Oase Kebebasan Berpendapat dari Vonis Bebas Haris dan Fatia
Hakim PN Jakarta Timur mengingatkan, seorang pejabat harus siap mendapat kritik, baik secara personal maupun kebijakan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Vonis bebas yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (8/1/2024), terhadap aktivis hak asasi manusia dan demokrasi Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti disambut positif dan dianggap sebagai oase bagi kebebasan berekspresi di Indonesia. Sebab, hakim juga menegaskan kritik terhadap pejabat publik memiliki legitimasi karena dilindungi konstitusi, standar hukum, hak asasi manusia, serta kovenan hak sipil dan politik yang sudah diratifikasi di Indonesia.
Putusan dalam kasus dugaan pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terhadap Haris dan Fatia dibacakan bergantian oleh hakim ketua Cokorda Gede Arthana dan dua hakim anggota, yaitu Muhammad Djohar Arifin dan Agam Syarief Baharudin.
”Menyatakan bahwa terdakwa Haris Azhar tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan penuntut umum. Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan,” ujar hakim ketua Cokorda.
Putusan yang sama juga dibacakan secara terpisah terhadap Fatia. Selain membebaskan dari segala dakwaan, majelis hakim juga memulihkan hak terdakwa, yaitu kemampuan, kedudukan, serta harkat dan martabatnya.
Kasus ini berawal dari tak terimanya Luhut atas podcast yang disampaikan Haris dan Fatia di konten Youtube berjudul ”Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Operasi Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!! Ngehantam”. Luhut sakit hati karena nama baik dan kehormatannya diserang, terutama dalam sebutan ”Lord”, kalimat “Jadi Luhut bisa dibilang bermain dalam pertambangan di Papua hari ini”, dan “Jadi penjahat juga kita”.
Namun, dalam pertimbangan hukumnya, hakim Muhammad Djohar Arifin mengatakan kalimat-kalimat itu bukanlah bentuk penghinaan karena didasarkan pada telaah atau analisis kajian cepat koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari sembilan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang lingkungan hidup dan HAM.
Terkait keberatan Luhut soal disebut Lord, hakim mengatakan perkataan itu telah sering disematkan kepadanya dalam pemberitaan di media daring. Hal itu telah lazim dalam perbincangan sehari-hari. Jika diselisik lebih jauh, dalam bahasa Inggris, Lord berarti yang mulia, tuan, yang memiliki kendali atas pihak lain, pemimpin atau penguasa. Penyebutan dimaksudkan bukan secara personal, tetapi lebih kepada posisi sebagai menteri Presiden Joko Widodo yang mengurusi pemerintahan dan kedaruratan.
Mengenai frasa ”jadi penjahat juga kita”, hal itu disebut sebagai selorohan jika melihat konteks percakapan. Perkataan itu tidak ditujukan kepada Luhut, tetapi ajakan Haris untuk mengambil alih perusahaan.
Adapun soal Luhut yang disebut bermain dalam proyek pertambangan di Papua, hakim menyebut afiliasi itu terbukti. Dalam persidangan, Luhut mengakui memiliki 99 persen saham di PT Toba Sejahtera Group. Adapun PT Tobacom Del Mandiri yang mengoperasikan tambang di Papua adalah anak perusahaan dari PT Toba Sejahtera Group. Meski Luhut tak memiliki saham di PT Tobacom Del Mandiri, ia tetap mendapatkan keuntungan dari perusahaan itu.
”Secara tidak langsung Luhut adalah beneficial owner (pemilik manfaat) dari perusahaan PT Tobacom Del Mandiri,” jelas Arifin.
Hakim berpandangan kalimat yang disebut Fatia bahwa ”Jadi Luhut bisa dibilang bermain dalam pertambangan di Papua hari ini” adalah hal yang tidak dapat diingkari. Hal itu juga bukan termasuk penghinaan, pencemaran nama baik, maupun berita bohong. Hakim justru menilai hal itu adalah hasil telaah, analisis dari kajian cepat atau riset koalisi masyarakat sipil.
