Industri Pertahanan Indonesia, Sudah Mandiri atau Masih Bergantung Produk Luar Negeri? (3)
Jalan menuju kemandirian industri pertahanan telah dirintis. Konsisten dengan UU Industri Pertahanan dan transparan dalam pengadaan alutsista jadi kunci agar industri pertahanan Indonesia mampu bersaing di level global.
Oleh
KHAERUDIN
·3 menit baca
Debat calon presiden yang salah satu temanya adalah pertahanan, Minggu (7/1/2024) malam, menguak banyak persoalan dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan atau alutsista di Indonesia. Dari persoalan transparansi pengadaan hingga pembelian alutsista bekas. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan sebenarnya menjawab banyak persoalan dalam pengadaan alutsista.
Ini adalah tulisan seri ketiga tentang industri pertahanan Indonesia. UU Industri Pertahanan memberi jalan yang mudah bagi pengguna alat pertahanan keamanan (alpalhankam) atau alat utama sistem senjata (alutsista), khususnya TNI dan Polri, dalam pengadaan. TNI dan Polri wajib menggunakan alpalhankam buatan dalam negeri selama produk tersebut dapat diproduksi oleh industri pertahanan lokal.
Apabila industri pertahanan lokal belum mampu membuat alpalhankam yang diinginakn TNI dan Polri, mereka boleh membeli produk luar negeri dengan berbagai persyaratan. Syarat-syarat pembelian produk alpalhankam tersebut, antara lain, adalah produsen harus mau melakukan transfer teknologi dan ofset dengan industri pertahanan Indonesia.
Satu dekade lebih sejak UU Industri Pertahanan disahkan, industri pertahanan dalam negeri cukup berkembang. Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang dibentuk pemerintah untuk mengoordinasikan kebijakan nasional dalam perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi industri pertahanan, saat ini setidaknya mengoordinasikan delapan badan usaha milik negara (BUMN) dan 34 perusahaan swasta yang bergerak di sektor industri pertahanan.
Delapan BUMN yang bisnisnya bergerak di sektor industri pertahanan ini adalah PT Pindad (Persero), PAL Indonesia (Persero), Dirgantara Indonesia, Nusantara Turbin dan Propulsi, LEN Industri (Persero), Inti (Persero), Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero), serta Dahana (Persero). Delapan BUMN tersebut juga telah menjadi pemain global industri pertahanan.
Sementara itu, 34 perusahaan swasta di sektor industri pertahanan bisnisnya merentang dari produsen kapal laut, pembuat pesawat nirawak, teknologi avionik, teknologi komunikasi, satelit, hingga pakaian militer. Produk-produk industri pertahanan di antaranya berstandar internasional dan tersertifikasi secara global. Klien dan konsumen mereka juga di antaranya datnag dari luar negeri. Meski masih belum bisa dikatakan menjadi bagian dari rantai pasok industri pertahanan global.
Konsumen atau pengguna produk BUMN di sektor industri pertahanan tentu saja mayoritas dari TNI dan Polri. Meski begitu, kapitalisasi pasar delapan BUMN tersebut masih jauh bila dibandingkan dengan raksasa industri pertahanan dunia. Bahkan andai kata delapan BUMN itu digabungkan sekali pun, mereka belum dapat menjadi pemain utama industri pertahanan global.
Data The Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), yang tiap tahun merangking industri pertahanan global berdasarkan pendapatan tahunannya, tak menempatkan satu pun industri pertahanan Indonesia dalam peringkat 100 besar dunia. Satu-satunya industri pertahanan asal Asia Tenggara yang masuk dalam peringkat 100 besar perusahaan produsen senjata dan layanan militer adalah ST Engineering dari Singapura. ST Engineering berada pada peringkat ke-55 perusahaan produsen senjata dan penyedia layanan militer terbesar versi SIPRI tahun 2022.
Satu-satunya industri pertahanan asal Asia Tenggara yang masuk dalam peringkat 100 besar perusahaan produsen senjata dan layanan militer adalah ST Engineering dari Singapura.
Sepuluh besar perusahaan produsen senjata dan layanan militer terbesar versi SIPRI tahun 2022 tersebut berasal dari Amerika Serikat, Inggris, China, dan Rusia. Lima besar diduduki oleh Lockheed Martin Corp, Raytheon Technologies, Northrop Grumman Corp, Boeing, dan General Dynamics Corp. Peringkat keenam diduduki oleh perusahaan asal Inggris, BAE System. Peringkat ke-7 hingga ke-9 diduduki perusahaan asal China, yakni NORINCO, AVIC, dan CASC. Sementara peringkat ke-10 diduduki perusahaan asal Rusia, Rostec.
Namun, UU Industri Pertahanan menjadi jalan bagi perusahaan BUMN maupun swasta di sektor ini untuk berkembang. Syarat alih teknologi dan ofset pertahanan untuk pengadaan alutsista buatan luar negeri, menjadikan BUMN di industri pertahanan bermitra dengan banyak perusahaan global yang masuk di peringkat 100 besar dunia versi SIPRI.
PT Dirgantara Indonesia telah lama bermitra dengan Airbus, perusahaan milik negara-negara Eropa yang berada di peringkat ke-14. PT PAL menjalin kerja sama pembuatan kapal selam dengan NAVAL Group asal Perancis yang berada di peringkat ke-29. Sementara PT Pindad sejak pembelian tank tempur utama Leopard buatan produsen asal Jerman, Rheinmetall yang menduduki peringkat ke-28, telah menjalin kerja sama pembuatan amunisi berat.
KKIP UU No 16/2012 memberikan peluang besar dan menjadi akselerator bagi pemberdayaan dan pertumbuhan industri-industri padat modal, padat karya, dan padat teknologi untuk bergerak di sektor industri pertahanan. Bahkan dalam laman resminya, KKIP mengakui meski industri pertahanan nasional hingga saat ini masih belum mampu menopang kebutuhan alpalhankam secara optimal, diharapkan melalui penerapan UU No 16/2012 secara konsisten, cita-cita untuk memiliki industri pertahanan yang maju, kuat, mandiri, dan berdaya saing akan dapat terwujud dan bermuara pada kemandirian pemenuhan kebutuhan alpalhankam TNI/Polri.
Jalan menuju kemandirian industri pertahanan telah dirintis. Konsisten dengan pelaksanaan UU Industri Pertahanan dan transparan dalam pengadaan alutsista menjadi kunci agar ke depan industri pertahanan dalam negeri juga mampu bersaing di level global.