Pertemuan Megawati dan Paus Fransiskus sama sekali tak membahas politik Tanah Air. Namun, pengamat menilai pertemuan itu dapat memperkokoh citra PDI-P sebagai partai nasionalis.
Oleh
ANITA YOSSIHARA DARI ISTANA KEPAUSAN, VATIKAN
·6 menit baca
Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri melawat ke Roma, Italia, saat kota abadi itu tengah berada pada musim dingin. Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu rela meninggalkan Indonesia yang mulai ”memanas” karena pemilu demi menghadiri pertemuan komite juri Zayed Award for Human Fraternity, penghargaan internasional bagi tokoh atau entitas yang berkontribusi dalam persaudaraan kemanusiaan, serta bertemu dengan Pemimpin Tertinggi Takhta Suci Vatikan Paus Fransiskus.
Tiba di Roma pada Sabtu (16/12/2023), Megawati dijadwalkan kembali ke Tanah Air pada Rabu (20/12/2023). Sejumlah agenda dijalankan, mulai dari diskusi internal para elite Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), rapat bersama juri Penghargaan Zayed untuk Persaudaraan Kemanusiaan (ZAHF) 2024, hingga bertemu Paus Fransiskus. Tak tanggung-tanggung, putri Presiden pertama RI Soekarno itu sampai dua kali diterima khusus Paus Fransiskus.
Pertemuan dengan Paus Fransiskus digelar pada Senin (18/12/2023) pagi di Istana Kepausan atau Palatium Apostolicum di Vatikan. Pada pertemuan pertama, Megawati hadir bersama sejumlah juri ZAHF 2024, yaitu Prefek Emeritus Takhta Suci Dikasteri Gereja Oriental Kardinal Leonardo Sandri, Ketua Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional Rabbi Abraham Cooper, mantan Direktur Jenderal UNESCO dan mantan menteri Bulgaria Irina Bokova, serta Sekjen ZAHF Mohamed Abdelsalam.
Para juri ini menghadap Paus Fransiskus untuk menyampaikan perkembangan pembahasan calon penerima ZAHF 2024. Penghargaan ini memang salah satu inisiatif yang lahir dari pertemuan bersejarah antara Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Paus Fransiskus dengan Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 14 Februari 2024 lalu.
Megawati kembali diterima Paus Fransiskus setelah pertemuan bersama para juri ZAHF selesai. Kali ini, Megawati beraudiensi khusus dengan Paus selaku Presiden ke-5 RI. Selain Duta Besar RI untuk Takhta Suci Vatikan Michael Trias Kuncahyono, tiga elite PDI-P mendampingi Megawati. Mereka adalah Ketua DPP PDI-P yang juga Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani, Ketua DPP PDI-P yang kini menjabat Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, serta Bendara Umum PDI-P yang juga Gubernur Sulawesi Utara Olly Dodokambey.
Pertemuan berlangsung tertutup selama lebih kurang 15 menit. Paus Fransiskus menyambut hangat rombongan Megawati, menyalami satu per satu delegasi yang hadir, berfoto bersama, bahkan bersedia melayani swafoto. Paus memberikan hadiah dua buku karyanya yang berjudul Laodato Si’ dan Laodate Deum, lengkap dengan tanda tangan, sedangkan Megawati menyerahkan oleh-oleh berupa kain batik.
Sepanjang pertemuan, Megawati, Puan, Yasonna, Olly, dan Trias duduk berjajar di hadapan Paus Fransiskus di sebuah ruangan di Istana Kepausan. Olly sempat khawatir akan ada hambatan komunikasi karena usia Paus yang kini sudah menginjak 87 tahun. ”Tapi, ternyata komunikasi Ibu Mega dengan Paus nyambung, sangat nyambung. Apa yang disampaikan oleh Ibu dijawab oleh Paus dengan lancar. Begitu pula apa yang disampaikan Ibu kepada Pak Paus dijawab dengan sangat lancar,” tutur Olly.
Memang beliau (Paus Fransiskus) meminta untuk supaya apa yang terjadi di Indonesia dalam kehidupan kerukunan beragama diteruskan. (Megawati Soekarnoputri)
Megawati menyampaikan pernyataan dengan bahasa Indonesia, kemudian Paus menanggapinya dalam bahasa Italia. Kehadiran anggota Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama Takhta Suci Vatikan, Romo Markus Solo Kewuta SVD, sebagai penerjemah, turut melancarkan komunikasi di antara keduanya.
Seperti umumnya audiensi dengan Paus, Megawati sebagai tamu lebih banyak menyampaikan pernyataan. Sejumlah isu disampaikan, mulai dari kerukunan dan toleransi antarumat beragama di Indonesia, perang dan upaya-upaya mewujudkan perdamaian dunia, hingga perubahan iklim yang mengancam dunia. Satu pesan penting yang disampaikan Paus kepada Indonesia melalui Megawati adalah mempertahankan kerukunan umat beragama.
”Memang beliau (Paus Fransiskus) meminta untuk supaya apa yang terjadi di Indonesia dalam kehidupan kerukunan beragama diteruskan,” kata Megawati sebelum meninggalkan Istana Kepausan, Senin siang waktu setempat.