Tidak antikritik
Dalam pertimbangannya, hakim Agam Syarif juga menyebut pepatah Latin, cogitationis poenam nemo patitur, yang berarti tidak ada seorang pun yang boleh dihukum karena pikirannya. Ia menegaskan bahwa menjadi seorang pejabat memang harus siap mendapatkan kritik, baik secara personal maupun kebijakannya. Kritik yang disampaikan kepada pemerintah adalah bentuk kebebasan berpendapat.
Atas putusan tersebut, anggota tim kuasa hukum Haris-Fatia, Arief Maulana, mengatakan, ada sedikit harapan terhadap demokrasi atas vonis bebas tersebut. Apa yang disampaikan Haris dan Fatia adalah fakta hasil riset dan hal itu diamini oleh majelis hakim bahwa ada konflik kepentingan di dalamnya. Ia berharap Mahkamah Agung akan tetap konsisten jika ada upaya hukum kasasi dari jaksa penuntut umum.
”Meskipun demikian, ada catatan bahwa masih ada revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang masih mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi,” kata Arief.
Pengajar hukum Universitas Gadjah Mada, Herlambang P Wiratraman, juga menyebut putusan itu bisa disebut sebagai sebuah oase dalam demokrasi. Sebab, hakim menegaskan bahwa kritik terhadap pejabat publik memiliki legitimasi karena dilindungi oleh konstitusi, standar hukum dan HAM, serta kovenan hak sipil dan politik yang sudah diratifikasi di Indonesia. Ke depan, diharapkan kritik terhadap pejabat dan kebijakan umum tak lagi dikriminalisasi.
”Kritik terhadap pejabat publik dan kebijakan publik adalah hal biasa saja, apalagi berdasarkan riset. Itu adalah kebebasan berpendapat dan bentuk ekspresi yang legitimate,” katanya.
Namun, menurut Herlambang, sayangnya hal itu baru terjadi di level pengadilan. Di peradilan atau proses penegakan hukum, kasus Haris-Fatia ini seharusnya tidak perlu berlarut-larut dan sampai di tingkat persidangan. Sebab, sudah jelas bahwa hal itu bukanlah tindakan pencemaran nama baik.
”Tidak ada yang bisa menggaransi bahwa kasus serupa akan terulang. Politik peradilan kita memang bermasalah dan seharusnya aparat penegak hukum maupun pengadilan kritis pada isu pelemahan demokrasi,” kata Herlambang.
Herlambang menyebut, jika ingin melindungi kebebasan sipil, aparat penegak hukum harus mau meningkatkan pemahaman hukumnya, terutama perkembangan doktrin kebebasan sipil dan hak asasi manusia.
Putusan progresif pernah dibuat oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada saat memutus kasus pemadaman internet di Papua dan Jakarta. Majelis hakim mampu membuat putusan dengan argumentasi hukum dan HAM yang melindungi kebebasan sipil dan penguatan demokrasi.
Kasasi
Haris dan Fatia menyatakan menerima putusan bebas yang dijatuhkan majelis hakim. Adapun dalam persidangan, tim jaksa penuntut umum (JPU) menyebut masih akan mempelajari putusan dan pikir-pikir. Namun, pada Senin sore, Pelaksana Tugas Kepala Seksi Penerangan Umum Kejaksaan Tinggi DKI Herlangga Wisnu Murdianto mengatakan pihaknya menyatakan kasasi atas putusan PN Jaktim tersebut.
”Terhadap putusan tersebut, JPU pada Kejaksaan Negeri Jakarta Timur menyatakan kasasi dan segera menyiapkan memori kasasi terhadap perkara tersebut,” ujar Herlangga.
Sementara itu, melalui keterangan tertulis, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pihaknya menghormati putusan tersebut. Meskipun demikian, ia menyayangkan ada beberapa fakta dan bukti penting selama persidangan yang tidak menjadi pertimbangan putusan tersebut. Seharusnya setiap aspek dan fakta dalam kasus hukum dipertimbangkan secara saksama untuk mencapai putusan yang adil dan bijaksana.
”Selanjutnya, kami menyerahkan sepenuhnya kepada penuntut umum atas proses yang akan diambil berikutnya. Kami percaya bahwa penuntut umum akan melanjutkan proses hukum ini dengan bijaksana dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,” kata Luhut.