Menko Polhukam Percaya Pada Kredibilitas Ketua MKMK
Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD percaya kredibilitas MKMK yang dipimpin Jimly Asshiddiqie.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang pembacaan putusan etik sembilan hakim konstitusi, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD meminta publik menunggu putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Ia memercayai kredibilitas MKMK yang diketuai oleh Jimly Asshiddiqie tersebut.
”Kita tunggu saja. Saya percaya pada kredibilitas Pak Jimly. Apa pun putusannya, nanti kami tunggu dan juga reaksi publik akan menentukan juga,” kata Mahfud ditemui di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Senin (6/11/2023).
Saat ditanya apakah putusan etik itu bisa menganulir Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang uji materi syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden, Mahfud tak bersedia berkomentar. Ia kembali meminta publik menunggu pembacaan putusan etik pada Selasa (7/11/2023).
”Enggak tahu, tunggu besok saja,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
”Kita tunggu saja. Saya percaya pada kredibilitas Pak Jimly. Apa pun putusannya, nanti kami tunggu dan juga reaksi publik akan menentukan juga. ”
Indikasi konflik kepentingan
Secara terpisah, dosen Hukum Tata Negara Universitas Jember, Adam Muhshi, berharap putusan etik terhadap hakim yang terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim seharusnya juga bisa menganulir Putusan Nomor 90. Sebab, ia mencium adanya indikasi kuat konflik kepentingan Ketua MK Anwar Usman dalam putusan tersebut. Sesuai asas hukum nemo judex idoneus in propria causa atau seorang hakim tidak boleh memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang terkait dengan kepentingan dirinya.
Anwar Usman merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo, yang diusung Koalisi Indonesia Maju sebagai calon wakil presiden. Anwar menjadi adik ipar Jokowi setelah menikah dengan Idayati pada 26 Mei 2022.
”Pasal 17 Ayat (5) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa seseorang hakim wajib mundur apabila memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diperiksanya. ”
”Pasal 17 Ayat (5) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa seseorang hakim wajib mundur apabila memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diperiksanya,” kata Adam.
Anggota Tim Percepatan Reformasi Hukum itu menambahkan, karena tak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang terkait dengan kepentingan dirinya, putusannya pun seharusnya dinyatakan batal demi hukum. Artinya, Putusan Nomor 90 secara hukum harus dianggap tidak pernah ada, atau batal dengan sendirinya tanpa perlu dilakukan tindakan pembatalan.
”Pasal 17 Ayat (6) UU Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa putusan tidak sah dan terhadap perkara itu berdasarkan ketentuan Pasal 17 Ayat (7) UU Kekuasaan Kehakiman harus dilakukan pemeriksaan ulang,” jelasnya.
Ketentuan Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman yang berakar pada prinsip nemo judex tersebut, menurut Adam, seharusnya mengesampingkan keberlakuan asas res judicata yang dijadikan dasar penguat dan pembenar oleh sebagian pihak bahwa Putusan Nomor 90 final dan mengikat sehingga tak dapat diganggu gugat dan dipertanyakan ulang. Demi hukum dan keadilan Putusan Nomor 90 itu wajib tidak dilaksanakan dan perkara tersebut wajib diperiksa dan diputus ulang tanpa melibatkan Ketua MK Anwar Usman.
Sebelumnya diberitakan, setelah Putusan Nomor 90 terbit, MKMK menerima setidaknya 21 laporan dugaan pelanggaran etik. Laporan paling banyak berkaitan dengan dugaan konflik kepentingan atau conflict of interest Anwar Usman dalam penanganan perkara 90. Putusan Nomor 90 itu dinilai telah memberi karpet merah bagi putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi bakal calon wakil presiden pada Pemilu 2024. (DEA)