Anggota KPU Tak Hadir Dalam Sidang Perdana Afirmasi Perempuan di Bawaslu
Dalam sidang di Bawaslu, pelapor menilai penetapan daftar calon tetap DPR pada Pemilu 2024 tidak sesuai dengan tata cara penerapan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan sebagai calon anggota DPR.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Sidang perdana dugaan pelanggaran administrasi pemilu antara pelapor Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan dan KPU selaku terlapor digelar di Badan Pengawasan Pemilu, Selasa (21/11/2023). Ketua Bawaslu Rahmat Bagja dan anggota Bawaslu Puadi bertindak sebagai majelis pemeriksa.
JAKARTA, KOMPAS — Anggota Komisi Pemilihan Umum tidak ada yang hadir dalam sidang perdana dugaan pelanggaran administratif pemilu tentang keterwakilan perempuan 30 persen dalam daftar calon anggota legislatif Pemilu 2024, Selasa (21/11/2023). Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan selaku pelapor meluapkan kecewa dan menilai ada upaya untuk mengulur waktu.
Sidang perdana dugaan pelanggaran administrasi pemilu dengan pelapor Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan dan KPU selaku terlapor digelar di Badan Pengawasan Pemilu, Selasa (21/11/2023). Ketua Bawaslu Rahmat Bagja dan anggota Bawaslu Puadi bertindak sebagai majelis pemeriksa.
Sidang dimulai sekitar pukul 11.30. Dari pihak pelapor hadir Wahidah Suaib, Hadar Nafis Gumay, Wirdyaningsih, dan Mikewati Vera Tangka. Adapun dari pihak KPU diwakili oleh staf Sekretariat Jenderal KPU, yaitu Edho Rizky Hermansyah, Tota Pasaribu, Fahrur Hudha, Lukman Hakim, dan Nurul Hudha.
Selain komisioner KPU tidak hadir pada sidang perdana, terlapor yang sedianya menjawab laporan pelapor itu juga tak siap dengan jawaban tertulis. Di sisi lain, Bawaslu sudah mengirimkan surat undangan sidang sejak Jumat (17/11/2023). Alhasil, sidang hanya dilaksanakan dengan agenda pembacaan laporan. Sidang kemudian akan dilanjutkan pada Kamis (23/11/2023).
”Terhadap pokok-pokok laporan yang dibacakan tadi kita sudah menerima dan sempat disampaikan ada tambahan beberapa poin. Dan terhadap laporan ini terlapor akan menjawab secara tertulis. Karena satu dan lain hal jika diperkenankan kami akan menyampaikan jawaban tertulis pada persidangan berikutnya,” kata Edho.
DIAN DEWI PURNAMASARI
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) periode 2008-2012, Wahidah Suaib, memberi keterangan kepada media seusai sidang dugaan pelanggaran administratif pemilu di Bawaslu, Selasa (21/11/2023).
Ketua Majelis Pemeriksa Rahmat Bagja kemudian mengecek kapan undangan sidang dikirimkan kepada KPU. Undangan sidang dikirimkan pada Jumat pekan lalu. Bagja juga menanyakan apakah pokok-pokok laporan sudah diterima bersama dengan undangan sidang itu. Seharusnya, kata dia, undangan dan laporan itu sudah dibicarakan bersama dengan komisioner KPU.
”Kami memberikan waktu karena hal ini adalah rangkaian dari berbagai upaya pelapor dalam mengadvokasi presentasi 30 persen perempuan dalam daftar calon tetap (DCT) anggota DPR. Jawaban terlapor akan menjadi pertimbangan juga bagi majelis,” kata Bagja.
Sidang akan dilanjutkan pada Kamis ini dengan agenda mendengarkan jawaban terlapor dan dilanjutkan dengan pembuktian dengan mendengarkan keterangan saksi dan ahli.
Hadar Nafis Gumay mengungkapkan kekecewaannya karena terlapor tidak siap dengan jawaban mereka. Ia meminta agar hal itu menjadi catatan dari majelis pemeriksa. Ia juga berharap terlapor tidak lagi menunda-nunda agenda pemeriksaan karena hal itu berkaitan dengan pengadaan logistik pemilu. Ia juga berharap dugaan pelanggaran administrasi pemilu itu diputus dengan cepat.
