Buka Dialog untuk Atasi Konflik di Papua
Penjajakan damai untuk konflik di Papua didorong sejumlah tokoh. Pembicaraan di antara pihak yang berkonflik harus difasilitasi penengah yang tepercaya dan imparsial.
Sejumlah tokoh bangsa serukan perdamaian untuk Papua di Jakarta, Kamis (9/11/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Krisis kemanusiaan global, termasuk di Ukraina dan Palestina, merupakan tragedi kemanusiaan terbesar abad ini. Krisis kemanusiaan tersebut sebetulnya dapat dilihat pula di ”halaman rumah” kita sendiri di Papua kendati dengan skala berbeda.
Sejumlah persoalan terus menodai tanah Papua, antara lain konflik bersenjata, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), kerusakan alam, kepunahan satwa langka, dan penderitaan berupa pengungsian serta kelaparan akibat konflik. Para tokoh berpandangan, hanya melalui jalan damai dapat mencegah jatuhnya korban jiwa dan memungkinkan terwujudnya kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran di Papua.
Hal tersebut mengemuka dalam konferensi pers dan pembacaan seruan dialog damai untuk Papua di Grha Oikoumene Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Jakarta, Kamis (9/11/2023). Seruan dikemukakan sejumlah tokoh, yaitu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Marzuki Darusman, dan Alissa Wahid (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama).
Selain itu, Pdt Gomar Gultom (Ketua Umum PGI), Mgr Siprianus Hormat (dari Konferensi Wali Gereja Indonesia/KWI), Uskup Jayapura Mgr Yanuarius Theofilus Matopai You, dan Usman Hamid (Pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pengurus Pusat Muhammadiyah). Kemudian, Franz-Magnis Suseno SJ, Makarim Wibisono, dan Abdul Mu’ti (Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah) kendati ketiga tokoh tersebut berhalangan hadir dalam jumpa pers.
Situasi pada pertengahan 2022 saat warga Distrik Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, mengalami kelaparan akibat tanaman pangan di kebun mereka gagal panen.
Alissa Wahid, dalam kesempatan itu, menuturkan, perhatian dunia saat ini tertuju pada konflik Israel-Palestina dan Ukraina-Rusia. Namun, konflik dengan ketegangan yang meningkat juga terjadi di Indonesia. ”Ini sebetulnya problem lama belum terselesaikan, yaitu tentang Papua,” ujarnya.
Melalui seruan para tokoh ini, ingin disampaikan terutama pada pemerintah dan aktor-aktor terkait agar Papua jangan dilupakan. Harus dicari jalan keluar. Jika tidak, situasi bisa lebih mencemaskan di Papua. Beberapa waktu lalu, misalnya, lebih dari 20 orang dewasa di Papua meregang nyawa karena kelaparan atau kekurangan pangan.
”Papua tidak kurang potensi sumber daya alam. Kalau ada orang-orang dewasa meninggal kelaparan, berarti ada situasi mereka tidak bisa mengakses sumber bahan pangan. Itu terjadi karena ribuan orang di Papua mengungsi karena konflik bersenjata,” ucapnya.
Kontak senjata telah berulang terjadi. Tenaga kesehatan, pekerja, masyarakat Papua, dan aparat menjadi korban. Hal tersebut tidak bisa dibiarkan. Apalagi, sekarang sedang di tengah pesta demokrasi. Jangan sampai dengan situasi politik sekarang, situasi di Papua dilupakan.
Baca juga: Kelaparan di Papua Berulang
Tahun 2022 sudah sempat ada kabar baik walaupun baru inisiatif, yaitu pembicaraan Komnas HAM dan kelompok-kelompok dari Papua, terutama kelompok-kelompok yang cukup kritis. Bahkan, sudah dilaporkan kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang waktu itu mengarah pada menghentikan kekerasan (jeda kemanusiaan) untuk bisa merespons kondisi para pengungsi. Sayangnya, inisiatif itu belum bisa berjalan sampai saat ini.
Gomar Gultom menuturkan, para tokoh memiliki keprihatinan mendalam terhadap konflik bersenjata di Papua. Oleh karena itu, para tokoh menyampaikan seruan perdamaian bagi Pemerintah Republik Indonesia dan para pihak berkonflik, terutama faksi-faksi kelompok sipil bersenjata, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), para tokoh adat, dan masyarakat asli Papua serta agamawan setempat.
Para tokoh menyerukan pula kepada para penyelenggara negara eksekutif dan legislatif serta lembaga-lembaga negara lainnya segera mengambil langkah-langkah menuju perdamaian Papua. Sebagai langkah awal, para tokoh mengimbau agar pihak berkonflik dapat membangun kepercayaan.
Dialog damai
Penyelenggara negara perlu bekerja sama dengan segenap komponen bangsa untuk menangani krisis kemanusiaan. Penyelenggara negara juga hendaknya memulai kembali penjajakan-penjajakan menuju dialog damai. ”Semua pihak perlu membuka dialog, termasuk menangani pengungsian, kelaparan, ketidakadilan, kerawanan pemilu, serta memperbaiki situasi HAM di Papua,” ujarnya.
