Selain diminta menjatuhkan sanksi kepada Anwar Usman, Majelis Kehormatan MK juga diminta agar memerintahkan MK untuk meninjau kembali putusan perkara nomor 90 tahun 2023.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK diminta menjatuhkan sanksi kepada Ketua MK Anwar Usman dalam dugaan pelanggaran etik terkait konflik kepentingan dalam penanganan perkara uji materi usia calon presiden dan calon wakil presiden. Selain itu, MKMK juga diminta agar memerintahkan MK meninjau kembali putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
Permohonan tersebut disampaikan oleh para pengadu dugaan pelanggaran etik Anwar Usman ke MKMK dalam sidang pemeriksaan dugaan etik, Selasa (31/10/2023). Mereka, antara lain, Denny Indrayana, 15 guru besar, dan pengajar hukum tata negara yang tergabung dalam Constitutional dan Administrative Law Society (CALS), LBH Yusuf, saat memaparkan pengaduaannya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie.
Kuasa hukum CALS, Viola Reininda, mengungkapkan, pihaknya meminta MKMK menjatuhkan sanksi berat berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua dan hakim MK. Ada sejumlah pelanggaran yang diduga dilakukan Anwar, yaitu terlibat konflik kepentingan saat memutus perkara 90 yang telah membentangkan karpet merah bagi keponakannya Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo, untuk menjadi cawapres dalam Pemilu 2024.
”Keterlibatan di sini dalam arti yang bersangkutan tidak mengundurkan diri untuk memeriksa dan memutus perkara dan juga terlibat aktif untuk melakukan lobi dan memuluskan lancarnya perkara ini agar dikabulkan oleh hakim yang lain,” ujar Viola.
Tindakan tersebut telah melanggar prinsip independensi, prinsip ketidakberpihakan, dan juga prinsip integritas. Bagi para pengadu, langkah Anwar tersebut sangat fatal dilakukan oleh seorang negarawan dan pucuk pimpinan MK.
”Apa yang dilakukan oleh yang berbersangkutan tidak hanya melanggengkan suatu abusivejudicial review atau menggunakan cara-cara yang konstitusional melalui pengujian undang-undang untuk mengabulkan satu kepentingan kelompok tertentu, terutama yang terkait dengan hubungan keluarganya sendiri. Tetapi, yang bersangkutan menerima adanya penundukan terhadap MK yang menjadikan MK sebagai satu alat politik yang bisa digunakan oleh kekuasaan untuk menggolkan kepentingan tertentu,” ujar Viola.
Tidah sah
Dalam pengaduannya, Denny juga meminta MKMK memerintahkan MK mengoreksi putusan no 90. MKMK oleh Denny dinilai tidak bisa menyatakan putusan no 90 tidak sah. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh MK sendiri, hanya saja pemeriksaan kembali terhadap perkara 90 tidak boleh dinyatakan nebis in idem, tetapi justru dilakukan sebagai bentuk koreksi dari pemeriksaan awal akibat adanya benturan kepentingan oleh Ketua MK.
Apa yang dilakukan oleh yang berbersangkutan tidak hanya melanggengkan suatu abusive judicial review atau menggunakan cara-cara yang konstitusional melalui pengujian undang-undang untuk mengabulkan satu kepentingan kelompok tertentu, terutama yang terkait dengan hubungan keluarganya sendiri.
Sebelum memerintahkan MK untuk mengoreksi putusan 90, tidak terhindarkan bagi MKMK untuk membaca dan menilai putusan 90 yang oleh pelapor etik disebut cacat konstitusional. Menurut pandangannya, pemohon (Almas Tsaqqibirru Re A) tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk mempersoalkan Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Oleh karena itu, permohonan tersebut seharusnya tidak diterima seperti yang diungkapkan dalam pendapat berbeda hakim konstitusi Suhartoyo.
Namun, apabila legal standing Almas diterima, menurut Denny, permohonan tersebut sudah seharusnya dinyatakan gugur karena sudah ditarik dari MK meskipun kemudian dibatalkan kembali penarikan tersebut.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti yang juga Ketua CALS mengungkapkan, kehadiran di MKMK merupakan bagian dari tanggung jawabnya sebagai kaum intelektual khususnya saat penyelenggaraan negara tidak lagi sejalan dengan asas dan prinsip hukum tata negara. Ia menilai, MK dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi alat sekaligus strategi dari rezim penguasa untuk memperkuat, meningkatkan, dan melebihkan kekuasaan. Oleh karena itu, menurut Susi, MK telah menjadi lumpuh tak berdaya karena diisi oleh aktor-aktor politik yang menjelma sebagai hakim MK.
Fungsi-fungsi yang seharusnya diemban MK dinilai Susi tidak berjalan dengan baik akibat politisasi MK. Ini ditopang oleh hakim-hakim konstitusi yang lebih memperlihatkan fungsi atau perannya sebagai aktor politik dibandingkan sebagai pemutus yang bersifat netral.
”Oleh karena itu, sekali lagi, kami sangat berharap MKMK dapat memenuhi panggilan sejarah yang disematkan kepada tiga orang yang mulia untuk membuat suatu putusan yang dapat memuaskan sebagian besar masyarakat Indonesia, dan meyakinkan masyarakat Indonesia akan bergerak ke arah yang lebih baik,” kata Susi.
Direncanakan, MKMK akan memanggil hakim konstitusi Saldi Isra pada Rabu (1/11/2023) serta sejumlah pemohon termasuk Perekat dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI). Pada Jumat, Majelis Kehormatan juga akan memanggil panitera MK Muhibin untuk mengetahui proses pencabutan dan pembatalan pencabutan yang dilakukan oleh pemohon 90. Seperti diketahui, kuasa hukum perkara 90 mengajukan surat pencabutan atau penarikan kembali perkara pada Jumat (29/9/2023) siang pukul 14.32, tetapi membatalkan kembali pencabutan perkara tersebut pada hari Sabtu (30/9/2023).