Industri Pertahanan Indonesia, Sudah Mandiri atau Masih Bergantung Produk Luar Negeri? (2)
Ketentuan soal alih teknologi dan ofset dalam pengadaan alutsista produk luar negeri seperti diamanatkan UU Industri Pertahanan masih jauh dari harapan. Padahal, ofset menjadi pintu masuk kemandirian industri pertahanan.
Bagaimana industri pertahanan Indonesia setelah ada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan? Kini, lebih dari satu dekade sejak pengesahan UU tersebut, industri pertahanan dalam negeri jauh berkembang. Meski demikian, tentu saja, untuk alat pertahanan dan keamanan yang mutakhir dan canggih, Indonesia masih mengimpornya dari luar negeri. Ini adalah tulisan kedua dari seri tulisan tentang industri pertahanan Indonesia.
Baca Juga: Industri Pertahanan Indonesia, Sudah Mandiri atau Masih Bergantung Produk Luar Negeri
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Lebih dari satu dekade sejak UU Industri Pertahanan disahkan, peta jalan industri pertahanan dalam negeri makin terlihat jelas. Mantan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro kepada penulis pernah menuturkan cita-cita Indonesia dalam industri pertahanan setidaknya bisa mengikuti langkah kemandirian industri pertahanan negara-negara Nordik. Negara-negara Nordik, seperti Swedia, Norwegia, Denmark, dan Finlandia, mampu menjadi negara dengan industri pertahanan mandiri dan menjadi kekuatan global. Kecuali Islandia, semua negara Nordik menjadi pengekspor senjata.
Bahkan, meski wilayahnya dekat dan berbatasan langsung dengan Rusia, salah satu kekuatan militer global, kemampuan alat utama sistem persenjataan (alutsista) negara-negara Nordik, seperti Finlandia, Swedia dan Norwegia, tak kalah kuat.
SAAB, perusahaan kedirgantaraan dan pertahanan asal Swedia, dikenal sebagai salah satu pembuat pesawat tempur multiperan Gripen yang diekspor ke banyak negara. Kongsberg, grup usaha dari Norwegia, dikenal sebagai pemasok sistem dan produk terkait pertahanan dan luar angkasa, terutama rudal antikapal, komunikasi militer, serta sistem komando dan kendali senjata untuk angkatan laut.
Jalan industri pertahanan Indonesia untuk menjadi pemain global mungkin masih jauh. Namun, langkah ke arah sana sudah dimulai.
Bahkan, meski wilayahnya dekat dan berbatasan langsung dengan Rusia, salah satu kekuatan militer global, kemampuan alat utama sistem persenjataan negara-negara Nordik, seperti Finlandia, Swedia dan Norwegia, tak kalah kuat.
Pengadaan alutsista dari produsen luar negeri mulai melibatkan industri dalam negeri. UU Industri Pertahanan menjadi payung kerja sama pengadaan atau akuisisi alutsista buatan luar negeri. Saat Indonesia membeli main battle tank Leopard produksi pabrikan dari Jerman, Rheinmetall, PT Pindad dilibatkan. Pindad bekerja sama dengan memproduksi amunisi kaliber besar.
Saat Indonesia membeli tiga kapal selam buatan pabrikan Daewoo Shipbuilding Marine Engineering Co Ltd (DSME) dari Korea Selatan, ada kerja sama dengan PT PAL. Pembangunan kapal selam ketiga dilakukan di galangan milik PT PAL di Surabaya. Selama pembangunan kapal selam di Korea Selatan, lebih dari 100 pekerja PT PAL diberangkatkan ke pabrik DSME untuk mengikuti pelatihan.
Model ofset alutsista buatan luar negeri seperti ini menjadi daya tarik bagi produsen internasional. Setelah kerja sama dengan DSME, pabrikan asal Perancis, Naval Group, yang merupakan produsen kapal selam Scorpene, mengajak industri lokal Indonesia untuk bekerja sama. Naval Group menargetkan 85 persen dari komponen kapal selam itu berasal dari perusahaan Indonesia.
Baca Juga: Produsen Kapal Selam Scorpene Rangkul Perusahaan Indonesia
Pekerja gugus tugas kapal selam berada di atas kapal saat peluncuran kapal selam KRI Alugoro-405 di Dermaga Fasilitas Kapal Selam PT PAL, di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (11/4/2019). Kapal tersebut resmi diluncurkan oleh Menteri Pertahanan RI Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu. Kapal selam diesel electric submarine U209/1400 tersebut merupakan kapal selam yang dibangun dengan skema alih teknologi antara Daewoo Shipbuilding Marine And Engineering (DSME) Korea Selatan dan PT PAL. KRI Alugoro-405 merupakan kapal selam pertama yang dirakit di PT PAL.
PT PAL juga bekerja sama dengan Damen Schelde Naval Shipbuilding (DSNS) Belanda membuat guided missile frigate atau (PKR) sejak tahun 2014. Kapal ini merupakan kapal perang pertama yang dibangun dengan moduler system. Sistem pembangunan PKR terbagi dalam 6 modul; 1 modul dikerjakan di Belanda, sementara 5 modul lainnya dikerjakan PT PAL.
Yang terbaru, pada 16 September 2021, PT PAL menandatangani licence agreement dengan Rosyth Royal Dockyard Ltd (Babcock) sebagai penyedia desain Arrowhead 140 untuk pengadaan dua fregat.
Sementara untuk matra udara, PT Dirgantara Indonesia terlibat dalam pengembangan produksi pesawat tempur multiperan dengan Korea Aerospace Industries (KAI). Program pesawat tempur yang diberi nama KFX/IFX menurut rencana dibiayai bersama antara Korea Selatan dan Indonesia. Rinciannya, Pemerintah Korea Selatan membiayai 60 persen, KIA membiayai 20 persen, sementara Pemerintah Indonesia sisanya (20 persen).
Prototipe pesawat tempur KFX/IFX telah berhasil melakukan uji terbang pada pertengahan tahun lalu. Sayangnya, kerja sama ini sempat macet karena sejak tahun 2017 Indonesia masih belum melunasi kewajiban pembiayaan program ini.
Meski demikian, ketentuan soal alih teknologi dan ofset dalam pengadaan alutsista produk luar negeri seperti diamanatkan UU Industri Pertahanan memang masih jauh dari harapan. Tidak banyak ditemukan catatan tentang ofset dan alih teknologi seperti apa dalam pengadaan sejumlah alutsista. Tentu saja ini menjadi kewajiban pemerintah, terutama KKIP, untuk mengevaluasi setiap pengadaan alutsista produksi luar negeri.
Lantas, bagaimana dengan kemampuan industri pertahanan Indonesia setelah satu dekade lebih UU Industri Pertahanan disahkan? Silakan disimak dalam tulisan berikutnya.