Penetapan identitas kependudukan digital (IKD) sekarang tidak serta-merta menggantikan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik. Keduanya saling melengkapi.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi identitas kependudukan digital atau IKD untuk saat ini tidak diwajibkan oleh pemerintah. Akan tetapi, pemerintah mengimbau agar masyarakat terus mengaktifkan IKD melalui aplikasi IKD ataupun lewat dinas kependudukan dan pencatatan sipil. Pemerintah disarankan agar konsisten menerapkan standar perlindungan dan keamanan data pribadi di sistem IKD yang jelas.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Teguh Setyabudi, Rabu (20/12/2023), di Jakarta, menjelaskan, dengan kajian regulasi baru, IKD memang rencananya akan diwajibkan bagi kelompok penduduk atau daerah tertentu. Kajian regulasi baru sampai sekarang masih berproses.
”Penetapan IKD sekarang tidak serta-merta menggantikan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik. Keduanya saling melengkapi. Sebab, kondisi geografis, sosial, budaya, adopsi ponsel pintar, dan jaringan internet di Indonesia beragam,” ujarnya.
Sebelumnya, beberapa hari lalu, viral rumor di X (Twitter) bahwa IKD akan segera menggantikan KTP elektronik pada akhir 2023.
Teguh mengatakan, sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2022 tentang Standar dan Spesifikasi Perangkat Keras, Perangkat Lunak, dan Blangko Kartu Tanda Penduduk Elektronik serta Penyelenggaraan Identitas Kependudukan Digital, terdapat perbedaan antara IKD dan KTP elektronik. IKD berisi informasi elektronik yang digunakan untuk merepresentasikan dokumen kependudukan dan data balikan dalam aplikasi digital melalui gawai yang menampilkan data pribadi sebagai identitas yang bersangkutan. IKD memiliki informasi lebih detail, termasuk dokumen kependudukan lainnya, seperti akta kelahiran dan kartu keluarga yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan layanan kependudukan dan pencatatan sipil, serta terintegrasi dengan layanan publik.
KTP elektronik dilengkapi dengan cip. Ini merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan pencatatan sipil kabupaten/kota atau unit pelaksana teknis dinas kependudukan dan pencatatan sipil. Informasi dalam KTP elektronik meliputi nomor induk kependudukan, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, agama, status perkawinan, kewarganegaraan, dan waktu berlaku.
”Keberadaan IKD adalah bagian dari transformasi digital layanan administrasi kependudukan. IKD juga harus dilihat untuk mendukung sistem pemerintahan berbasis elektronik,” ucap Teguh.
Menurut dia, pada tahun 2022, IKD sudah dilaksanakan untuk aparatur sipil negara (ASN). Kemudian, sepanjang 2023, sasaran pelaksanannya adalah pelajar/mahasiswa dan masyarakat umum. Per Desember 2023, sebanyak 6,9 juta penduduk mengaktifkan IKD di aplikasi IKD.
”Masyarakat umum yang disasar diharapkan semakin banyak. Cuma, nanti lihat hasil regulasi baru yang sedang digodok supaya tahu seperti apa sasaran IKD,” tuturnya.
Keamanan siber
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E Halim, secara terpisah, berpendapat, IKD menyerupai folder digital berisi informasi data kependudukan. Konsep seperti ini dia nilai bagus untuk sinkronisasi layanan publik yang memakai data kependudukan.
Karena berupa folder, maka tantangannya adalah sistem keamanan siber yang kuat supaya jangan sampai kebobolan. Jika terjadi kebocoran data dan penyalahgunaan, masyarakat yang akan dirugikan. ”Kami harap, tingkat keamanan siber dipikirkan secara matang,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mempunyai pandangan senada. Apa pun bentuk sistem pengembangannya, IKD memang akan menyimpan seluruh data sensitif kependudukan lalu diintegrasikan dan dipertukarkan dengan jenis data spesifik lain, seperti data jaminan sosial. Dengan besarnya jangkauan IKD, maka risiko berupa ancaman kerahasiaan dan kebocoran datanya tinggi.
Sementara, selama ini, semua kasus kebocoran data di lembaga publik yang di dalamnya terdapat data kependudukan belum transparan penanganannya. Di masyarakat sampai muncul kesan tidak ada penyelesaian kasus kebocoran yang tuntas.
”Maka, seluruh standar perlindungan data pribadi dan keamanan data di sistem IKD harus konsisten diterapkan pemerintah. Pembaharuan sistem keamanan siber rutin dilakukan, alur pengaduan masyarakat harus jelas, dan petugas perlindungan data pribadi disiapkan,” kata Wahyudi.
Lebih jauh, dia mengatakan, jika mengacu ke Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan UU perubahannya, identitas kependudukan diterbitkan dalam bentuk kartu. Dengan demikian, jika format yang diinginkan menjadi digital, pemerintah semestinya melakukan perubahan UU terlebih.
Wahyudi juga mempertanyakan fungsi KTP elektronik yang di dalamnya terkandung cip. Menurut dia, jika mengandung cip, KTP elektronik seharusnya mudah diintegrasikan ke mesin-mesin pembaca layanan publik, tetapi realitanya tidak demikian. Beberapa instansi layanan publik bahkan meminta KTP elektronik difotokopi untuk bahan supaya akses layanan bisa dipakai penduduk.