Sejumlah ahli hukum tata negara berharap sanksi berat dijatuhkan kepada hakim konstitusi yang terbukti melanggar etik.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ahli hukum tata negara berharap sanksi berat dijatuhkan kepada hakim konstitusi yang terbukti melanggar etik dalam memutus perkara uji materi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden. Putusan tegas dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diyakini dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga penjaga konstitusi tersebut.
Saat ini, MKMK telah menuntaskan pemeriksaan dugaan pelanggaran etik terkait putusan perkara uji materi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang ketentuan syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden di Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie menyatakan dugaan pelanggaran etik tersebut terbukti.
MKMK yang terdiri dari Jimly Asshiddiqie, Bintan R Saragih, dan hakim konstitusi aktif Wahiduddin Adams itu juga telah merampungkan kesimpulan pemeriksaan 21 laporan dugaan pelanggaran etik terkait putusan Nomor 90. Pada Senin (6/11/2023), MKMK akan menggelar rapat pleno untuk membuat rancangan putusan. Selanjutnya, putusan akan dibacakan sehari setelahnya pada Selasa (7/11/2023).
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Yance Arizona saat dihubungi Sabtu (4/11/2023) mengatakan, pernyataan Jimly bahwa dugaan pelanggaran etik itu terbukti mengonfimasi eksaminasi putusan yang dilakukan oleh Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan HAM (Pandekha) UGM. Hasil eksaminasi salah satunya menemukan adanya konflik kepentingan dan pelanggaran kode etik karena Ketua MK Anwar Usman ikut mengadili perkara yang menguntungkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka. Anwar adalah suami dari Idayati yang merupakan adik Presiden Joko Widodo.
Eksaminasi putusan Nomor 90 itu dilakukan oleh majelis eksaminasi dari berbagai universitas. Di dalamnya ada Yance Arizona, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti, mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti, dan dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Titi Anggraini.
”Sebagai salah satu pelapor, harapan kami sanksi yang dijatuhkan adalah yang terberat, yaitu pemberhentian Anwar Usman dengan tidak hormat,” kata Yance.
Hasil eksaminasi putusan juga menemukan bahwa Anwar Usman diduga melanggar Pasal 9 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.
Pasal 29 Ayat (6) UU Kekuasaan Kehakiman bahkan menyatakan bahwa jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada Ayat (5) itu, putusan dinyatakan tidak sah. Hakim atau panitera yang bersangkutan dikenai sanksi administratif atau dipidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Menurut Yance, memang ada perdebatan bahwa pasal itu tidak berfungsi untuk lembaga MK. Namun, karena berkaitan dengan asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, seharusnya pasal itu bisa dimaknai untuk putusan MK.
”Pandangan kami, jika terbukti ada konflik kepentingan, putusan itu bisa dinyatakan tidak sah. Hakimnya dikenai sanksi etik bahkan pidana, serta dilakukan pemeriksaan ulang perkara tanpa melibatkan hakim tersebut,” ujar Yance.
Namun, dalam Pasal 17 UU Kehakiman itu memang tidak diatur lembaga mana yang bisa menyatakan putusan tersebut tidak sah jika terbukti ada pelanggaran etik. Meskipun demikian, menurut dia, peran itu bisa diambil oleh MKMK untuk menegakkan martabat, keluhuran, dan kode etik serta perilaku hakim.
”MKMK semestinya bisa menyatakan putusan Nomor 90 itu tidak sah jika ada pelanggaran etik dan prosedur,” tambahnya.
Terang benderang
Ia pun menaruh harapan tinggi pada MKMK yang diketuai Jimly Asshiddiqie itu. Sebab, saat menjadi ketua MK, kepemimpinan Jimly identik dengan karakter institusionalis. Jimly dinilai berhasil membangun MK secara institusionalis sehingga sosoknya diharapkan memperbaiki kekeliruan yang ada. Putusan etik MKMK seharusnya menjadi preseden dan langkah awal institusionalisasi pengawasan etik di lembaga penjaga demokrasi tersebut.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Udayana Jimmy Z Usfunan menambahkan, cacat prosedur dan substansi dalam putusan Nomor 90 sebenarnya sudah diketahui secara terang benderang oleh publik. Perkara tersebut sudah dicabut oleh kuasa hukum pemohon pada Jumat, 29 September 2023. Meskipun pada akhirnya Sabtu, 30 September, pemohon membatalkan penarikan atau pencabutan kedua perkara itu, seharusnya perkara yang sudah dicabut kehilangan obyek.
”Temuan terbaru bahkan perbaikan permohonan belum ditandatangani oleh pemohon. Ini menunjukkan ada cacat prosedur,” kata Jimmy.
Secara substansial, menurut Jimmy, putusan itu pun tidak lazim. Ada konflik kepentingan yang nyata antara Ketua MK Anwar Usman dan norma yang diujikan. Sebab, pemohon uji materi itu, Almas Tsaqib Birru Re A adalah penggemar Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Ini menunjukkan bahwa arah dari permohonan itu adalah bagaimana agar Gibran, yang merupakan keponakan Anwar, bisa ikut Pilpres 2024.
”Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman jelas mengatur hakim yang punya konflik kepentingan harus mundur dari suatu perkara. Jika tidak mundur, tentu ada pelanggaran sehingga hakim harus dikenai sanksi,” kata Jimmy.
Anggota Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) itu berharap MKMK bisa membuat putusan yang tegas, lepas dari tarik-menarik kepentingan. Sebab, menurut Jimmy, cacat prosedur dan cacat substansi dalam putusan itu sudah terang benderang terlihat oleh publik.
Bahkan, menurut Jimmy, jika Anwar terbukti berbohong karena tidak mengikuti sidang perkara lain, tetapi ikut memeriksa dan memutus di perkara Nomor 90, sanksi etik yang dijatuhkan bisa berat. Apalagi, jika dia terbukti menekan atau memengaruhi independesi hakim-hakim lainnya.
Dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) putusan Nomor 90, hakim konstitusi Arief Hidayat menyebut pada rapat permusyawaratan hakim (RPH), Selasa (19/9/2023), terkait pengambilan putusan terhadap beberapa perkara, yaitu Nomor 29/PUU-XXI/2023, Nomor 51/PUU-XXI/2023, dan Nomor 55/PUU-XXI/2023, Anwar tidak hadir, dengan alasan menghindari potensi konflik kepentingan.
Namun, para perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Nomor 91/PUU-XXI/2023, Anwar ikut membahas dan memutus perkara itu yang akhirnya diputus dengan amar dikabulkan sebagian.
Dalam perkembangannya, Anwar beralasan ketidakhadirannya pada sidang sebelumnya karena alasan kesehatan. Ketidakkonsistenan pernyataan itu, jika terbukti berbohong, menurut Jimmy, justru bisa membuat Anwar dijatuhi sanksi berat. Sebab, seorang hakim tidak boleh berbohong.
”Harapan kami, MKMK bisa memutus dengan tegas. Sebab, pernyataan-pernyataan Ketua MKMK telah membuat publik tenang dan mulai percaya lagi dengan MK. Kalau putusannya justru berbalik, bisa berbahaya karena ada dugaan mereka tidak netral,” katanya.
Dihubungi terpisah, Ketua MKMK Jimly Assiddhiqie meminta publik untuk menunggu saja putusan etik dibacakan pada Selasa pekan depan.