Ketegasan Dewan Pengawas KPK terhadap Kasus Firli Dinantikan
Bukti-bukti pelanggaran etik oleh terlapor Firli Bahuri dinilai sudah jelas. Seharusnya Dewan Pengawas KPK berani memberikan sanksi berat.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketegasan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengungkap dan memberikan sanksi berat terhadap dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri dinantikan masyarakat. Di sisi lain, sejumlah pihak ragu Dewas KPK berani bersikap tegas dalam memberikan sanksi berat untuk Firli.
Firli telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya terkait kasus dugaan pemerasan pimpinan KPK kepada bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Firli diberhentikan sementara dari KPK.
Dewas KPK juga memutuskan membawa aduan dugaan pelanggaran etik dengan terlapor Ketua KPK Firli Bahuri ke persidangan kode etik. Ada tiga dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Firli, di antaranya beberapa kali bertemu dan berkomunikasi dengan Syahrul.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan, meskipun Firli sudah diberhentikan sementara dari KPK dan saat ini sedang menjalani proses pidana, bukan berarti sidang etik tidak bisa dilaksanakan. ”Harapannya justru sidang etik mudah dilaksanakan karena Firli tidak menjabat,” kata Zaenur, saat dihubungi, Minggu (10/12/2023).
Ia menjelaskan, sidang etik penting sebagai sanksi bagi Firli dan guna menjadi pelajaran bagi pegawai KPK agar bekerja profesional dan berintegritas. ”KPK menerapkan zero tolerance terhadap pelanggaran etik. Dengan demikian, tujuan sidang etik ini adalah untuk memberi pesan bahwa pelanggaran etik akan diproses dan mempunyai konsekuensi, serta untuk memastikan kepatuhan anggota KPK terhadap hukum dan etik,” tuturnya.
Mengingat bukti-bukti pelanggaran etik yang dilakukan Firli sudah jelas, menurut Zaenur, seharusnya Dewas KPK berani memberikan sanksi berat bagi Firli, yaitu pengunduran diri.
Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, menuturkan, tidak ada alasan lagi bagi Dewas KPK untuk tidak mempercepat proses persidangan pelanggaran etik terhadap Firli. Meski demikian, ia ragu Dewas KPK akan tegas memberikan sanksi kepada Firli. ”Hal ini disebabkan konstruksi kategori sanksi di dalam Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020 tumpul terhadap pimpinan KPK. Sanksi berat sekalipun hanya diganjar permintaan mengundurkan diri, yang amat berbeda dengan pegawai KPK. Nirancaman seperti ini sejatinya tidak akan memberikan efek jera bagi pimpinan,” katanya.
Selain itu, menurut dia, jika dilihat dari putusan Dewas KPK selama ini, ketegasan Dewas KPK tak tampak dan cenderung ringan memberikan putusan. Misalnya, ketegasan Dewas KPK tidak tampak saat menangani kasus pelanggaran etik Firli Bahuri pada Juni 2020. Ketika itu, Firli disebut melanggar kode etik lantaran menggunakan helikopter untuk kegiatan pribadi ke Baturaja, Sumatera Selatan.
Selain itu, Dewas KPK juga tidak menindak tegas Wakil Ketua KPK Lili Pintauli ketika dilaporkan ke Dewas KPK atas dugaan pelanggaran etik. ”Pada akhirnya, publik sulit berharap keberadaan Dewas KPK untuk penegakan etik akan tercapai,” kata Alvin.
Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (8/12/2023), mengungkapkan, sejak Oktober 2023, Dewas KPK sudah mengklarifikasi laporan masyarakat yang berhubungan dengan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Firli. Klarifikasi tersebut dilakukan terhadap 33 orang, termasuk kepada pelapor, Firli, ahli, serta saksi internal dan eksternal. Dewas berkoordinasi dengan Polda Metro Jaya dalam proses klarifikasi tersebut.
Tumpak menyebutkan, ada tiga dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Firli, yakni pertemuan dan komunikasi beberapa kali yang dilakukan Firli dengan Syahrul, harta kekayaan yang tidak dilaporkan secara benar dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), termasuk utangnya, dan terkait dengan penyewaan rumah di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Tumpak menjelaskan, sidang etik akan dimulai pada Kamis (14/12/2023) secara tertutup. Sidang akan dilakukan secara maraton dan diharapkan sudah selesai sebelum akhir tahun. Firli akan dipanggil untuk mengikuti persidangan. Hukuman paling berat yang bisa dijatuhkan oleh Dewas KPK kepada Firli apabila terbukti melanggar etik adalah memintanya untuk mengundurkan diri.
Praperadilan
Pada Senin (11/12/2023), Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan akan mulai menyidangkan dua permohonan praperadilan yang menguji keabsahan penetapan dua tersangka dugaan tindak pidana korupsi, yakni Firli Bahuri dan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej. Dua mantan pejabat publik tersebut disangka melakukan tindak pidana korupsi berupa pemerasan, suap, dan penerimaan gratifikasi. Kasus Firli ditangani oleh Polda Metro Jaya, sedangkan Eddy diusut oleh KPK.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak lembaga pengawas kode etik hakim, yakni Komisi Yudisial (KY), mengambil peran dengan mengirimkan tim guna memperhatikan setiap agenda persidangan yang berlangsung terkait praperadilan Firli dan Eddy.
Hal ini juga sejalan dengan penerapan Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman juncto Pasal 20 Ayat (1) huruf a UU KY. Dalam dua aturan itu disebutkan bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh KY. ”Hal ini penting guna memitigasi hal-hal di luar proses hukum terjadi dalam persidangan Firli dan Eddy,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.