Setelah Jadi Tersangka, Syahrul Yasin Limpo Sempat Minta Bantuan Firli Bahuri
Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri menjawab permintaan petunjuk dan bantuan dari tersangka bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, tetapi jawaban Firli via Whatsapp itu dihapusnya.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sidang putusan etik terhadap Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif Firli Bahuri mengungkap intensnya komunikasi antara Firli dan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Salah satunya, setelah Syahrul ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Kala itu, Syahrul meminta petunjuk dan bantuan dari Firli.
Hal tersebut diungkap dalam fakta sidang pembacaan putusan etik Firli Bahuri yang disampaikan Dewan Pengawas KPK di Gedung Anti-Corruption Learning Center KPK, Jakarta, Rabu (27/12/2023).
Sidang putusan itu dipimpin Ketua Majelis sekaligus Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean didampingi anggota majelis, yakni Albertina Ho, Syamsuddin Haris, Harjono, dan Indriyanto Seno Adji. Adapun Firli sebagai terperiksa tidak hadir.
Albertina mengatakan, pada 12 Februari 2021, Firli bertemu Syahrul Yasin Limpo di rumah sewa yang berada di Jalan Kertanegara No 46, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pertemuan itu terjadi meski pada 9 Oktober 2020, Direktorat Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat (Dit PLPM) KPK telah menerima pengaduan dugaan tindak pidana korupsi tentang pengadaan sapi, pungutan dan jual-beli jabatan di lingkungan Kementan sesuai dengan agenda nomor 2020-10-021. Bahkan, Tomi Murtomo, selaku Direktur Pelayanan Pelaporan dan Pengaduan Masyarakat KPK, telah menerbitkan surat tugas untuk melakukan pengumpulan informasi (pulinfo) dan diperpanjang pada Maret 2021.
Selanjutnya, berdasarkan hasil tangkapan layar yang ditemukan Dewas KPK, komunikasi Firli dengan Syahrul berlanjut melalui aplikasi Whatsapp. Komunikasi itu diawali oleh Firli pada 23 Mei 2021 dengan menanyakan kabar Syahrul. Lalu Syahrul membalas dan menyampaikan ingin bersilaturahmi ke rumah Firli.
”Kemudian, dijawab oleh terperiksa (Firli). Boleh di Bekasi, ya, Pak. Nanti malam, sekarang mau tenis,” ungkap Albertina.
Di hari yang sama, Syahrul kemudian mengunjungi Firli di rumahnya di kawasan Bekasi, Jawa Barat. Keduanya juga kembali bertemu di GOR Tangki, Mangga Besar, Jakarta pada 2 Maret 2022.
Dewas KPK juga mengungkap komunikasi antara Firli dan Syahrul terjadi sekitar Juni 2021, Oktober 2021, Desember 2021, dan Juni 2022. Firli tak memberitahukan komunikasi-komunikasi yang pernah dilakukannya dengan Syahrul kepada pimpinan KPK yang lain.
Syamsuddin Haris menambahkan, Firli juga diketahui berkomunikasi dengan Syahrul ketika Surat Perintah Penyidikan atas nama Syahrul ditandatangani pimpinan KPK, dan Syahrul ditetapkan sebagai tersangka. Komunikasi itu dilakukan via Whatsapp pada September 2023 saat Syahrul berada di Roma, Italia.
Diketahui, pada pertengahan September 2023, KPK mengeluarkan surat perintah penyidikan kepada atas nama Syahrul Yasin Limpo selaku Menteri Pertanian, Kasdi Subagyono sebagai Sekretaris Jenderal Kementan, dan Mohammad Hatta selaku Direktur Alat dan Mesin Kementan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi berupa pemerasan dalam jabatan, penerimaan gratifikasi, dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
”Dalam komunikasi tersebut, saksi Syahrul Yasin Limpo mengatakan 'Mohon izin jenderal, baru dapat infonya. Kami mohon petunjuk dan bantuan karena masih di LN. Tabe.' Kemudian, dijawab oleh terperiksa tetapi kemudian dihapus. Komunikasi ini pun tidak disampaikan oleh terperiksa kepada pimpinan yang lain,” ujar Haris.
Bahkan, pada 29 September 2023, Syahrul menghubungi Firli yang sedang berada di Melbourne, Australia, melalui Whatsapp. Pada hari yang sama, Syahrul kembali menghubungi Firli untuk meminta petunjuk kepada Firli.
Pesan tersebut lantas dibalas oleh Firli. Setelah mengirimkan balasan ke Syahrul, Firli menghapus balasan tersebut. ”Saya lagi cuti karena menghadiri wisuda anak saya di Monash dan saya akan kembali (ke Indonesia) 2 Oktober 2023,” balas Firli seperti disampaikan Haris.
LHKPN Firli
Pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku lainnya, yakni ketidakjujuran Firli dalam pengisian Laporan Harta Penyelenggara Negara (LHKPN), dan penyewaan rumah di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan.
Indriyanto Seno Adji menambahkan, Firli tidak jujur mengisi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dari 2020-2022. Firli tidak melaporkan tujuh aset atas nama istrinya, Ardina Safitri dalam LHKPN. Aset-aset itu terdiri dari satu apartemen dan enam bidang tanah. Dewas juga menyatakan Firli tidak melaporkan kepemilikan uang asing dalam bentuk tunai. Uang itu berjumlah sekitar Rp 7,8 miliar.
Selain itu, Firli juga tidak melaporkan pembayaran sewa rumah di Jalan Kertanegara Nomor 46, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Rumah itu telah disewa selama tiga tahun dengan biaya Rp 645 juta per tahun. Harjono mengatakan, Firli menyewa rumah tersebut untuk tempat singgah dirinya dan juga anak serta keluarganya.
Oleh karena temuan-temuan tersebut, Dewas KPK menyatakan, Firli telah terbukti bersalah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku KPK, salah satunya terbukti melakukan hubungan langsung ataupun tidak langsung terhadap pihak yang berperkara di KPK.
Firli dinilai telah terbukti bersalah dan meyakinkan melanggar kode etik dan pedoman perilaku sebagai insan KPK. Firli terbukti melanggar Pasal 4 Ayat (2) huruf a Pasal 4 Ayat (1) huruf j dan Pasal 8 huruf e Peraturan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku KPK.
”Menjatuhkan sanksi berat kepada terperiksa Firli Bahuri berupa diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan KPK,” ujar Tumpak.
Secara terpisah, peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mendesak Dewas KPK untuk segera mengirimkan surat kepada Presiden dengan muatan permintaan penerbitan Keputusan Presiden pemberhentian Firli Bahuri sebagai Pimpinan KPK disertai lampiran putusan sanksi berat.
Pihaknya juga meminta agar Presiden tidak menerbitkan Keputusan Presiden atas dasar permintaan Firli Bahuri untuk mengundurkan diri karena ia telah terbukti melakukan perbuatan tercela. Menurut Kurnia, tindakan melakukan perbuatan tercela dapat dibuktikan dengan adanya putusan Dewas KPK.
”Jika diberhentikan karena permintaan mengundurkan diri, putusan Dewas menjadi sia-sia,” ujarnya.