RUU Perampasan Aset Diyakini Akan Efektifkan Pemberantasan TPPU
Dengan masuk sebagai anggota penuh Financial Action Task Force, berarti Indonesia diakui secara global dalam pemberantasan korupsi seperti TPPU. Namun, hal itu percuma jika tak disertai pengesahan RUU Perampasan Aset.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, masuknya Indonesia sebagai anggota penuh dari Financial Action Task Force, berarti Indonesia diakui secara global setara dengan negara yang menerapkan rezim antipencucian uang, tindak pidana terorisme, dan antipenyebarluasan senjata pemusnah massal yang masuk dalam kluster besar tindak pidana korupsi. Bahkan, Indonesia dianggap cukup berhasil melakukan perang total terhadap korupsi, pencucian uang, dan tindak pidana terorisme.
”Saya kira ini adalah satu hal penting bagi perkembangan pemberantasan korupsi di negara kita, terutama korupsi-korupsi yang berlanjut dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atau malah didahului dengan TPPU,” kata Mahfud kepada wartawan, Rabu (8/11/2023).
Agar lebih efektif pencegahan dan pemberantasan TPPU, sejumlah kalangan menilai, infrastruktur hukum harus dilengkapi dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Namun, sejak Surat Presiden dikirim awal Mei 2023 lalu, belum ada tanda-tanda RUU itu akan disetujui dan dibahas oleh DPR.
Saya kira ini adalah satu hal penting bagi perkembangan pemberantasan korupsi di negara kita, terutama korupsi-korupsi yang berlanjut dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atau malah didahului dengan TPPU.
Sebelumnya diberitakan, Indonesia diputuskan menjadi anggota penuh ke-40 Financial Action Task Force (FATF) di Paris, Perancis, pada 25 Oktober lalu. FATF merupakan organisasi internasional yang berfokus pada upaya global dalam pemberantasan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan pengembangan senjata pemusnah massal. Status keanggotaan diterima setelah melalui serangkaian pengujian sejak 2021. Adapun, Indonesia sudah mengajukan diri sebagai anggota penuh FATF sejak 2018.
Menurut Mahfud, pada tahun 2001, Indonesia pernah masuk dalam daftar hitam (black list) oleh dunia internasional karena tidak memiliki perangkat hukum untuk memberantas korupsi, terutama di bidang pencucian uang. Pada tahun 2002, Indonesia kemudian membuat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Undang-undang itu lalu diubah menjadi UU Nomor 25 Tahun 2003 dan yang terbaru Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
”Sesudah itu terus dimonitor sampai akhirnya pada tahun 2015 dikeluarkan dari black list. Tahun 2018 kita mendaftar untuk menjadi anggota penuh dan baru sekarang masuk menjadi anggota FATF,” kata Mahfud.
Koordinator Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter menilai saat Indonesia menjadi anggota penuh FATF, konsekuensinya adalah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang harus semakin masif dan efektif. Sebab, hal itu akan dinilai oleh FATF.
Namun, jika melihat data ICW, dalam kasus korupsi, penggunaan pasal tindak pidana pencucian uang masih sedikit. Nilai aset yang dikembalikan ke negara dari TPPU itu juga masih kecil. Penindakan kasus korupsi di KPK pada tahun 2022 misalnya, tercatat sebanyak 36 kasus. Meskipun demikian, KPK hanya empat kali menggunakan instrumen pasal pencucian uang. Lalola berpandangan hal itu menunjukkan pimpinan KPK dan jajaran di Deputi Penindakan belum memiliki visi yang jelas tentang upaya untuk memulihkan aset dari kejahatan korupsi.
Oleh karena itu, ia berharap pemerintah segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Hal itu akan menyempurnakan infrastruktur hukum untuk mencegah dan memberantas korupsi.
”Di RUU Perampasan Aset ada keistimewaan norma, yaitu non-conviction based atau pendekatan negara melawan aset bukan melawan orang. Norma ini membuat RUU itu sangat mendesak untuk disahkan karena cakupan untuk pengembalian aset ke negara lebih luas dari UU TPPU dan UU Tindak Pidana Korupsi,” jelas Lalola.
Gunakan instrumen hukum
Menanggapi desakan untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset, Mahfud mengatakan nasib aturan itu tergantung di DPR. Pemerintah sudah melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya. Surat Presiden (Surpres) juga sudah dikirim ke DPR sejak Mei lalu.
”Itu kita serahkan ke DPR karena kalau pemerintah sendiri sudah resmi menyampaikan surat itu ke DPR. Sekarang tinggal DPR yang mengolah,” kata Mahfud.
