Atasi Duduk Perkara Kekerasan di Papua, Negara Diminta Kedepankan Solusi Damai
Para tokoh bangsa dan kalangan masyarakat sipil mendorong negara untuk mengedepankan solusi damai dan keadilan dalam mengatasi kekerasan berulang di Papua.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah tokoh bangsa meminta semua pihak menahan diri terkait peristiwa kekerasan yang terjadi dalam pemakaman bekas Gubernur PapuaLukas Enembe. Kekerasan berulang harus dihentikan dengan mengatasi akar dari munculnya gangguan keamanan dan ketertiban di Papua.
Permintaan itu salah satunya disampaikan istri dari Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah, menanggapi situasi di Tanah Papua saat ini. Melalui keterangan tertulis, Jumat (29/12/2023) malam, Sinta menyampaikan perlunya upaya bersama untuk menghentikan siklus kekerasan dan menyerukan agar semua pihak tidak membiarkan konflik berdarah di tanah Papua terus berlanjut.
”Kami turut prihatin atas situasi ini dan penderitaan yang ditanggung korban atas insiden kemarin. Jika dibiarkan, kekerasan akan terus berulang,” kata Sinta dalam keterangan tertulis.
Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman juga menyatakan keprihatinannya atas situasi di Papua dan mendesak semua pihak untuk menghentikan kekerasan dalam bentuk apa pun. Ia juga meminta negara untuk menilai kekerasan yang terjadi saat ini sebagai problem ketertiban, bukan masalah keamanan.
Meski begitu, ia mendorong negara untuk menjamin keamanan di Papua. ”Negara juga harus memecahkan awal duduk perkara yang sebenarnya,” kata Marzuki.
Direktur Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua Yuliana Langowuyo mengingatkan bahwa arak-arakan massa dalam pemakaman jenazah Lukas Enembe merupakan ekspresi penghormatan masyarakat Papua terhadap salah seorang tokoh pemimpin Papua. Karena itu, ia juga meminta semua pihak untuk menahan diri untuk mencegah situasi memburuk.
”Aparat keamanan harus mengedepankan dialog dan menghindari penggunaan kekuatan yang tidak perlu dan eksesif menanggapi situasi saat ini,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Alissa Wahid menyatakan bahwa dinamika Papua saat ini tidak terlepas dari tingginya tingkat ketidakpercayaan berbagai komponen masyarakat di Papua terhadap pemerintah pusat.
Negara juga harus memecahkan awal duduk perkara yang sebenarnya.
”Telah banyak kritik terkait pengabaian suara masyarakat Papua dalam berbagai proses pemerintahan dan kebijakan pembangunan di sana, termasuk dalam hal pembentukan daerah otonomi baru dan pembukaan tambang serta bisnis ekstraktif skala besar,” ujar Alissa.
Pemerintah Indonesia dianggap telah sering mengecewakan masyarakat Papua karena tidak serius menangani pelanggaran HAM berat di tingkat nasional dan juga di Papua secara benar dan adil.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid turut menyoroti tren kriminalisasi yang terus berlanjut terhadap masyarakat dan pembela HAM Papua yang menggunakan hak-hak mereka untuk mengekspresikan pendapat secara damai.
Usman berharap kekerasan dihentikan dan kebebasan berbicara tidak dihambat. Persoalan Papua harus diselesaikan dengan tidak melanggar HAM. ”Negara harus berhenti melakukan aksi represif dalam menanggapi kritik yang disampaikan masyarakat Papua,” ujar Usman.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengingatkan bahwa situasi yang tengah terjadi di Papua saat ini tidak dapat dilihat sebagai insiden konflik yang hanya meletup sekali terlepas dari berbagai peristiwa yang telah terjadi di tanah Papua.
”Kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk berkomitmen menyelesaikan situasi di Papua saat ini dengan mengedepankan solusi yang bermartabat dan damai bagi masyarakat Papua. Perdamaian di tanah Papua perlu dihadirkan bersamaan dengan keadilan,” ujarnya.