenai adanya data rahasia mengenai pertahanan dan serangan pribadi dalam debat ketiga calon presiden menyesatkan dan tidak membangun diskusi publik. Berbagai hal berkaitan dengan kebijakan publik, alokasi anggaran, dan prioritas strategi pertahanan bukanlah rahasia. Data itu perlu dibuka sebagai bagian transparansi pemerintah.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik dan juga dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI, Hurriyah, mengatakan, ada batasan yang jelas mengenai serangan personal dan bukan personal dalam debat capres. ”Serangan personal itu kalau pertanyaan tidak berkaitan dengan kebijakan, gagasan, atau pemikiran,” ujarnya di Jakarta, Selasa (9/1/2024).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sebaliknya, kalau berkaitan dengan pertanggungjawaban penjabat publik, itu bukan personal. Hurriyah juga mencontohkan, pertanyaan mengenai sumber kekayaan seseorang bisa dikategorikan sebagai hal personal. Namun, ketika pertanyaan disampaikan kepada seorang penjabat publik, maka hal itu bukanlah personal karena penjabat publik punya tanggung jawab melaporkan kekayaan.
Baca juga: Anies Dominasi Medsos, Ganjar Raih Apresiasi Paling Tinggi
Menurut Hurriyah, narasi yang mengatakan bahwa debat capres menyerang calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto, menyesatkan. ”Saya melihat justru ada upaya membelokkan informasi dan menyesatkan. Kalau mau dicari siapa yang menyerang (personal), justru Pak Prabowo yang telah menyerang Pak Anies Baswedan dengan memanggil Profesor Anies, padahal Pak Prabowo tahu bahwa Pak Anies bukan profesor. Ini serangan yang sangat personal dan bentuk mengolok-olok Pak Anies,” ujarnya.
Serangan personal itu kalau pertanyaan tidak berkaitan dengan kebijakan, gagasan, atau pemikiran.
Ia juga menerangkan bahwa narasi mengenai data rahasia Kementerian Pertahanan itu menyesatkan masyarakat. Seharusnya, sebagai penjabat petahana, Prabowo Subianto mampu menjelaskan data yang dianggapnya salah di ruang debat.
Ini, kan, bukan strategi perang, Pak Prabowo hanya diminta menjelaskan anggaran Rp 700 triliun di Kementerian Pertahanan itu habis untuk apa saja.
”Ini, kan, bukan strategi perang, Pak Prabowo hanya diminta menjelaskan anggaran Rp 700 triliun di Kementerian Pertahanan itu habis untuk apa saja,” katanya.
Hurriyah menilai ada upaya calon presiden untuk bermain di ranah persepsi masyarakat dengan mengatakan terdapat ”data rahasia” dan ”serangan personal”. ”Hal ini memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap calon presiden. Masyarakat yang memilih capres secara emosional akan semakin mendukung karena mereka merasa capresnya diserang,” ujar Hurriyah.
Tak ada batasan pertanyaan
Dosen Komunikasi Politik di Universitas Airlangga, Suko Widodo, berpendapat, sejarah debat capres berasal dari Amerika Serikat. ”Kalau di Amerika Serikat, celana dalam saja ditanyakan. Pertanyaannya bisa sedetail itu dan tidak ada batasannya,” kata Suko.
Suko mengatakan, tidak pernah ada batasan pertanyaan yang boleh atau tidak boleh disampaikan di ruang debat. Selama pertanyaan itu masih terkait tema, maka tidak masalah. Penggunaan data untuk bertanya juga hal yang positif. ”Justru semakin banyak data dari sumber tepercaya, data semakin baik,” katanya.
Kalau di Amerika Serikat, celana dalam saja ditanyakan. Pertanyaannya bisa sedetail itu dan tidak ada batasannya.
Menurut Suko, fungsi debat adalah promosi diri setiap kandidat presiden. Respons dari capres untuk menanggapi setiap pertanyaan lawan adalah sesuatu yang dinantikan oleh publik. Dari respons itu, masyarakat bisa menilai karakter dan gagasan dari capres.
Ia mencontohkan, calon wakil presiden nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, tidak bisa menjawab pertanyaan calon wapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, ketika ditanyakan mengenai SGIE (State of the Global Islamic Economy). ”Tetapi, respons Muhaimin justru memberikan sentimen negatif tinggi ke Gibran,” kata Suko.
Seharusnya capres tidak menganggap pertanyaan dari kandidat lain sebagai hal yang menyerang, tetapi bagaimana bisa merespons pertanyaan itu untuk merepresentasikan gagasan dan visi misi.
Meskipun sejarah debat berasal dari Amerika Serikat, Suko menilai karakter masyarakat Indonesia berbeda dengan negara itu. Di Amerika Serikat, kandidat presiden dengan jawaban yang tegas dan lugas disukai. Sementara di Indonesia, masyarakat menyukai kandidat yang punya cara komunikasi persuasif, lembut, bahasanya sederhana, mudah dipahami, intonasinya menyenangkan, dan tidak terkesan menggurui.
Dalam debat lalu, ia menilai capres nomor urut 1, Anies Baswedan, mempunyai diksi atau kata-kata yang cukup jelas dan runtut. Namun, kadang ia menggunakan istilah-istilah yang tidak dipahami masyarakat. Prabowo lugas dan tegas, tetapi banyak pesan yang hilang dan masyarakat dipaksa mengerti istilah yang sebenarnya tidak dipahami.
Baca juga: Anies dan Ganjar Sebut Prabowo Tak Mampu Balas soal Data
Sementara Ganjar berada di tengah-tengah, dan ia menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami masyarakat. Pembawaan Ganjar yang tenang juga membuat masyarakat lebih terkesan.
”Seharusnya capres tidak menganggap pertanyaan dari kandidat lain sebagai hal yang menyerang, tetapi bagaimana bisa merespons pertanyaan itu untuk merepresentasikan gagasan dan visi misi,” katanya.