Gugatan Terkait Usia Capres-Cawapres Tak Berhenti, Indikasi Terjadinya Ketidakadilan
Putusan MK terkait syarat usia capres-cawapres terus dipersoalkan. Kali ini, giliran tujuh komisioner KPU yang diadukan ke DKPP. Pengaduan lain menurut rencana dilayangkan ke Bawaslu.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, DENTY PIAWAI NASTITIE
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengaduan hukum, sengketa proses pemilu, hingga pelaporan dugaan pelanggaran etik terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) terus bertambah. Tanpa perbaikan putusan yang menyentuh substansi perkara, legitimasi hasil Pemilu 2024 dikhawatirkan terancam.
Hingga Kamis (16/11/2023), pihak-pihak yang mempersoalkan keabsahan putusan nomor 90 terus bertambah. Di Mahkamah Konstitusi, setidaknya ada sembilan pengujian ulang Pasal 169 Huruf q Undang-Undang Pemilu yang mengatur soal syarat usia capres dan cawapres.
Sementara itu, Mahkamah Agung menerima dua perkara pengujian Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 Tahun 2023 tentang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima setidaknya empat gugatan terhadap KPU dan juga Anwar Usman, mantan Ketua MK.
Adapun di pengadilan tata usaha negara (PTUN), ada dua sengketa proses pemilu terhadap KPU yang masuk dalam dua hari terakhir. Di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga mulai masuk pelaporan dugaan pelanggaran etik oleh tujuh komisioner KPU. Selain itu, KPU akan dilaporkan ke Bawaslu karena diduga telah melakukan pelanggaran administrasi terkait penetapan pasangan capres-cawapres peserta Pemilu 2024.
Terkait pengaduan ke DKPP, tujuh komisioner KPU diadukan melanggar kode etik terkait penetapan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres. Mereka menilai KPU melanggar etik karena tetap menerima pendaftaran Gibran, padahal PKPU Nomor 23 Tahun 2023 yang mengatur batas usia minimal peserta pemilu presiden dan wakil presiden sesuai putusan nomor 90 belum diundangkan.
Pengaduan oleh eks Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik Petrus Hariyanto, eks Forkot Azwar Furqud Yama, dan Firman Tenry. Mereka memberikan kuasa kepada Patra M Zen yang juga Koordinator Tim Pembela Demokrasi 2.0 (TPDI 2.0).
Patra mengatakan, pengaduan itu dilayangkan ke DKPP karena kliennya merasa semua komisioner KPU telah melanggar sumpah. Sumpah anggota KPU saat dilantik adalah mereka wajib mengutamakan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia daripada kepentingan pribadi dan golongan. ”Itu yang menurut kami dilanggar,” kata Patra.
Menurut dia, semua putusan Mahkamah Konstitusi harus ditindaklanjuti dengan perubahan PKPU. Misalnya, putusan perkara Nomor 20/PUU-XVII/2019, MK menyatakan bahwa KTP elektronik bukanlah satu-satunya syarat untuk hak pilih. Setelah putusan itu, peraturan KPU diubah dulu dan baru berlaku.
”Normanya, aturannya diubah dulu menjadi warga negara boleh menggunakan KTP untuk pemilihan kepala daerah. Baru boleh mencoblos membawa KTP-el. Sebelum PKPU diubah, apakah boleh membawa KTP? Tidak boleh,” kata Patra.
Ia kemudian mengkritik KPU yang telah menetapkan Gibran sebagai cawapres. Ia merunut Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang baru dibacakan pada Senin (16/10/2023). Pada saat itu, KPU tidak langsung merevisi PKPU Nomor 19 Tahun 2023. Revisi PKPU itu baru dibahas bersama DPR dan langsung disahkan pada 1 November. PKPU selesai diundangkan pada 3 November.
Meskipun demikian, KPU tetap menerima pendaftaran pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada hari terakhir pendaftaran, yaitu 25 Oktober lalu. KPU selanjutnya menetapkan pasangan calon itu pada 13 November.
Karena rentetan peristiwa itu, Patra menilai KPU telah melanggar sumpahnya karena dianggap mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan di atas kepentingan NKRI. Mereka menilai, jika PKPU baru terbit pada 3 November, persyaratan itu seharusnya berlaku bagi capres dan cawapres untuk Pemilu 2029.
