Rekam Jejak, Faktor Penting Kaum Muda dalam Memilih Presiden
Ada beberapa kriteria yang dipakai kaum muda untuk memilih presiden dan wakil presiden jika merujuk hasil survei Katadata Insight Center. Yang terutama rekam jejak, kemudian visi dan misi, dan selanjutnya kompetensi.
JAKARTA, KOMPAS — Dalam memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2024, generasi muda mempertimbangkan kinerja, rekam jejak, serta visi-misi dan program yang ditawarkan kandidat. Sementara itu, usia kandidat tidak terlalu banyak memengaruhi pertimbangan dalam memilih.
Hal tersebut tergambar dalam survei nasional Katadata Insight Center (KIC) periode 11-17 Oktober 2023. Survei online nasional persepsi anak muda dilakukan dengan menggunakan platform data collection tSurvey. Populasi survei adalah gen Z (usia 17-26 tahun) dan milenial (27-42 tahun) yang memiliki nomor handphone dan tersebar secara proporsional di 34 provinsi seluruh Indonesia. Responden pada survei ini berjumlah 1.005 orang dengan margin of error lebih kurang 3,1 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Mengacu pada survei tersebut, sebagian besar responden memperhatikan rekam jejak (35,5 persen), diikuti visi-misi (29,8 persen), dan kompetensi (12,4 persen) dalam memilih capres-cawapres. Latar belakang sebelum menjadi politisi juga menjadi perhatian responden. Sebanyak 25 persen responden menyukai kandidat yang berasal dari dunia akademik, lalu militer (20,8 persen), dan aktivis (14,5 persen).
Manager Survei KIC Satria Triputra Wisnumurti mengatakan, hasil survei menunjukkan generasi muda merupakan pemilih rasional. ”Usia muda enggak terlalu merepresentasikan anak muda. Usia hanya berpengaruh kepada 1,1 persen anak muda,” katanya saat peluncuran dan diskusi ”Temuan Survei Nasional Politik di Mata Anak Muda: Persepsi dan Kecenderungan Gen Z & Milenial terhadap Capres, Parpol, dan Kampanye Pemilu 2024”, yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (14/11/2023).
Baca juga: ”Terbebani” Gibran, Elektabilitas Prabowo Turun dan Bersaing dengan Ganjar-Mahfud
Satria menyebutkan, sosok calon pemimpin yang dianggap merepresentasikan anak muda adalah yang menyuarakan kepentingan anak muda (63,7 persen), cara berkampanye mencerminkan anak muda (44,9 persen), dan berasal dari partai politik yang memilih kader/pengurus berusia muda (27,3 persen).
Adapun posisi atau pengalaman yang paling disukai dari para capres-cawapres adalah pernah menjabat gubernur (39,6 persen), menteri (23,1 persen), dan bupati/wali kota (12,3 persen). ”Meski capres-cawapres dicalonkan oleh partai politik, sebagian besar responden (48 persen) lebih menyukai tokoh yang bukan kader partai,” ujar Satria.
Generasi muda menilai penyediaan lapangan pekerjaan (48,2 persen) adalah isu atau kebutuhan paling penting yang harus disuarakan oleh partai atau tokoh politik, diikuti dengan jaminan kesehatan dan kesejahteraan rakyat (13,5 persen) dan peningkatan kesadaran ekonomi digital/ekonomi kreatif (13,2 persen).
Survei online nasional KIC bertujuan untuk menggali persepsi anak muda terhadap dinamika politik di Tanah Air menjelang pemilihan umum. Satria mengatakan, suara anak muda (gen Z dan milenial) perlu diakomodasi oleh partai politik dan pasangan capres-cawapres karena jumlah mereka mencapai 113 juta, atau hampir 57 persen dari total daftar pemilih tetap, sehingga bisa menjadi penentu kemenangan.
Baca juga: Adaptasi Partai Politik untuk Membidik Pemilih Muda
CEO Think Policy & Co-inisiator Bijak Memilih Andhyta F Utami mengatakan, survei ini tidak menggambarkan generasi muda secara keseluruhan mengingat generasi muda berasal dari karakter dan kondisi berbeda.
”Hindari menaruh anak muda dalam satu boks karena itu akan menghilangkan beragam tipe anak muda, seperti urban atau rural, kelas menengah atau prasejahtera. Anak muda konservatif atau modern,” katanya.
Usia muda enggak terlalu merepresentasikan anak muda. Usia hanya berpengaruh kepada 1,1 persen anak muda.
Mengingat kelompok generasi muda sangat beragam, kebutuhan mereka juga beragam. Pertimbangan mereka dalam memilih pasangan capres dan cawapres dalam pemilu juga berbeda. Misalnya, untuk generasi muda di perkotaan, penyediaan lapangan pekerjaan adalah isu atau kebutuhan paling penting yang harus disuarakan oleh partai atau tokoh politik.
”Bagi mereka, isu climate change tidak terlalu berpengaruh. Tetapi, bagi generasi muda yang hidup di desa-desa mereka memikirkan banjir, tanah longsor. Bagi mereka, itu isu yang paling relevan,” katanya.
Suara generasi muda, menurut Andhyta, cukup penting. Tetapi, selama ini membicarakan generasi muda, masih sering terbatas pada praktik tokenisme dan belum mengajak generasi ini untuk betul-betul terlibat dalam proses demokrasi. Misalnya, pada 2019 generasi muda terlibat dalam gerakan reformasi dikorupsi. Namun, bukannya diajak berdialog, mahasiswa yang berdemonstrasi malah dipukul mundur oleh aparat.
Komandan Pemilih Muda TKN Prabowo-Gibran, Arief Rosyid, mengatakan, temuan dari KIC menunjukkan bahwa generasi muda tidak paranoid terhadap politik. ”Politik dalam Pemilu 2024 menjadi kesempatan Indonesia melenting jauh ke depan melalui tangan anak muda,” katanya.
Juru Bicara Tim Anies-Muhaimin, Angga Putra Fidrian, mengatakan, temuan dari KIC menjadi masukan berharga bagi timnya karena bagaimanapun juga dibutuhkan keterwakilan dan keterlibatan pemuda dalam proses demokrasi. ”Saya merasakan banyak anak muda kesulitan mencari rumah. Sudah menjadi tugas calon presiden dan wakil presiden untuk menjawab itu. Kita butuh generasi muda untuk mewakili agenda itu,” ujarnya.
Baca juga: Manuver ”Pasukan Udara” Parpol Merengkuh Warganet
Sementara itu, menurut Ketua Tim Pemenangan Muda TPN Ganjar-Mahfud, Dharmaji Suardika, pihaknya tidak terkejut dengan hasil survei itu. Ia menilai, rekam jejak adalah hal yang paling utama dalam memilih capres dan cawapres. ”Sehari-hari kami menceritakan pasangan kami, Ganjar-Mahfud ya melalui rekam jejak. Saat membicarakan role model, ya, itu juga yang kami angkat dengan pengalaman kerja yang konsisten dan teruji,” katanya.