Demokrasi di sejumlah negara Asia Tenggara masih sebagai praktik yang belum bisa mengatasi ketimpangan sosial ekonomi.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Harian Kompas bersama Asia Research Center Universitas Indonesia mengadakan diskusi panel bertema ”Manuver Politik dan Pemilu Indonesia 2024” pada 17 November 2023 di Redaksi Harian Kompas, Jakarta. Panelis dalam diskusi itu adalah Prof Vedi R Hadiz dari University of Melbourne, Australia, dan Dr Inaya Rakhmani dari Universitas Indonesia, dengan pembahas Dr Ahmad Khoirul Umam dari Universitas Paramadina dan Dr Muninggar Saraswati dari Swiss German University. Laporan diskusi ini disajikan oleh wartawan Kompas, Nikolaus Harbowo dan Kurnia Yunita Rahayu.
Harapan pada relasi sebangun antara demokrasi dan penyelesaian problem struktural ketimpangan sosial ekonomi masyarakat tampaknya masih harus ditempatkan pada posisi boleh berharap, tetapi perlu realistis. Sinyal ini setidaknya tampak dari kajian komparatif terhadap kondisi demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia.
Alih-alih memenuhi cita-cita memberikan kesempatan yang sama pada setiap warga negara demi mewujudkan keadilan sosial, demokrasi di Asia Tenggara masih tampil sebagai praktik yang belum bisa mengatasi ketimpangan sosial ekonomi. Pertarungan dalam mengisi ruang kekuasaan sebatas diikuti kelompok yang memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi karena butuh modal besar menembus prosedur demokrasi elektoral berbiaya tinggi.
Pemilihan umum cenderung digunakan untuk menguasai alat kebijakan publik agar bisa mempertahankan akses dan menguasai sumber daya demi kepentingan mereka. Akibatnya, ketimpangan sosial ekonomi terus terjadi.
Di Indonesia, misalnya, setelah gerakan reformasi pada 1998, tren rasio gini secara nasional tak berubah dan cenderung meningkat dibandingkan akhir Orde Baru. Ekonomi memang bertumbuh. Kekayaan juga relatif bertumbuh. Namun, ketimpangan juga makin tinggi. Artinya, kemakmuran dan kekayaan bisa diraih lapisan teratas di masyarakat, tetapi semakin sulit digapai oleh mereka yang berada di lapisan bawah.
Adapun data Badan Pusat Statistik menunjukkan, dalam rentang 2002-2020, rasio gini Indonesia berkisar 0,3-0,4.
Di Filipina, gerakan demokrasi yang dimulai pada 1986 juga belum bisa menghapuskan ketimpangan. Data Bank Dunia pada 2022 menunjukkan, separuh masyarakat kelas terbawah hanya menikmati 14 persen dari total kekayaan Filipina.
Kondisi itu membuka ruang untuk menggencarkan kritik terhadap kepemimpinan demokrasi yang dikuasai segelintir elite yang terafiliasi dengan oligarki. Narasi populisme pun mendapat kesempatan merebut hati masyarakat. Apalagi, itu semua dapat dilakukan masif dengan memanfaatkan keberadaan media sosial (medsos).
Pada tingkatan berikutnya, medsos menjadi senjata utama di tengah pertumbuhan jumlah penggunanya di setiap negara. Apalagi di negara-negara yang tengah mengalami bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif menjadi mayoritas sekaligus ceruk suara pemilih terbesar di pemilu.
Sebelum terpilih sebagai presiden melalui pemilu Filipina 2016, misalnya, Rodrigo Duterte menggunakan medsos sebagai arena mengamplifikasi narasi demokrasi yang tak mampu mewujudkan keadilan sosial. Medsos juga menjadi arena membangun citra dirinya sebagai tokoh yang dekat dengan kelompok petani. Padahal, Duterte merupakan bagian dari ”raja-raja kecil” di daerah yang muncul berkat adanya kebijakan reforma agraria dari Benigno Aquino III, presiden Filipina sebelumnya, yang tak mampu menjalankan kebijakan tersebut secara optimal.
Strategi penggunaan medsos yang tidak lepas dari penyebaran disinformasi dan optimalisasi peran pemengaruh untuk membentuk opini publik itu selanjutnya diduplikasi Ferdinand Marcos Jr atau Bongbong, yang memenangi Pemilu Filipina 2022. Melalui medsos, Bongbong menyasar generasi muda yang berjarak dari sejarah politik Filipina dengan cara membangun citra baru Ferdinand Marcos Sr, Presiden Filipina periode 1965-1986, yang tidak lain adalah ayahnya. Kepemimpinan diktator Marcos senior yang disertai catatan pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan darurat militer dinarasikan sebagai masa keemasan Filipina yang makmur dan aman.