”Oleh karenanya, kami datang meminta kepada DKPP untuk memeriksa, mengadili pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh komisioner KPU. Kami juga meminta semua komisioner KPU diberhentikan secara tetap. Karena kami menilai, jika masih komisioner ini yang menyelenggarakan pemilu, maka negara demokrasi yang berkeadilan terancam,” ujarnya.
Sementara itu, menyangkut rencana laporan ke Bawaslu, Denny Indrayana selaku kuasa hukum para pelapor mengungkapkan, pelaporan untuk memastikan proses Pilpres 2024 berjalan di atas koridor moral dan bebas dari praktik politik uang dan politik curang.
”Sebagai rakyat pemilih yang peduli dengan politik moralitas yang berlandaskan nilai-nilai kebenaran, bukan semata politik elektabilitas, maka kami akan terus melakukan pengawalan kritis. Dalam waktu dekat, kami akan mengajukan laporan pelanggaran administrasi kepada Bawaslu,” tulis Denny melalui keterangan pers, Rabu (15/11/2023) malam.
Menurut rencana, para pelapor ke Bawaslu adalah Abraham Samad, Anita Wahid, Busyro Muqoddas, Butet Kartaredjasa, Danang Widoyoko, Erros Djarot. Ada pula Faisal Basri, Franz Magnis-Suseno, Goenawan Mohamad, Julius Ibrani, Sulistyowati Irianto, Usman Hamid, dan Wanda Hamidah. Sementara yang bergabung sebagai ahli adalah Bivitri Susanti, Feri Amsari, Susi Dwi Harijanti, Titi Anggraini, dan Zainal Arifin Mochtar.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan berpandangan, gugatan hukum dan etik terus mengalir karena masyarakat menilai ada masalah konflik kepentingan di MK yang dibuktikan melalui putusan etik Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Jika konflik kepentingan itu terbukti, akhirnya putusan nomor 90 dianggap tidak sah dan tidak bisa diterapkan. Ada pula yang memandang secara prosedur tahapan yang menetapkan Gibran sebagai cawapres tidak sah.
”Jika tidak diselesaikan dalam satu saluran substansi dan prosedur, hal itu akan menjadi pertanyaan yang tanpa ujung. Dan, itu berbahaya karena menyangkut soal legalitas hasil pemilu,” kata Jimmy.
Menurut dia, salah satu solusi untuk menghindari polemik itu adalah membuat putusan baru terkait Pasal 169 Huruf q UU Pemilu. Hakim konstitusi harus menegaskan ulang apakah putusan itu dimaksudkan untuk bupati atau wali kota atau terbatas pada gubernur. Proses pengambilan putusan baru ini diminta tak melibatkan Anwar Usman.
”Pertanyaan esensial yang sampai saat ini belum terjawab adalah apakah frasa ’pernah menjadi kepala daerah’ itu ditujukan untuk gubernur atau termasuk bupati atau wali kota. Untuk mempertegas frasa itu dibutuhkan putusan baru. Karena hanya MK yang bisa mengevaluasi putusannya sendiri,” katanya.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menambahkan, ketika semua saluran hukum dan etik digunakan, artinya cukup banyak warga yang melihat ketidakadilan yang tengah terjadi.
Namun, sayangnya keadilan itu seakan-akan benar dan baik-baik saja karena dibungkus oleh hukum. Padahal, keadilan tidak sama dengan hukum.
”Berdasarkan logika hukum positif, memang putusan nomor 90 itu masih berlaku sampai sekarang. Namun, logika pencari keadilan, memang harus segera diperiksa ulang pasalnya,” kata Bivitri.
Masyarakat yang merasa ada kejanggalan dalam putusan itu akhirnya mencoba mencari saluran apa pun yang tersedia, baik itu gugatan hukum pidana, perdata, maupun etik. Mereka mencoba mencari keadilan dengan cara masing-masing.
”Solusi hukumnya adalah MK seharusnya punya sense of urgency. Harusnya mereka mempercepat pembahasan perkara nomor 141 yang mempersoalkan Pasal 169 Huruf q. MK bisa memutus sendiri apakah akan berlaku sekarang atau untuk 2029. Ini semua tergantung pada MK,” ujar Bivitri.