Memutus Lingkar Keraguan Publik pada Pemilu
Kekhawatiran penyelenggaraan Pemilu 2024 yang tak bersih, jujur, dan adil mesti dijawab. Tak cukup penegakan hukum.
Keraguan publik terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024 yang bersih terus bergema di tengah masifnya indikasi tidak netralnya para pejabat negara hingga penggunaan aparat untuk kepentingan pasangan calon atau partai politik tertentu. Persoalan ini tidak bisa serta-merta dituntaskan dengan mekanisme hukum karena kredibilitas dan integritas instrumen hukum yang ada belakangan juga diragukan. Lingkar ketidakpercayaan ini perlu diputus dengan terobosan dari para elite untuk mengedepankan aspek etik dalam berdemokrasi.
Kekhawatiran akan penyelenggaraan pemilu yang tak bersih, jujur, dan adil terus menjadi sorotan seiring dengan semakin dekatnya penyelenggaraan Pemilu 2024. Tak hanya di kalangan masyarakat, hal itu juga yang digarisbawahi tiga pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) setelah mendapatkan nomor urut untuk berkontestasi di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Selasa (14/11/2023) lalu.
Pasangan calon nomor urut 1, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, misalnya, mengingatkan publik untuk terus mengawasi dan melaporkan jika menemukan kecurangan dilakukan baik oleh peserta maupun penyelenggara pemilu. Pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menegaskan, kecurangan pemilu adalah upaya pengkhianatan terhadap bangsa dan rakyat Indonesia. Sementara pasangan nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, menekankan bahwa diam bukanlah pilihan, bicara dan melapor merupakan hal yang perlu dilakukan ketika ada praktik tidak baik yang bakal mencederai demokrasi.
Kekhawatiran publik bermula dari kontroversi pencalonan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka yang juga putra sulung Presiden Joko Widodo karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia capres dan cawapres. Kini, itu melebar ke banyak hal. Sejumlah anggota Kabinet Indonesia Maju yang menjadi bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), yakni gabungan partai politik (parpol) pengusung Prabowo-Gibran terindikasi mengampanyekan pasangan tersebut saat melaksanakan tugas negara. Misalnya, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang Raja Juli Antoni, yang juga Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI), menyebut akun Prabowo dan Gibran dalam unggahannya ketika mengadakan kunjungan kerja ke Kupang, Nusa Tenggara Timur, akhir Oktober lalu.
Baca juga: Gugatan Terkait Usia Capres-Cawapres Tak Berhenti, Indikasi Terjadinya Ketidakadilan
Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Paiman Raharjo menjadi sorotan karena pernah memimpin rapat pemenangan Gibran dengan kelompok sukarelawan pada awal November lalu. Begitu pula Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang juga menjabat sebagai Ketua Relawan Pengusaha Nasional (Repnas) telah menyatakan dukungan resmi kepada pasangan Prabowo-Gibran pada 12 November lalu.
Jagat maya juga ramai dengan beredarnya pencopotan baliho Ganjar-Mahfud di sejumlah daerah oleh orang yang diduga aparat penegak hukum. Beberapa polisi juga disorot karena diduga membantu pemasangan baliho Prabowo-Gibran di sejumlah daerah.
Tak berhenti di situ, dugaan pengerahan alat negara untuk memenangkan kandidat lain kembali muncul dengan beredarnya tangkapan layar pakta integritas yang ditandatangani Penjabat Bupati Sorong Yan Piet Moso dan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Papua Barat Brigadir Jenderal (TNI) KSP Silaban pada Agustus 2023. Dalam pakta integritas tersebut, ada lima poin pernyataan yang salah satunya berbunyi, siap mencari dukungan dan memberikan kontribusi suara pada Pilpres 2024, minimal sebesar 60 persen plus 1 untuk kemenangan Ganjar Pranowo sebagai Presiden Republik Indonesia di Kabupaten Sorong.
