Nasib Pilpres di Tangan MK
MK mulai menyidangkan pengujian kembali aturan batas usia capres-cawapres. Ada harapan perkara itu diputus cepat untuk memberikan kepastian hukum.
JAKARTA, KOMPAS- Mahkamah Konstitusi, Rabu (8/11/2023), menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 141/2023 yang menguji kembali Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 terkait syarat batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Diharapkan, Mahkamah Konstitusi dapat menyelesaikan pemeriksaan secara cepat demi kepastian hukum setelah munculnya polemik pada pencalonan presiden di Pemilu 2024 ini.
Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya telah memberi pemaknaan baru Pasal 169 huruf q UU Pemilu lewat putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada 16 Oktober 2023. Dalam putusan itu, MK menetapkan syarat capres dan cawapres berusia minimal 40 tahun atau pernah/ sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pilkada.
Namun, Selasa (7/11/2023), Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), antara lain, menyatakan, Ketua MK Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat dalam penanganan perkara No 90/2023. Akibatnya, dia mendapat sanksi diberhentikan dari posisi Ketua MK.
Pemohon perkara No 141/2023, Brahma Aryana yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan sejumlah pihak berharap pemeriksaan perkara itu dapat dilakukan secara cepat. Ini penting untuk memberikan kepastian hukum, sekaligus menepis keraguan terhadap legitimasi Pemilu 2024 setelah MKMK menyatakan Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat terkait penanganan uji materi perkara No 90/2023.
Kuasa hukum pemohon perkara No 141/2023, Viktor Santoso Tandiasa, mengungkapkan, pemeriksaan perkara secara cepat itu penting demi kepastian hukum terkait munculnya polemik pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal cawapres. Pencalonan Gibran ini didasarkan pada putusan No 90/2023. Meski usianya belum 40 tahun, Gibran didaftarkan sebagai bakal cawapres karena sedang menduduki jabatan Wali Kota Surakarta yang merupakan jabatan hasil pilkada.
”Apakah ini kemudian dapat dilakukan putusan secara cepat? Karena begini, Yang Mulia, memang sebenarnya tujuan kami ingin mendapatkan satu kepastian hukum yang saat ini sudah menjadi polemik di masyarakat, di mana legitimasi pemilu ini akan dipertanyakan terkait adanya sanksi etik yang kemarin,” kata Viktor, dalam persidangan.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto menuturkan, perkara itu masih dalam tahap pemeriksaan pendahuluan sehingga dalam prosedur normal ada perbaikan, lalu pleno. ”Tapi, itu adalah prosedur yang sebenarnya masih bisa dilalui MK tanpa harus semua hal itu dilakukan. Tergantung urgensinya. Tinggal MK merasa bahwasanya ini sesuatu yang memang harus segera diputus agar di masyarakat tidak terjadi keraguan. Atau apakah mau dibiarkan?” tuturnya.
Menurut dia, MK bisa saja memutus cepat sehingga publik menjadi yakin MK serius untuk menggali rasa keadilan di masyarakat.
”Perkara nanti putusan diterima atau ditolak, itu kewenangan hakim. Tapi, yang publik ingin tunggu adalah ketika delapan hakim memutus, itu arah putusannya yang tidak terpengaruh oleh konflik kepentingan. (Sebab) Ketika diputus sembilan hakim, arahnya masih ada konflik kepentingan,” katanya.
Harapan serupa disampaikan pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari. Menurut dia, MK harus konsisten karena di beberapa perkara MK bisa memberikan putusan yang sangat cepat. Salah satunya putusan penggunaan KTP untuk memilih pada Pemilu 2009.
Feri berpandangan, putusan MKMK atas pelanggaran etik dalam penanganan perkara No 90/2023 menjadi dasar atau alasan baru bagi pemeriksaan perkara No 141/2023.
Yang publik ingin tunggu adalah ketika delapan hakim memutus, itu arah putusannya yang tidak terpengaruh oleh konflik kepentingan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerima pendaftaran tiga bakal capres-cawapres, yakni Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Berdasarkan jadwal tahapan yang sudah disusun, KPU akan menetapkan pasangan capres dan cawapres peserta Pemilu 2024 pada Senin (13/11/2023).
Tak akan terdikte
Hakim Konstitusi Suhartoyo yang memimpin persidangan menyatakan akan menyampaikan harapan pemohon agar perkaranya cepat diputus kepada hakim konstitusi yang lain. ”Silakan nanti dijalankan saja secara normal. Artinya, kalau memang bisa lebih cepat mau diserahkan naskah perbaikannya, silakan. Tapi, kami tidak akan terdikte oleh itu,” katanya.
