Hakim Konstitusi Arief Hidayat Sedih MK Disebut Mahkamah Keluarga
”Kalau sampai ada komentar seperti itu (Mahkamah Keluarga), saya sedih. Saya katakan, tidak ada itu. MK, ya, Mahkamah Konstitusi,” kata hakim konstitusi Arief Hidayat.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hakim konstitusi Arief Hidayat mengaku sedih saat Mahkamah Konstitusi atau MK disebut sebagai Mahkamah Keluarga. Ketua MK periode 2015-2018 itu berharap Majelis Kehormatan MK yang saat ini tengah bekerja memeriksa dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi bisa menjawab keraguan publik terhadap MK pascaputusan nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden.
”Kalau sampai ada komentar seperti itu (Mahkamah Keluarga), saya sedih. Saya katakan, tidak ada itu. MK, ya, Mahkamah Konstitusi,” kata Arief Hidayat, Selasa (31/10/2023) petang, saat ditemui di Gedung MK, Jakarta.
Arief baru saja menjalani pemeriksaan etik oleh Majelis Kehormatan MK pimpinan Jimly Asshiddiqie, Ketua MK periode 2003-2008. Ia menjadi hakim kedua setelah Ketua MK Anwar Usman yang diperiksa Majelis Kehormatan.
Selama lebih kurang satu jam, Arief ditanya mengenai mekanisme persidangan dan rapat permusyawaratan hakim (RPH) sampai akhirnya muncul putusan nomor 90/ 2023 yang mengabulkan sebagian permohonan Almas Tsaqibbirru, mahasiswa Universitas Surakarta, pengagum Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Surakarta.
Seusai menjalani pemeriksaan dan saat menemui wartawan, wajah Arief tampak sedih. Matanya berkaca-kaca.
Saat dikonfirmasi apakah ia baru saja menangis selama menjalani pemeriksaan, Arief membantah. ”Enggak, enggak nangis. Mata saya memang agak (mata) yuyu (gampang menangis).”
Ditanya apakah Majelis Kehormatan mendalami dissenting opinion atau pendapat berbeda yang diajukan dalam putusan nomor 90/2023, Arief hanya mengungkapkan bahwa seluruhnya sudah disampaikan kepada Majelis Kehormatan MK. Namun, ia enggan memberikan keterangan lebih jauh mengingat dirinya sudah disumpah untuk menjaga kerahasiaan.
”Semuanya pokoknya saya ceritakan, saya sampaikan, untuk kepentingan Majelis Kehormatan MK memutus dengan bijaksana dan seadil-adilnya, dalam rangka menjaga marwah MK dan untuk kepentingan menjaga NKRI berdasarkan Pancasila. Karena kita mau mengadili perkara-perkara yang lebih besar dari itu, dibutuhkan kepercayaan publik,” kata Arief.
Semuanya pokoknya saya ceritakan, saya sampaikan, untuk kepentingan Majelis Kehormatan MK memutus dengan bijaksana dan seadil-adilnya, dalam rangka menjaga marwah MK dan untuk kepentingan menjaga NKRI berdasarkan Pancasila.
Sebelum memeriksa Arief, Majelis Kehormatan juga memeriksa Ketua MK Anwar Usman. Kepada wartawan, Anwar membantah seluruh tudingan yang dilontarkan kepada dirinya. Salah satunya terkait dengan dugaan konflik kepentingan dan lobi-lobi yang diduga dilakukan untuk memuluskan pengabulan uji materi Pasal 169 Huruf q UU Pemilu.
Majelis Kehormatan MK juga memeriksa Enny Nurbaningsih sebagai hakim konstitusi ketiga setelah Anwar dan Arief. Enny menjadi hakim konstitusi yang mengajukan concurring opinion atau alasan berbeda dalam putusan nomor 90 lalu.
”Dissenting opinion” Arief
Untuk mengingat kembali apa yang disampaikan Arief dalam pengujian perkara nomor 90/2023, berikut dikutip kembali kejanggalan-kejanggalan yang muncul dalam penanganan perkara.
Arief mengungkapkan bahwa dirinya merasa adanya kosmologi negatif dan keganjilan dalam penanganan lima perkara pengujian Pasal 169 Huruf q UU Pemilu. Lima perkara tersebut adalah pengujian yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia, Partai Garuda, lima kepala daerah, Almas, dan Arkaan Wahyu Re A (adik Almas). Ia perlu menyampaikan hal itu karena mengusik hati nuraninya sebagai hakim yang seharusnya menunjukkan sikap penuh integritas, independen, dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik mana pun dan hanya berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara.
Ada tiga poin yang ia ungkapkan dalam pendapatnya. Pertama, terkait penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda. Ia menyampaikan, jeda waktu antara pemeriksaan pendahuluan dan sidang mendengarkan keterangan Presiden dan DPR sangat lama hingga dua bulan. Meski tak melanggar hukum, hal itu tidak lazim.
”Terlebih hal ini merupakan suatu ketidaklaziman yang saya rasakan selama 10 tahun menjadi hakim konstitusi dalam menangani perkara di MK,” kata Arief.
Poin kedua adalah terkait pelaksanaan RPH. Ia mengungkapkan, Anwar Usman tidak mengikuti RPH 19 September saat pengambilan keputusan untuk tiga perkara yang diajukan PSI, Partai Garuda, dan lima kepala daerah. Menurut informasi Wakil Ketua MK Saldi Isra yang memimpin RPH, Anwar tidak hadir karena menghindari potensi konflik kepentingan. Akan tetapi, Anwar hadir dalam RPH untuk perkara 90 serta turut membahas dan mengambil putusan.
”Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima oleh penalaran yang wajar. Tindakan Ketua ini kemudian saya pertanyakan dan persoalkan di dalam RPH. Setelah dilakukan konfirmasi pada sidang RPH hari Kamis, 21 September 2023, Ketua menyampaikan bahwa ketidakhadirannya pada pembahasan dan forum pengambilan keputusan pada perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 lebih karena alasan kesehatan dan bukan untuk menghindari konflik kepentingan,” katanya.
Hal ketiga yang dipermasalahkan oleh Arief adalah penarikan kembali perkara 90 dan 91/PUU-XXI/2023 oleh kuasa hukum pada Jumat (29/9/2023) dan pembatalan penarikan yang dilakukan pada Sabtu (30/9/2023). Ia mempersoalkan mengapa MK melanjutkan pemeriksaan perkara yang sudah dicabut oleh pemohon meskipun kemudian pencabutan itu dibatalkan.
Ia juga mempersoalkan keterangan dari kuasa hukum kedua perkara tersebut yang dinilainya diberikan dengan by design. Lebih lanjut Arief mengatakan bahwa para pemohon 90 dan 91 tidak serius dalam mengajukan perkara dan telah mempermainkan marwah lembaga peradilan. ”Tindakan kuasa hukum pemohon mencerminkan ketidakprofesionalan (unprofessional conduct),” tegasnya.