Para tokoh menyerukan kepada pemerintah dan para pihak berkonflik di Papua untuk melanjutkan penjajakan damai. Pembicaraan harus difasilitasi penengah yang tepercaya dan imparsial. Termasuk pula tokoh nasional dan para pemimpin perempuan, pemimpin agama dan adat Papua demi membangun kepercayaan dan keyakinan untuk adanya penjajakan dialog.
Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid menuturkan, apa yang terjadi di Papua saat ini harusnya menjadi pengingat bahwa ada pekerjaan rumah bagi bangsa kita. Persoalan Papua sudah berlangsung sekian lama.
Namun, apa yang dilakukan belum menunjukkan kemajuan berarti. Pada masa pemerintahan Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Papua termasuk salah satu isu yang mendapat perhatian besar. Gus Dur memiliki pendekatan membangun perdamaian sejati dan berkelanjutan di Papua.
”Gus Dur menyadari persoalan di Papua tidak bisa dilakukan dengan pendekatan atasan-bawahan. Apalagi pendekatan represif. Bagi Gus Dur, persoalan di Papua berakar pada martabat dan menjadi ciri warga Papua itu sendiri,” ujar Sinta.
Baca juga: Lini Masa Pembebasan Papua dari Kekerasan
Sejarah mencatat, pada masa tersebut, konflik berdarah dan pelanggaran HAM dapat diminimalisasi. Belajar dari pendekatan Gus Dur tersebut dan mencermati keadaan Papua saat ini, penting mengupayakan pendekatan perdamaian berlandaskan keadilan.
”Saya mewakili para tokoh agama dan tokoh masyarakat menyerukan agar pemerintah dan pihak-pihak terkait mengambil inisiatif jeda kemanusiaan menghentikan kekerasan sehingga kita dapat mengurus warga sipil yang terdampak konflik,” ujarnya lagi.
Mgr Yanuarius Theofilus Matopai You menuturkan, masalah di Papua, menurut penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, ada empat akar permasalahan. Pertama, terkait sejarah politik Papua berintegrasi dengan Indonesia. Bagian tersebut perlu dibicarakan.
Kedua, pembangunan yang tidak merata ke seluruh pelosok Papua. Ketiga, kekerasan militer sejak tahun 1965 berhadapan dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Selanjutnya dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB).
”Dengan kekerasan berkepanjangan, hidup manusia seperti tidak berarti. Ada pelanggaran HAM, penindasan, pembunuhan kedua belah pihak, baik TNI maupun OPM atau separatis. Korban mayoritas masyarakat sipil yang terpaksa mengungsi seperti tidak punya tanah,” ucapnya.
Keempat, eksploitasi besar-besaran karena tambang dan perkebunan. Di sisi lain, ia mengakui ada pembangunan berkembang sampai ke pelosok. Namun, di atas semua itu, justru kekerasan terus berkepanjangan sehingga jalan yang dapat digunakan adalah dialog pemerintah pusat dengan pihak-pihak yang terlibat untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan.
Marzuki Darusman menekankan, pentingnya pendekatan damai yang bermartabat seperti apa yang dirintis Gus Dur. Selain itu, Marzuki juga mengatakan, apa yang terjadi di Papua tidak terjadi dalam kefakuman, tetapi ada sejarahnya. Pendekatan damai yang bermartabat perlu juga dilakukan dengan bersejarah.
Pendekatan dialog amat dihindari pemerintah karena ada kesan berdialog adalah berunding secara setara. Oleh karena itu, tidak pernah ada suatu pemahaman bahwa penyelesaian masalah-masalah di Papua dilakukan dengan dialog. Kalau nanti melakukan pendekatan dan upaya mendamaikan keadaan, maka harus menyentuh hal-hal fundamental.
Baca juga: Perlu Ada Jeda Kemanusiaan di Papua
Mgr Siprianus Hormat menuturkan, KWI juga selalu mencoba jalan terbaik agar masalah kemanusiaan di Papua bisa diselesaikan. Oleh karena itu, dalam pertemuan tahunan para uskup tahun ini, pihaknya bersepakat membuat pesan sidang dan akan menyertakan Papua salah satunya.
Persoalan di Papua suatu sejarah panjang seolah tidak memiliki titik penyelesaian. Jalan yang diharapkan agar Papua damai adalah dialog. Seruan tanah Papua damai dengan mengangkat dialog tersebut barang kali nanti disusul dengan upaya serius menjadi model dialog substansial menjawab apa yang menjadi kerinduan warga Papua yang harus didengar Pemerintah Indonesia.
Usman Hamid menuturkan, mudah-mudahan prakarsa seruan tokoh-tokoh bangsa ini bisa mempertemukan para pihak yang selama ini justru bersebarangan dalam konflik multidimensional dengan pemerintah pusat di Jakarta.