Majelis Kehormatan MK yang akan dilantik pada Senin (8/1/2024) diharapkan mampu mengakselerasi pemulihan marwah lembaga penjaga konstitusi.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi untuk mengakselerasi pulihnya kepercayaan publik terhadap institusi penjaga konstitusi cukup banyak. Salah satunya adalah merumuskan model pengawasan terhadap sembilan hakim konstitusi yang tepat, khususnya saat menangani perkara sengketa hasil pemilihan umum, baik pemilihan presiden maupun legislatif.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo direncanakan akan melantik anggota Majelis Kehormatan MK (MKMK) permanen dengan anggota mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna, mantan Rektor Universitas Andalas, Padang, Yuliandri, dan anggota dari unsur hakim konstitusi aktif, Ridwan Mansyuar, Senin (8/1/2024). Mereka akan bekerja selama satu tahun.
Ketua Perhimpunan Pengacara Konstitusi Viktor Santoso Tandiasa, saat dihubungi pada Sabtu (6/1/2024) mengungkapkan, pelantikan MKMK permanen menjadi salah satu akselerasi dalam memulihkan kepercayaan publik kepada MK. Keberadaan MKMK permanen tersebut penting mengingat sebentar lagi lembaga tersebut akan menangani perkara perselisihan hasil pemilu.
Namun, ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh MKMK, yaitu membuat hukum acara pemeriksaan pelanggaran etik hakim konstitusi yang akuntabel dengan tetap menjaga kehormatan dan martabat bagi hakim MK. ”Selain itu, perlu juga dipersiapkan model pengawasan terhadap hakim konstitusi dalam penanganan perkara PHPU. Terlebih lagi pada Januari akan ada pergantian hakim konstitusi Wahiduddin Adams dengan Arsul Sani yang hingga kini masih aktif sebagai anggota legislatif dan sebagai pengurus partai yang belum lama mengajukan pengunduran diri,” tutur Viktor.
Dalam penalaran yang wajar, tambahnya, kondisi tersebut dapat menimbulkan persepsi publik mengingat posisi Arsul yang belum lama lepas dari parpol. Utamanya, saat akan menangani perkara sengketa pemilu, terutama pilpres.
MKMK diharapkan oleh Viktor tidak sekadar menerima pengaduan, tetapi juga aktif mengawasi hakim. Sebab, MKMK bisa bekerja jika ada temuan tanpa menunggu aduan. ”Maka, perlu ada hukum acara yang mengatur teknis pengawasan dan pemeriksaan yang dibuat sendiri oleh MKMK. Tidak hanya berdasarkan Peraturan MK yang dibuat oleh MK. Harus ada aturan turunan yang lebih teknis,” katanya.
Pelantikan MKMK permanen menjadi salah satu akselerasi dalam memulihkan kepercayaan publik kepada MK. Keberadaan MKMK permanen tersebut penting mengingat sebentar lagi lembaga tersebut akan menangani perkara perselisihan hasil pemilu.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan, sependapat dengan Viktor mengenai perlunya MKMK aktif mengawasi hakim konstitusi. Namun, tindakan aktif tersebut perlu diatur lebih lanjut sehingga nantinya tidak akan disalahgunakan.
”Jangan sampai aktivitas tersebut disalahgunakan sehingga pada akhirnya berubah menjadi ’sangat aktif’ dalam mengawasi dan memanggil hakim tanpa dasar persoalan hukum yang kuat. Hal itu berpotensi dapat mengganggu hakim dalam menjalankan tugasnya,” kata Jimmy.
Revisi Peraturan MK
Pengaturan mengenai MKMK ada di Pasal 27A Ayat (7) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020. Namun, pasal tersebut tidak menyebut secara detail tentang kelembagaan MKMK dan menyerahkan pengaturan lebih jauh mengenai susunan, organisasi, dan tata cara persidangan ke Peraturan MK (PMK).
MK sudah menindaklanjuti amanat tersebut dengan membuat PMK No 1/2023 tentang Majelis Kehormatan MK. Dalam salah satu pasalnya, PMK tersebut mengatur dua macam persidangan Majelis Kehormatan, yaitu sidang MKMK dan rapat MKMK. PMK tersebut juga mengamanatkan bahwa seluruh persidangan majelis kehormatan dilakukan tertutup, kecuali pembacaan putusan.
Jimmy menilai, perlu ada revisi terhadap PMK No 1/2023, khususnya mengenai kapan sidang Majelis Kehormatan MK dilaksanakan dan bagaimana dilaksanakan (terbuka atau tertutup). Sebab, apabila mengacu PMK No 1/2023, seluruh sidang majelis kehormatan dilaksanakan tertutup, kecuali pembacaan putusan.
”Secara praktik, dilaksanakan secara berbeda. Dengan demikian, seharusnya perlu ada ruang agar pemeriksaan sidang Majelis Kehormatan terhadap perkara besar dan menyita perhatian publik dilakukan secara terbuka,” kata Jimmy.
PMK No 1/2023 juga perlu diubah, khususnya terkait sifat putusan yang final, mengikat, dan tidak ada upaya lain untuk mengubah putusan MKMK. Menurut dia, hal ini penting sebagai upaya mewujudkan kepastian hukum dan sebagai upaya preventif dalam menjaga kewibawaan dan martabat hakim.
Anggota MKMK, I Dewa Geda Palguna, saat dikonfirmasi mengenai hal tersebut belum bersedia berkomentar. Ia baru akan memberi penjelasan mengenai agenda pertama MKMK dan kebijakan-kebijakan yang diambil setelah pelantikan yang akan dilaksanakan pada Senin mendatang.
Sepanjang 2023, MK sudah membentuk Majelis Kehormatan ad hoc sebanyak dua kali. Yang pertama, Majelis Kehormatan tersebut dibentuk untuk menangani pelanggaran etik hakim konstitusi Guntur Hamzah atas dugaan pengubahan putusan MK. Guntur akhirnya dikenai sanksi teguran. Majelis Kehormatan ad hoc kedua dibentuk untuk menangani banyaknya pengaduan etik terhadap ketua MK saat itu, Anwar Usman. Buntutnya, Anwar Usman dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat dan dicopot dari jabatannya sebagai ketua.
Pencopotan Anwar tersebut dan penggantian ketua dari Anwar kepada Suhartoyo (setelah disetujui secara aklamasi oleh para hakim) saat ini tengah digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Anwar keberatan dengan penggantian ketua tersebut.