Pakar Hukum Tata Negara Nilai Ada Urgensi bagi MK untuk Segera Memutus Perkara Usia Capres-Cawapres
Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menekankan ada urgensi yang cukup tinggi untuk memutuskan perkara 141 tentang batas usia capres-cawapres menjelang Pilpres 2024.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pakar hukum mengingatkan, saat ini ada urgensi yang cukup tinggi bagi Mahkamah Konstitusi untuk segera memutus uji materi perkara 141/PUU-XXI/2023 terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Hal itu karena saat ini Indonesia dinilai berada dalam ketidakpastian hukum terkait pencalonan presiden dan wakil presiden.
Adapun, MK menjadwalkan sidang kedua terhadap perkara 141/PUU-XXI/2023 pada Senin (20/11/2023). Permintaan untuk segera menjatuhkan putusan disampaikan oleh kuasa hukum perkara 141, Viktor Santoso Tandiasa. Ia berharap, MK langsung menjatuhkan putusan. MK dinilai tak perlu lagi mendengarkan keterangan dari para pihak seperti pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebelumnya, ia sudah meminta MK memeriksa pengujian kembali Pasal 169 huruf q UU Pemilu pascaputusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan hukum acara cepat (Kompas.id, 18/11/2023).
Terkait dengan harapan pemohon itu, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (19/11/2023), mengatakan, perkara 141 harus segera diputuskan. ”Saat ini kita sedang menghadapi ketidakpastian hukum dalam pencalonan presiden dan wakil presiden ini. (Keputusan) ini penting untuk demokrasi Indonesia,” katanya.
Ia menyebutkan, ada urgensi yang cukup tinggi untuk memutuskan perkara 141 menjelang Pilpres 2024. Apabila perkara 141 tidak segera diputuskan, Pilpres 2024 tidak punya dasar hukum yang jelas dan bisa menimbulkan masalah-masalah dan konflik di kemudian hari.
”Hal yang dikhawatirkan adalah Pilpres 2024 diwarnai dengan banyaknya kasus hukum perdata, konflik di masyarakat, dan jalannya pemerintahan yang tidak stabil,” katanya.
Adapun, sebelumnya, Ketua MK Anwar Usman dinyatakan melanggar etik berat oleh Majelis Kehormatan MK terkait penanganan perkara 90/PUU-XXI/2023 yang dalam putusannya menyatakan batas usia minimum capres-cawapres menjadi minimal 40 tahun atau sedang/pernah menjabat di posisi yang dihasilkan dari pemilu, termasuk pilkada.
Bivitri optimistis MK dapat segera memutuskan perkara 141 karena berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi tertulis, MK dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.
”Di pasal itu terdapat kata 'dapat'. Prinsip yang diperiksa adalah norma, apakah konstitusional atau tidak. Jadi memang dimungkinkan begitu pendahuluan langsung putusan, tidak perlu mendengar keterangan,” katanya.
Sebelumnya, MK pernah memutuskan perkara terkait pemilu secara cepat. Misalnya, perkara 102/PUU-VII/2009 diputuskan dalam waktu singkat. Perkara itu membahas penggunaan hak pilih dengan KTP atau paspor yang dapat dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS luar negeri setempat.
Para pemohon, yaitu Refly Harun dan Maheswara Prabandono, mengajukan permohonan dengan surat permohonannya bertanggal 16 Juni 2009 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 24 Juni 2009. Perkara itu diputuskan pada 6 Juli 2009. ”Setelah sidang pembukaan langsung diputuskan. Jadi, ini dimungkinkan karena ada urgensinya,” katanya.
Pengajar hukum tata negara, Universitas Andalas, Feri Amsari, juga mendorong putusan segera perkara 141 karena hakim sudah mendengar substansi yang dipersoalkan serta keterangan dari para pihak seperti pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. ”Dengan begitu, seharusnya MK bisa langsung menjatuhkan putusan,” katanya.
Menurut Feri, asas persidangan adalah berbiaya ringan, terbuka, dan cepat. Dengan begitu, seharusnya keputusan perkara 141 dapat dilakukan secara cepat. ”Meskipun undang-undang tidak mengatur jumlah hari untuk memutuskan suatu perkara, tetapi kalau hakim sudah punya keyakinan untuk memutuskan, maka tidak perlu menunggu waktu lama,” ujarnya.
Ia menjelaskan, putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal batas usia capres dan cawapres yang diajukan Almas Tsaqibbirru bermasalah. Agar kebijakan hukum terbuka konsisten, seharusnya majelis hakim mengabaikan putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan menggunakan perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 untuk memperbaikinya.
Ia juga mengatakan, putusan terhadap perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 mempunyai kesalahan fatal karena memberlakukan aturan baru yang keputusannya melibatkan keluarga istana terlalu dalam. Majelis Kehormatan MK telah menjatuhkan sanksi berat terhadap salah satu hakim konstitusi, Anwar Usman, berupa pencopotan jabatannya dari Ketua MK dan menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif terhadap para hakim konstitusi.
”Kalaupun ada syarat dan tahapan pemilu yang hendak diperbaiki, seharusnya, penerapan putusan perkara Nomor 90 diberlakukan pada pemilu selanjutnya,” kata Feri.