Di Indonesia, reformasi tidak menumbangkan aliansi oligarkis yang menyatukan kepentingan politik-birokratis dan bisnis besar. Bahkan, oligarki beradaptasi dengan demokrasi melalui penguasaan terhadap institusi politik, seperti partai dan pemilu.
Di Pemilu 2014, muncul penggunaan medsos untuk mengampanyekan calon pemimpin yang dianggap bukan bagian dari oligarki. Saat itu, Joko Widodo yang sebelumnya menjabat Gubernur DKI Jakarta dan Wali Kota Surakarta tampil sebagai sosok capres yang tak memiliki darah biru politik, bagian dari akar rumput, serta dekat dengan rakyat.
Melalui pembangunan citra tersebut, ada narasi soal harapan munculnya era baru dalam demokratisasi Indonesia. Era yang mampu memberikan kesempatan bagi semua kalangan untuk menjadi pemimpin nasional. Hal itu pun menjadi bagian penting yang mengantarkan Joko Widodo menjadi presiden terpilih tidak hanya melalui Pemilihan Presiden 2014, tetapi juga 2019.
Di Thailand, Konstitusi 1997 yang merupakan hasil konsensus berbagai kekuatan sosial pada waktu itu dikenal sebagai yang paling demokratis dalam sejarah. Namun, konstelasi kekuasaan yang bekerja ditandai sejenis bossism atau pemusatan sistem politik pada tokoh-tokoh penguasa atau organisasi mereka. Mereka menarik manfaat dari demokrasi dan desentralisasi lewat politik uang.
Tak jamin kemajuan
Terpilihnya pemimpin-pemimpin populis di sejumlah negara Asia Tenggara tidak menjadi jaminan atas kemajuan demokrasi. Dalam beberapa kasus, kepemimpinan mereka membawa gejala kemunduran dengan adanya penggunaan instrumen demokrasi untuk melemahkan demokrasi.
Misalnya, dengan melekatkan stigma radikal pada kelompok kritis. Dengan cara tersebut, penguasa dengan mudah mematahkan kritisisme karena label radikal pada sebuah kelompok mudah mendapatkan simpati mayoritas masyarakat.
Penguasa juga menyebarkan narasi demokrasi tidak berjalan efektif, misalnya pada ranah penegakan hukum terhadap kasus korupsi. Penegakan hukum yang diekspos besar-besaran disebut membuat investor enggan berinvestasi. Karena itu, institusi pemberantasan korupsi perlu disesuaikan fungsinya melalui revisi undang-undang.
Narasi kepemimpinan yang kuat, tetapi menyesatkan, juga digunakan. Hal ini terkait dengan komitmen netralitas pemimpin negara yang diragukan karena anggota keluarganya ikut serta dalam kontestasi pemilu.
Ada pula langkah-langkah penjinakan gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil dengan memanfaatkan teknologi, salah satunya peretasan akun media sosial. Langkah lain yang juga dilakukan adalah mengembangkan narasi militer mampu bekerja lebih efektif ketimbang birokrat sipil. Karena itu, ada ketentuan yang dibuat untuk menempatkan tentara di berbagai jabatan sipil.
Dengan sejumlah langkah tersebut, alih-alih melepaskan demokrasi dari cengkeraman elite, para pemimpin populis membawa negara demokrasi pada bentuk otoritarianisme baru. Otoritarianisme yang dibalut prosedur demokrasi. Dengan cara itu, negara dibawa mundur karena terjadi pembalikan capaian gerakan demokrasi yang telah dilakukan.
Pada posisi itu, bukan berarti demokrasi tidak punya harapan. Di Indonesia, misalnya, demokratisasi setelah reformasi pada skala tertentu telah membuka keran kebebasan sipil. Harapan perlu dijaga, tetapi harus realistis. Perlu ada keseimbangan antara ekspektasi dan realitas dengan berbasis pada data.
Di sisi lain, dibutuhkan waktu panjang untuk bisa menciptakan gerakan demokrasi baru untuk melawan otoritarianisme yang muncul dengan gaya baru pula. Itu bukan pekerjaan mudah, apalagi kelompok masyarakat sipil yang diharapkan bisa berperan penting dalam gerakan tersebut telah terfragmentasi sedemikian rupa. Fragmentasi yang tidak saja terjadi secara alamiah karena terbukanya keran kebebasan dalam era demokratisasi, tetapi juga imbas rekayasa kuasa yang menjauhkan mereka dari narasi besar yang menyatukan.
Masyarakat perlu mempersiapkan diri secara komprehensif dan sistematis. Tidak hanya untuk memobilisasi kekuatan prodemokrasi, tetapi juga mengisi ruang kekuasaan ketika krisis internal rezim terjadi.