KPU Harusnya Memotivasi Parpol bahwa Aturan Afirmasi Perempuan Dipenuhi
Jika aturan minimal caleg perempuan 30 persen dan negara gagal memenuhi kuota, harus dicari sebabnya di sidang Bawaslu.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Daftar calon tetap atau DCT calon anggota legislatif Pemilu 2024 yang tidak memenuhi kuota keterwakilan 30 persen dinilai diskriminatif dan melanggar prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia. Komisi Pemilihan Umum diharapkan memperbaiki DCT itu agar sesuai dengan afirmasi perempuan dalam politik.
Hal itu terungkap dalam sidang dugaan pelanggaran administratif pemilu terkait penetapan DCT Pemilu Legislatif 2024 di Badan Pengawas Pemilu, Kamis (23/11/2023). Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Pemeriksa Puadi didampingi oleh anggota, Totok Hariyono dan Lolly Suhenti.
Pihak pelapor dihadiri oleh Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini, Wahidah Suaib, dan Mikewati Vera Tangka. Adapun dari pihak terlapor, tidak ada satu pun dari tujuh anggota KPU yang hadir dalam sidang kedua ini. KPU diwakili oleh tim kuasa hukum, di antaranya Edho Rizky Ermansyah, Luqman Hakim, dan Muhammad Alwy Zain Hollie.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Atnike Nova Sigiro dan anggota Komisi Nasional Perempuan, Siti Aminah Tardi, dihadirkan sebagai saksi ahli. Kepada kedua saksi tersebut, Titi Anggraini mempertanyakan apakah fakta tidak terpenuhinya kuota 30 persen perempuan di 266 daerah pemilihan bisa disebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Atnike menuturkan, sebagai penyelenggara pemilu, KPU bertanggung jawab melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. UU Pemilu dan peraturan KPU adalah dokumen regulasi yang perlu dicermati majelis pemeriksa apakah ada pelanggaran substansi yang dilakukan KPU. Jika memang aturan mengamanatkan kuota minimal 30 persen perempuan caleg dalam satu daerah pemilihan, seharusnya KPU mencari cara mengoreksi hal itu. Jangan sampai KPU justru membuat kebijakan yang membuat parpol mengambil jalan mudah untuk tidak memenuhi aturan afirmasi itu.
”Sebagai wasit pemilu, KPU seharusnya mengoreksi dan memotivasi parpol bahwa aturan afirmasi itu penting untuk dipenuhi,” kata Atnike.
Atnike menambahkan, dalam konteks pelanggaran HAM, kebijakan atau hasil kebijakan bisa saja dinyatakan melanggar HAM. Jika memang aturan menyebutkan kuota minimal caleg perempuan 30 persen, dan negara gagal memenuhi hak perempuan untuk jadi calon anggota legislatif, hal itu harus dicari sebabnya di persidangan Bawaslu.
Siti Aminah Tardi menambahkan, KPU seharusnya tidak mengurangi hak perempuan untuk dipilih dan terpilih dalam pemilu. Ia mempertanyakan mengapa koreksi dari putusan Mahkamah Agung tidak dilakukan oleh KPU. Padahal, sejak awal masyarakat sipil sudah keberatan dengan Peraturan KPU No 10/2023 tentang Pencalonan DPR dan DPRD. Saat itu, juga ada pendapat dari sejumlah tokoh yang menyatakan peraturan KPU tersebut tidak sejalan dengan upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.
”Kalau memang alasan KPU karena ada batasan waktu, kenapa sebelumnya dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR ada kesepakatan untuk mengubah aturan PKPU itu? Jika memang sudah ada kesepakatan, seharusnya hal itu bisa diluruskan kembali,” kata Siti Aminah.
Sebelumnya, KPU sebagai terlapor membacakan tanggapan mereka secara tertulis. Edho yang membacakan jawaban dari para anggota KPU itu menyampaikan, dalam pandangan terlapor, laporan itu kabur karena tidak menjelaskan secara rinci mengenai perbuatan mana yang dilakukan KPU yang dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran administratif pemilu dan dapat menimbulkan kerugian para pelapor.
”Dalam pandangan terlapor, KPU juga menilai laporan itu kurang pihak karena tidak menjadikan parpol peserta pemilu sebagai pihak terlapor dalam perkara tersebut,” kata Edho.
KPU juga mengatakan, pada pokoknya dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu tidak pernah diatur mekanisme atau metode tata cara penghitungan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Karena UU Pemilu tidak mengatur mekanisme atau penghitungan keterwakilan perempuan minimal 30 persen itu, KPU mengatur mekanisme dan metode penghitungan pembulatan ke atas dan ke bawah sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/kota.
Pasal tersebut kemudian diuji materi ke MA dan melalui putusan nomor 24P/HUM/2023 tanggal 29 Agustus 2023 dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan peraturan di atasnya. Putusan diterima secara resmi oleh KPU pada 11 September 2023 pada saat memasuki tahapan masukan dan tanggapan masyarakat atas daftar calon sementara (DCS). Berdasarkan hal itu, perubahan DCS dan DCT hanya dapat terjadi apabila memenuhi ketentuan Pasal 81 Ayat (1) PKPU No 10/2023.
”Penerbitan Keputusan KPU 1562/2023 tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena pada pokoknya dalam menindaklanjuti putusan MA 24P/HUM/2023, KPU telah menerbitkan surat nomor 1075/PL.01.4-SD/05/2023 perihal tindak lanjut Putusan Mahkamah Agung Nomor 24P/HUM/2023 tertanggal 1 Oktober 2023,” ujar Edho.
Dengan alasan tersebut, KPU meminta kepada majelis pemeriksa Bawaslu untuk menolak seluruh laporan atau setidak-tidaknya menyatakan laporan tidak dapat diterima serta menyatakan KPU tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administratif pemilu.