Paus juga menyampaikan sukacita dan terima kasih karena telah dikunjungi Megawati, putri Presiden pertama RI Soekarno yang juga Presiden ke-5 RI.
Tiga medali
Pertemuan Megawati dengan Paus Fransiskus mengingatkan kembali kedekatan Indonesia, terutama Soekarno, dengan Vatikan. Sejak 1956 hingga 1964, Bung Karno berkunjung ke Vatikan, dan tiga kali pula ia mendapatkan penghargaan dan tanda jasa dari paus yang berbeda.
Dalam kunjungan pertama pada 13 Juni 1956, Bung Karno menerima medali saat bertemu dengan Paus Pius XII. Pada kunjungan keduanya, 14 Mei 1959, proklamator kemerdekaan RI itu mendapatkan medali dari Paus Yohanes XXIII. Medali kembali didapatkan Soekarno saat mengunjungi Paus Paulus VI pada 12 Oktober 1964. Bahkan, pada kunjungan ketiga yang kemudian menjadi lawatan terakhirnya ke teritori Takhta Suci itu, Bung Karno dibuatkan prangko khusus oleh Vatikan.
Penghargaan dari Vatikan kepada Bung Karno itu pun sempat membuat kepala negara lain dengan mayoritas penduduk beragama Katolik iri. Sebab, ia merupakan Presiden dari sebuah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia kala itu.
Kepada Cindy Adams, seperti yang tertulis dalam buku Untold Story Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Soekarno menyampaikan, ”Aku orang Islam hingga sekarang telah memperoleh tiga buah medali yang tertinggi dari Vatikan.”
Soekarno memang punya hubungan baik dengan Gereja Katolik. Vatikan merupakan negara kedua yang mengakui kemerdekaan Indonesia setelah Mesir. Pada tahun 1947, Paus Pius XII menugaskan George Maria Joseph menjadi Apostolic Delegate atau Duta Besar Vatikan untuk Indonesia.
Tak hanya itu, Soekarno juga dekat dengan kalangan Katolik, salah satunya Soegijapranata SJ, uskup pribumi pertama. Soegija tak hanya menggerakkan umat Katolik untuk turut mempertahankan kemerdakaan di era revolusi 1947, tetapi juga berkorespondensi dengan Vatikan meminta agar Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia.
Dalam buku Mgr Albertus Soegijapranata SJ: Antara Gereja dan Negara karya sejarawan Anhar Gonggong terungkap, surat Soegija yang menceritakan kekejaman agresi Belanda setelah Indonesia merdeka menjadi dasar Paus Pius XII menyerukan kepada umat Katolik dunia untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pengakuan Vatikan itu pun berhasil meningkatkan perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
Pergaulannya dengan kalangan Katolik sebenarnya sudah terjalin jauh sebelum Indonesia merdeka, tepatnya saat ia diasingkan di Ende tahun 1934. ”Bung Besar” biasa menghabiskan waktunya di pengasingan dengan membaca buku di perpustakaan milik Biara St Yosef yang tak jauh dari rumah pengasingannya. Di Ende pula, Soekarno bersahabat dengan pastor paroki pertama Gereja Katolik Ende, Gerardus Huijtink SVD, serta penduduk Ende yang beragama Katolik.
Pertemuan di Vatikan itu akan memperkokoh pesan perdamaian dan citra nasionalis yang selama ini diusung PDI-P. (Ahmad Khoirul Umam)
Pergaulan selama di pengasingan itu menjadi salah satu inspirasi bagi Soekarno untuk menggagas Pancasila, dasar negara dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pancasila yang berisi pengakuan keesaan Tuhan sekaligus penghormatan terhadap perbedaan agama dan keyakinan. Pancasila yang kemudian dikenalkan di depan Paus Pius XII saat pertama kali Bung Besar berkunjung ke Vatikan. Pancasila yang melandasi kerukunan umat beragama di Indonesia yang oleh Paus Fransiskus diminta untuk terus dipertahankan.
Kokohkan citra
Pertemuan Megawati dengan Paus Fransiskus sama sekali tidak membicarakan masalah politik dalam negeri. Hal itu pun ditegaskan oleh Puan Maharani.
Meski demikian, pertemuan Megawati dengan Paus tetap memiliki dampak bagi perpolitikan di Tanah Air. Pengajar Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, menengarai, pertemuan di Vatikan itu akan memperkokoh pesan perdamaian dan citra nasionalis yang selama ini diusung PDI-P.
Secara historis, PDI-P merupakan partai hasil fusi dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). ”Karena itulah, PDI-P memiliki akar yang kuat dalam menampung basis kekuatan pemilih berlatar belakang Kristen Katolik dan Protestan. Pertemuan Bu Mega dengan Paus tentu akan mengokohkan corak tersebut,” katanya.
Pertemuan di Istana Kepausan itu, lanjut Umam, juga bisa menghentikan migrasi pemilih, terutama pemilih Kristiani non-PDI-P yang selama dua pemilu sebelumnya mendukung Joko Widodo. Jika dimanfaatkan dengan baik oleh PDI-P, pertemuan Megawati dengan Paus diyakini dapat menahan para pendukung Jokowi non-PDI-P untuk tetap memilih PDI-P dan Ganjar pada Pemilu 2024.