Mekanisme hukum
Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud Todung Mulya Lubis mengatakan, temuan pakta integritas yang beredar itu tengah diproses secara hukum. Pihaknya masih menunggu hasil terkait dengan dokumen tersebut.
Kendati demikian, ia menekankan bahwa potensi kecurangan pemilu terlihat jelas dalam sejumlah peristiwa yang diberitakan media massa. Hal itu harus terus dikawal karena pemilu bukan hanya persoalan perolehan suara di akhir, tetapi juga prosesnya. Proses dimaksud ia bagi menjadi tiga fase, yakni prapemilihan, pemilihan, dan pascapemilihan yang seluruhnya harus dilakukan dengan integritas tinggi.
”Proses itu harus berintegritas, tidak boleh ditelikung atau dikhianati,” ujar dalam bincang-bincang Satu Meja The Forum yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Rabu (15/11/2023) malam.
Selain Todung, acara itu juga dihadiri Wakil Ketua Tim Pemenangan Anies-Muhaimin (Timnas AMIN); Wakil Komandan Hukum dan Advokasi Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman; pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini; dan mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
Habiburokhman mengatakan, pihaknya juga menerima sejumlah pengaduan terkait indikasi pelanggaran yang merugikan. Salah satu yang paling menonjol adalah pakta integritas yang ditandatangani oleh Penjabat Bupati Sorong. Pencopotan baliho oleh pihak tak bertanggung jawab juga terjadi di Jakarta Timur. Bahkan, TKN juga tengah menganalisis kehadiran Ganjar pada acara Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang dikepalai Benny Ramdhani, yang juga politisi Partai Hanura, salah satu parpol pengusung Ganjar-Mahfud.
”Tetapi, apakah kita bisa menggeneralisasi indikasi pelanggaran itu sebagai kecurangan? Pelanggaran itu, kan, (hal yang) berbeda dari ketentuan, sedangkan kecurangan itu tendensius. Kalau tendensius, itu diarahkan ke mana? Sebab, sekarang kekuasaan ini, kan, tersebar,” ujarnya.
Menurut Habiburokhman, potensi penyalahgunaan kekuasaan untuk membantu pasangan calon tidak hanya ada di pasangan Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud. Bahkan, potensi itu juga ada di pasangan Anies-Muhaimin, karena ada beberapa politisi parpol anggota Koalisi Perubahan yang juga anggota Kabinet Indonesia Maju saat ini.
Oleh karena itu, menurutnya, alih-alih menuding salah satu pihak, soal dugaan kecurangan sebaiknya diselesaikan melalui mekanisme hukum. Indonesia memiliki perangkat hukum yang lengkap mulai dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Polri, hingga Mahkamah Konstitusi (MK). ”Kita harus kembali pada komitmen sebagai negara hukum,” kata Habiburokhman.
Sudirman Said bersyukur, pasangan Anies-Muhaimin yang sejak awal diragukan banyak pihak bisa lolos menjadi peserta pilpres dan relatif berjarak dari isu potensi kecurangan. Sebab, potensi kecurangan memang muncul di tengah pihak-pihak yang paling dekat dengan kekuasaan.
Instrumen hukum untuk mengantisipasi dan menangani potensi kecurangan pemilu memang ada dan bisa digunakan. Akan tetapi, kerja instrumen hukum tersebut juga belum tentu sesuai dengan harapan, yakni transparan, akuntabel, dan proporsional.
Akan tetapi, ia pun tidak menampik adanya menteri di Kabinet Indonesia Maju yang merupakan bagian dari Koalisi Perubahan. Ia bahkan pernah menghitung, total ada 24 menteri yang bakal terganggu pekerjaannya karena menjadi capres, cawapres, calon anggota legislatif, dan tim kampanye. Berkaca pada pemilu-pemilu sebelumnya, itu merupakan hal yang wajar. Akan tetapi, yang terjadi jelang 2024 dinilai paling masif.
