Pengamat Beberkan Tiga Potensi Ketidaknetralan Aparat Keamanan. Apa Saja?
Potensi ketidaknetralan aparat keamanan dalam Pemilu mesti diawasi dan dicegah, baik secara internal maupun oleh Bawaslu dan publik.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Netralitas jajaran aparat keamanan dibutuhkan agar Pemilu 2024 berjalan adil. Beragam potensi ketidaknetralan mesti dicermati. Setidaknya, ada tiga potensi ketidaknetralan yang bisa terjadi pada Pemilu 2024 mendatang.
Karema itu, pengawasan secara internal di lingkup Kepolisian Negara Republik Indonesia-Tentara Nasional Indonesia maupun eksternal oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum dan juga publik dibutuhkan untuk mencegah praktik yang melanggar aturan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, ketika diminta pandangan, Jumat (27/10/2023) menuturkan, ada beberapa bentuk ketidaknetralan aparat keamanan yang mesti diawasi agar tidak terjadi.
“Satu, dalam bentuk menggunakan intelijen keamanan lingkungan untuk memenangkan salah satu kandidat. Kita tahu, polisi dan tentara itu punya mapping lingkungan; siapa tokoh, apa kecenderungannya, bagaimana mempengaruhinya. Kalau database itu digunakan oknum politik, tentunya dia akan lebih mudah dalam memperoleh suara dibandingkan yang tidak punya informasi itu,” ujar Nur.
Praktik penggunaan intelijen keamanan untuk memenangkan salah satu kandidat seperti ini tidak adil karena menunjukkan keberpihakan. “Kedua, adanya praktik gelap menggelembungkan atau menjaga suara hanya kandidat tertentu.
Hal ini karena yang menjaga perhitungan itu saksi, bisa jadi lelah, tapi yang harus standby adalah aparat. Nah, aparat itu kalau dia berpihak, dia bisa memanfaatkan kelelahan para saksi atau petugas untuk memenangkan kandidat,” katanya.
“Satu, dalam bentuk menggunakan intelijen keamanan lingkungan untuk memenangkan salah satu kandidat. Kita tahu, polisi dan tentara itu punya mapping lingkungan; siapa tokoh, apa kecenderungannya, bagaimana mempengaruhinya. Kalau database itu digunakan oknum politik, tentunya dia akan lebih mudah dalam memperoleh suara dibandingkan yang tidak punya informasi itu”
Ketiga, menurut Nur, adalah penggunaan fasilitas aparat keamanan; baik itu kantor, alat komunikasi, ataupun jabatan untuk mengintimidasi pemilih.
Untuk mencegah ketidaknetralan atau praktik tidak adil, Nur berpendapat bahwa profesionalisme polisi dan tentara harus dimulai dari internal. “Karena kita tahu bahwa mereka itu punya aturan hukum sendiri, kalau mereka melakukan pelanggaran tidak bisa ke pengadilan sipil, tapi harus pengadilan militer,” katanya.
Oleh karena itu pengawasan secara internal dari kepolisian dan TNI dibutuhkan untuk menunjukkan ketegasan dalam hal netralitas. “Apalagi kalau sekarang ini, kita khawatir nih, kepolisian dan TNI berada di (lingkup) jabatan Menkopolhukam. Untuk TNI, kan, juga di bawah Menteri Pertahanan yang ternyata keduanya juga kandidat. Kalau pengawasan tidak dimulai dari internal, maka mereka (polisi dan TNI) bisa menjadi alat untuk memenangkan salah satu calon atau salah dua calon,” ujarnya.
Pihak kedua yang perlu mengawasi adalah Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu. Bawaslu harus konsisten dengan aturannya bahwa kalau mereka melihat ada oknum, maka mereka bisa menindak di lapangan. “Karena sekarang di UU yang baru Bawaslu tidak hanya bisa melaporkan, tapi dia juga bisa melakukan penindakan, dia bisa menghentikan atau membubarkan acara atau event yang sedang terjadi, dan memproses ke ranah hukum yang lebih tinggi,” kata Nur.
Pihak ketiga yang berperan penting adalah masyarakat. “Saya optimistis dengan adanya gadget, hampir seluruh orang punya, masyarakat berkewajiban untuk merekam. Dan, saya kira Bawaslu harus menyediakan satu portal untuk memfasilitasi warga melapor meskipun secara rekaman dengan mudah. Bukan malah dipersulit dengan menyebut ini tidak legal, hoaks, dan sebagainya,” ujarnya.
Nur menuturkan, Bawaslu jangan hanya bertindak kuratif tetapi juga preventif. “Begitu ada kejadian, ada informasi, langsung bertindak sehingga tidak berlarut-larut atau terjadi pembiaran. Saya kira masyarakat nanti akan sangat antusias untuk melaporkan kecurangan ataupun hal-hal yang tidak adil. Tinggal adil atau tidaknya nanti Bawaslu dan perangkat-perangkat pemilu untuk memutuskannya. Tapi mereka harus menerima informasi dengan berbagai channel, online terutama, dan memudahkan masyarakat,” kata Nur.
Memastikanak ada kecurangan
“Pastikan tidak ada keberpihakan dan kecurangan yang dapat mengurangi kredibilitas dan akuntabilitas Pemilu. Jika ada gugatan dan sejenisnya, agar diproses melalui mekanisme sesuai dengan perundangan yang berlaku”
Beberapa waktu lalu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengingatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu sebagai unsur penyelenggara Pemilu, termasuk juga kepada seluruh jajaran birokrasi, TNI, dan Polri untuk menjaga netralitas serta mencegah kecurangan yang dapat merusak kredibilitas Pemilu 2024.
“Pastikan tidak ada keberpihakan dan kecurangan yang dapat mengurangi kredibilitas dan akuntabilitas Pemilu. Jika ada gugatan dan sejenisnya, agar diproses melalui mekanisme sesuai dengan perundangan yang berlaku,” kata Wapres Amin saat memberikan sambutan pada acara Malam Puncak Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-12 Kompas TV di Golden Ballroom, The Sultan Hotel, Jl. Gatot Subroto, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (11/9/2023).