Namun, jika perkembangan RUU Perampasan Aset lambat di DPR, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu, Indonesia sebenarnya sudah memiliki banyak instrumen pemberantasan korupsi. Instrumen yang ada akan digunakan dan dioptimalkan untuk memberantasan tindak pidana pencucian uang.
Itu kita serahkan ke DPR karena kalau pemerintah sendiri sudah resmi menyampaikan surat itu ke DPR. Sekarang tinggal DPR yang mengolah.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) termasuk lembaga yang berperan banyak dalam mengungkap laporan analisis dan laporan hasil pemeriksaan dugaan TPPU. PPATK melacak aliran dana dan rekening mencurigakan kepada aparat penegak hukum, baik Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Kementerian Keuangan. Ke depannya, hal itu akan dilanjutkan.
”Masuknya Indonesia sebagai anggota penuh FATF ini menjadi keniscayaan bahwa kita sudah semakin maju akan tetap akan memerangi korupsi dan pencucian uang,” kata Mahfud.
Masih mengantre
Anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengatakan, RUU Perampasan Aset belum dibahas di DPR karena surpres posisinya masih di pimpinan DPR. Komisi III belum mendapatkan penugasan untuk membahas regulasi tersebut. Saat ini, posisi Komisi III masih mengantre pembahasan RUU yang sedang dibahas dan sudah dijadwalkan terlebih dahulu untuk dibahas. RUU yang sedang dibahas itu adalah RUU Kitab Undang-undang Acara Perdata, Revisi UU Mahkamah Konstitusi, RUU Narkotika dan Psikotropika.
”Setelah itu, antrean berikutnya baru RUU Kitab Hukum Acara Pidana dan RUU Perampasan Aset,” kata Taufik.
RUU Perampasan Aset baru diajukan oleh pemerintah ke DPR pada 4 Mei 223. Sementara RUU yang saat ini sedang dibahas telah dimulai jauh sebelum RUU Perampasan Aset ini diajukan.
Politikus Partai Nasdem itu memperkirakan Komisi III akan mengejar penyelesaian daftar RUU yang sedang dalam pembahasan sebelum membahas usulan RUU baru. Sehingga, ia menampik bahwa progres RUU Perampasan Aset lambat. Ia menilai belum ditugaskannya Komisi III membahas RUU Perampasan Aset lebih karena masih terdapat antrean RUU yang sedang dibahas.
”RUU Perampasan Aset baru diajukan oleh pemerintah ke DPR pada 4 Mei 223. Sementara RUU yang saat ini sedang dibahas telah dimulai jauh sebelum RUU Perampasan Aset ini diajukan,” kata Taufik.
Pemulihan aset
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan, setelah Indonesia resmi menjadi anggota penuh FATF, ia melaporkan hal itu kepada Presiden Joko Widodo. Ia pun mendapatkan arahan dari Presiden Jokowi bahwa Indonesia harus menjadi anggota tetap karena satu-satunya negara G20 yang belum menjadi anggota FATF adalah Indonesia. Harapan dari Presiden Jokowi itu juga disampaikan secara verbal kepada tim penilai dari FATF.
Terkait dengan RUU Perampasan Aset, salah satu fokus utama dari pencegahan dan pemberantasan TPPU adalah pemulihan aset. Aset-aset hasil kejahatan, baik di dalam maupun luar negeri, harus bisa dipulihkan untuk dikembalikan ke kas negara. Perampasan aset memang menjadi salah satu hal yang disorot oleh tim FATF.
”Perampasan aset itu dinilai dari sejak tahap awal sampai yang benar-benar dikembalikan ke negara. Kalau RUU Perampasan Aset ini benar-benar disahkan, akan menambah penilaian kita di aspek tata kelola pemerintahan yang baik (good governance),” imbuh Deputi Strategi dan Kerja Sama PPATK Tuti Wahyuningsih.
Lalola berpandangan, RUU Perampasan Aset bisa cepat dibahas dan disahkan jika ada kemauan politik yang kuat dari pembentuk UU. Selama ini muncul anggapan bahwa RUU Perampasan Aset hanya menjadi komoditas pencitraan politik semata, tetapi komitmen untuk membahas dan pengesahannya lemah. Ia berharap pascakeanggotaan penuh FATF ini justru bisa mendorong agar RUU Perampasan Aset bisa segera disahkan di DPR.
”Ada kecurigaan di masyarakat sipil bahwa RUU Perampasan Aset menjadi dagangan politik menjelang pemilu. Jika memang pemerintah berkomitmen untuk memperkuat rezim antipencucian uang, seharusnya RUU ini bisa dibahas dan segera disahkan,” kata Lalola. (DEA)