”Ini memprihatinkan dari segi keteladanan. Tugas pejabat, kan, bukan hanya melaksanakan tugas, tetapi juga menjadi teladan bagi seluruh bangsa,” ujarnya.
Komitmen etik
Menurut Sudirman, bagi penyelenggara negara ada tiga level motivasi dalam bertindak, mulai dari kemauan, dasar hukum, hingga pertimbangan etik. Penyelenggara negara pada posisi tertinggi tak bisa menggunakan motivasi kemauan dan hukum lagi, tetapi semua langkahnya harus didasarkan motivasi etik. Sebab, sebagai pemimpin tertinggi, ia bisa membuat hukum dan mengubah hukum sesuai dengan kepentingannya. Misalnya, ketentuan menteri mengundurkan diri saat berkampanye diubah menjadi hanya memerlukan izin dari presiden.
”Ketika kita masuk pada posisi yang tinggi, tidak cukup berpikir legalistik, harus melampaui ketentuan legal, yakni mempertimbangkan etik, sesuatu yang patut atau tidak untuk dilakukan,” kata Sudirman.
Baca juga: Maklumat Keprihatinan Para Tokoh terhadap Putusan MK
Menurut Titi Anggraini, instrumen hukum untuk mengantisipasi dan menangani potensi kecurangan pemilu memang ada dan bisa digunakan. Akan tetapi, kerja instrumen hukum tersebut juga belum tentu sesuai dengan harapan, yakni transparan, akuntabel, dan proporsional. ”Yang kita khawatirkan, selalu ada cara untuk menoleransi laporan pelanggaran agar tidak diproses sesuai dengan koridor. Selalu ada celah, misalnya, ada unsur yang kurang,” katanya.
Kerja lembaga-lembaga hukum yang sepenuhnya kredibel itu, menurut Titi, berimbas pada meningkatnya ketidakpercayaan publik. Tidak hanya saat tahapan pemilu berlangsung, tetapi juga setelah pemilu berakhir.
Jelang Pemilu 2024, menurut Titi, netralitas penyelenggara negara juga sulit untuk diterapkan sepenuhnya. Berkaca pada Pemilu 2019 saja, ada 3.924 laporan pelanggaran terkait yang masuk ke Bawaslu. Saat ini, tahapan pemilu pun dimulai dengan dugaan manipulasi verifikasi partai politik, hingga muncul kontroversi putusan MK terkait batas usia capres dan cawapres.
Lukman Hakim Saifudin sepakat, kehadiran putra Presiden Joko Widodo dalam kontestasi Pilpres 2024 membuat publik merasa bahwa netralitas penyelenggara negara sulit untuk terwujud. Karena itu, persoalan potensi kecurangan pemilu tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan hukum. Sebab, merujuk pada peristiwa yang terjadi di MK ada kecenderungan bahwa hukum digunakan sebagai alat untuk melegitimasi praktik-praktik yang tidak terpuji.
”Kasus di MK sangat telanjang sekali, dan banyak kasus lain, misalnya syarat kuota 30 persen calon anggota legislatif perempuan yang dibuat sedemikian rupa agar partai politik bisa tidak memenuhi itu,” kata Lukman.
Di tengah lingkar potensi pelanggaran yang menyebabkan ketidakpercayaan publik pada semua lini itu, menurut Lukman, elite politik harus membuat terobosan dari dirinya masing-masing. Terobosan ini merupakan hasil refleksi dari beberapa kalangan yang melihat adanya krisis nilai di tengah para elite politik. Hal itu bisa dilakukan, misalnya, dengan mengundurkan diri dari jabatannya masing-masing di tengah keterlibatan sebagai tim kampanye atau menjadi kandidat yang berkontestasi di pemilu.
”Para penyelenggara negara kini dituntut tidak hanya (bertindak) berbasis hukum, karena demokrasi itu tidak cukup hanya disertai dengan nomokrasi. Demokrasi harus dibarengi dengan nilai, rasa. Jadi asas kepatutan, kepantasan, itu penting sekali,” ujar Lukman.