”Mohon jangan berpanjang-panjang supaya tidak berdampak lebih lanjut pada pemilu kita,” kata Hadar.
Dalam permohonan yang dibacakan, koalisi melaporkan dugaan pelanggaran administratif pemilu oleh KPU atas penetapan DCT Pemilu DPR Tahun 2024 yang dianggap bertentangan dengan persyaratan pengajuan atau pengusulan daftar calon anggota DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 245 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juncto Pasal 8 Ayat (1) huruf c Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 juncto Putusan Mahkamah Agung Nomor 24 P/HUM/2023 juncto Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Nomor 110-PKE-DKPP/IX/2023.
Koalisi menilai penetapan DCT DPR pada Pemilu 2024 tidak sesuai dengan tata cara penerapan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan sebagai calon anggota DPR sebagaimana dimaksud pada Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945. Pasal itu mengatur setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama untuk mencapai persamaan dan keadilan.
Selain itu, penetapan DCT DPR juga dinilai bertentangan dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO
Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendesak KPU untuk segera merevisi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 di kantor KPU, Jakarta, Sabtu (13/5/2023). Tuntutan ini bertujuan agar terwujud pemenuhan hak politik perempuan dan meminimalkan terjadinya instabilitas politik yang berujung pada wacana penundaan Pemilu 2024.
Pasal 245 UU Pemilu juga secara gamblang mengatur bahwa daftar bakal calon anggota legislatif memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Selanjutnya, prosedur dan mekanisme untuk memastikan terpenuhinya keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen itu diatur dalam peraturan KPU.
Perjuangan koalisi juga telah panjang. Mereka telah menguji materi Pasal 8 Ayat (2) PKPU No 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD, dan DPRD Kabupaten/Kota ke Mahkamah Agung. MA memutus dan memerintahkan KPU untuk mencabut pasal tersebut karena dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Namun, KPU mengabaikan putusan MA itu sampai dengan penetapan DCT DPR, DPRD, dan DPRD kabupaten/kota.
”KPU telah merugikan hak politik perempuan untuk menjadi caleg DPR dan DPRD yang menurut ketentuan Pasal 245 UU No 7/2017 harus memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen,” kata Hadar.
Sikap ini dinilai pemohon bertolak belakang dengan langkah KPU yang dalam waktu singkat dapat langsung menindaklanjuti putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia minimal capres dan cawapres. Mereka bisa mengubah Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Padahal, putusan MK hanya berdampak pada satu orang.
Koalisi juga telah melaporkan ke DKPP soal dugaan pelanggaran etik dalam permasalahan itu. Putusan DKPP Nomor 110-PKE-DKPP/IX/2023 menyebut bahwa kebijakan keterwakilan perempuan melalui affirmative action dalam konstruksi hukum UU No 7/2017 tentang agenda demokrasi yang harus dijaga dan ditegakkan bersama khususnya para terlapor selaku penyelenggara pemilu.
Para pelapor meminta Bawaslu menyatakan KPU terbukti melakukan pelanggaran administratif pemilu karena menetapkan DCT Pemilu DPR tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap daerah pemilihan pemilu anggota DPR sebagaimana tata cara, prosedur, dan mekanisme yang telah diatur dalam Pasal 245 UU Nomor 7/2017 juncto Pasal 8 Ayat (1) huruf c Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 juncto Putusan MA Nomor 24 P/HUM/2023.
Mereka juga meminta KPU untuk memperbaiki DCT Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tahun 2024 yang tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap daerah pemilihan sehingga sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Bawaslu juga diminta untuk memerintahkan KPU untuk membatalkan atau mencoret DCT yang diajukan parpol untuk pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota di daerah pemilihan yang tidak memuat keterwakilan perempuan minimal 30 persen.
Terakhir, karena melihat frekuensi dan persebaran pelanggaran Pasal 245 UU Pemilu, ditemukan DCT yang tidak memenuhi keterwakilan di 266 dapil agar menjadi pertimbangan Bawaslu dalam mengambil keputusan. Tindakan itu disebut Wahidah telah merugikan ratusan bahkan ribuan perempuan yang potensial menjadi caleg.