Perkara No 141/2023 yang diajukan Brahma Aryana, dengan didampingi kuasa hukumnya, Viktor, ini pada intinya berisi permintaan agar MK menguji kembali Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang sudah diubah oleh MK melalui putusan No 90/ 2023 yang dibacakan pada 16 Oktober 2023 lalu.
Bunyi pasal tersebut saat ini menjadi, ”Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pilkada”.
Baca juga: Saat Para Mantan Hakim Konstitusi Ingatkan Budaya Malu demi Marwah MK
MK diminta memaknai ulang putusan No 90/2023, yaitu dengan membatasi kepala daerah tingkat provinsi yang diperbolehkan mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres. Lebih tepatnya, Viktor meminta agar Pasal 169 huruf q UU Pemilu diubah menjadi ”Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi”.
Mundur
Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta, Franz Magnis-Suseno, menilai, jika ingin bertanggung jawab secara moral dan agar MK tidak tercemar, semestinya Anwar Usman juga mundur sebagai hakim konstitusi.
”Pelanggaran etika tidak dapat dimaafkan begitu saja. Menjadi hakim, apalagi hakim dalam lembaga hukum tertinggi, seperti MK, menuntut orang yang etika, kejujuran dan integritasnya tidak diragukan lagi. Jika melakukan kesalahan teknis mungkin masih dapat dimaafkan, tetapi pelanggaran etika, apalagi pelanggaran berat, tidak dapat dimaafkan. Orangnya harus mundur. Kalau tidak, seluruh lembaga tercemar,” tutur Magnis-Suseno.
Hal senada disampaikan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Menurut dia, di tengah pelaksanaan Pemilu 2024 yang semakin dekat, MK harus terus berbenah dan menjaga independensi serta marwahnya. Hal itu sangat diperlukan, terutama menghadapi sengketa pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilihan presiden.
Baca juga: Sejumlah Kalangan Menilai Anwar Usman Sepatutnya Mengundurkan Diri
”Kasus Anwar Usman bukanlah yang pertama di jajaran MK. Ini masalah yang serius. MK harus berusaha keras mengembalikan kepercayaan publik dengan reformasi internal dan pengawasan masyarakat dan MKMK,” kata Mu’ti.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Bidang Keagamaan Ahmad Fahrurrozi mengingatkan, ketidakpercayaan masyarakat terhadap MK akan memicu ketidakpatuhan masyarakat dan bukan tidak mungkin bisa memicu kerusuhan yang tidak diinginkan. Ia berharap putusan MKMK itu bisa mengembalikan kepercayaan publik pada lembaga penjaga konstitusi tersebut.
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Gomar Gultom menyebut, jika ingin bertanggung jawab secara moral, Anwar Usman semestinya juga mundur sebagai hakim konstitusi.
Pernyataan Anwar
Hakim Konstitusi Anwar Usman menilai, apa yang terjadi pada dirinya merupakan fitnah yang amat keji dan sama sekali tidak berdasarkan atas hukum.
Fitnah yang dimaksud terkait penanganan perkara No 90/2023 saat MKMK menyatakan Anwar punya konflik kepentingan dalam pengujian norma syarat usia capres-cawapres. Sebab, dirinya memiliki hubungan kekerabatan dengan Presiden Joko Widodo yang putra sulungnya saat ini menjadi bakal cawapres Prabowo.
Menurut dia, apa yang terjadi belakangan ini merupakan bagian dari skenario untuk membunuh karakternya.
Ia menyayangkan MKMK yang menyidangkan perkara tersebut secara terbuka. Padahal, PMK No 1/2023 telah mengamanatkan persidangan etik terhadap hakim konstitusi digelar secara tertutup.
Berkaitan dengan pembelaan diri Anwar Usman, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, saat dihubungi, mengatakan dapat memaklumi ungkapan tersebut sebagai respons pribadi. Ia mengungkapkan, bagaimana pun diputus melanggar etik merupakan sesuatu hal yang tidak mengenakkan. ”Biar dia tenang, ada waktunya dia akan menerima insya Allah,” kata Jimly.
Pemilihan ketua baru
Sekretaris Jenderal MK Heru Setiawan mengatakan, pemilihan ketua MK akan dilaksanakan pada Kamis (9/11/2023) pukul 09.00.
Mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyarankan agar para hakim konstitusi memilih ketua dan wakil yang memiliki pengalaman dalam memimpin serta memiliki integritas yang terjaga. Ia juga mengusulkan agar para hakim juga mempertimbangkan keterwakilan lembaga pengusul.
”Pemilihan ketua dan wakil ketua MK saat ini bukan sekadar business as usual, melainkan juga bagian integral dari upaya membangun kembali MK,” tuturnya.