JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo mempertanyakan kepentingan di balik diungkitnya kembali perkara korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik atau KTP-el yang melibatkan bekas Ketua DPR Setya Novanto. Novanto sudah diproses hukum dalam perkara ini.
”Pak Setya Novanto juga sudah dihukum, divonis, dihukum berat, 15 tahun. Terus untuk apa diramaikan itu? Kepentingan apa diramaikan itu? Untuk kepentingan apa?” tanya Presiden saat menjawab pertanyaan awak media di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Senin (4/12/2023).
Dalam acara Rosi di KompasTV, Kamis (30/11/2023) malam, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2015-2019 Agus Rahardjo menuturkan, dirinya pernah dipanggil ke Istana dan saat itu Presiden Jokowi memintanya menghentikan penyidikan terhadap Novanto. Kala itu, menurut Agus, Presiden didampingi Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno. Namun, Agus menolak permintaan itu karena surat perintah penyidikan sudah diterbitkan dan tidak bisa dicabut.
Terkait dengan hal itu, Presiden mempersilakan untuk mengecek ada atau tidaknya pertemuan dengan Agus tersebut. Presiden menyebut tak ada agenda pertemuan dengan Agus.
”Saya suruh cek, saya sehari itu berapa puluh pertemuan. Saya suruh cek di Setneg (Sekretariat Negara). Enggak ada. Agenda yang di Setneg, enggak ada. Tolong dicek, dicek lagi aja,” kata Presiden.
Presiden juga mengatakan, ”Pertama, coba dilihat. Dilihat di berita-berita tahun 2017 di bulan November. Saya sampaikan saat itu, Pak Novanto, Pak Setya Novanto, ikuti proses hukum yang ada. Jelas. Berita itu ada semuanya.”
Saat ini, Novanto sudah menjalani proses hukum sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi proyek pengadaan KTP-el pada 2017. Bekas Ketua Umum Partai Golkar itu divonis 15 tahun penjara karena dinilai terbukti korupsi oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 14 April 2018. Majelis hakim pun mencabut hak politik Novanto hingga lima tahun setelah menjalani masa pidana.
Sebelumnya, Pratikno mengaku tak ingat pertemuan Presiden dan Agus. Adapun Koordinator Staf Khusus Presiden Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana membantah pertemuan tersebut.
Terkait dengan munculnya kemungkinan DPR menggunakan hak interpelasi atau meminta keterangan dari pemerintah atas dugaan intervensi Presiden, seperti disebut Agus, Presiden tak mau menanggapinya. ”Enggak mau menanggapi,” ujar Presiden singkat.
Saut Situmorang, unsur pimpinan KPK 2015-2019, yang menerima cerita dari Agus ihwal pertemuannya dengan Presiden mendesak agar dugaan intervensi Presiden itu diusut. Jika tidak diselesaikan, persoalan ini akan berdampak pada persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia yang terus menurun.
”Jangan dibuat selesai begitu saja karena ini peristiwa penting. Negeri ini terpuruk karena korupsi. (Persoalan ini) Harus diselesaikan sampai tuntas,” kata Saut.
Menurut Saut, DPR bisa menelusuri ada tidaknya pertemuan itu dengan mendalami catatan, jejak digital, atau memanggil saksi yang terkait dengan persoalan ini, seperti sopir Agus.
Ia mengatakan, presiden memiliki hak memberikan amnesti, abolisi, atau grasi. Namun, hak presiden itu diberikan setelah proses hukum dan bukan ikut campur melakukan intervensi saat proses peradilan.
Terkait dengan waktu Agus menceritakan persoalan dugaan intervensi ini, menurut Saut, tidak perlu dipermasalahkan, apalagi dikaitkan dengan isu politik. Sebab, Agus memiliki hak untuk menceritakan sejarah hidupnya kapan saja. Saut menegaskan, Agus menceritakan persoalan itu dalam acara Rosi di Kompas TV karena ditanya tentang situasi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, pun mendesak agar dugaan intervensi Presiden diusut.
Ia menilai wajar jika pihak Istana membantah pertemuan Presiden dengan Agus Rahardjo. ”Untuk memverifikasi pernyataan Agus Rahardjo perlu hak interpelasi DPR,” kata Zaenur.
Melalui penggunaan hak interpelasi, lanjut Zaenur, publik menjadi tahu siapa yang benar. Jika memang benar dugaan intervensi itu ada, DPR bisa mengambil langkah agar penegakan hukum ke depan, terutama dalam pemberantasan korupsi, tak lagi diintervensi.
Meski demikian, ia pesimistis DPR akan menggunakan hak itu. Sebab, DPR dan pemerintah sama-sama merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019. Melalui revisi itu, KPK yang semula independen diubah menjadi di bawah Presiden.
Masih dari diskusi di Rosi, Agus sempat mengaitkan keengganannya mengikuti perintah Presiden untuk menghentikan penyidikan Novanto dengan revisi UU KPK.