Pilih Figur Berintegritas untuk Majelis Kehormatan MK
MK akan mengumumkan pembentukan Majelis Kehormatan. Publik berharap sosok yang dipilih adalah figur berintegritas.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi akan mengumumkan proses pembentukan Majelis Kehormatan MK atau dewan etik yang akan memeriksa dugaan pelanggaran etikhakim konstitusi dalam putusan 90/PUU-XXI/2023, Senin (23/10/2023). Peneliti hukum tata negara berharap figur yang masuk dalam komposisi majelis bersikap independen dan imparsial.
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono Suroso saat dihubungi, Minggu (22/10/2023), menyatakan belum bisa mengonfirmasi nama- nama calon anggota Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang beredar di publik. Proses pembentukan MKMK itu akan diumumkan oleh Ketua MK Anwar Usman pada hari Senin.
”Besok siang (Senin) MK konferensi pers soal itu. Kita tunggu Senin, ya, pukul 13.00,” kata Fajar saat dikonfirmasi.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, MK sudah menunjuk mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua Majelis Kehormatan dan Bintan R Saragih, akademisi yang merupakan mantan anggota Dewan Etik periode 2017-2020 sebagai anggota Majelis Kehormatan. Mengacu pada UU No 7/2020 tentang Mahkamah Konstitusi, keanggotaan Majelis Kehormatan terdiri dari tiga unsur, yaitu seorang hakim konstitusi aktif, seorang tokoh masyarakat, dan seorang akademisi hukum (Kompas.id, 21/10/2023).
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Padang Charles Simabura mengatakan, publik berharap sosok yang dipilih untuk mengisi posisi MKMK ialah figur berintegritas. Sosok berintegritas itu juga harus bisa independen dan imparsial saat menangani kasus dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi.
”Sosok yang dipilih dari unsur eksternal itu harus kuat. Karena, dalam MKMK ini juga ada hakim konstitusi aktif. Jangan sampai ada rekayasa lagi sehingga bisa pro kepada hakim yang diduga melanggar etik,” kata Charles.
Untuk komposisi MKMK yang berasal dari internal hakim konstitusi, ia juga berharap dipilih dari hakim yang tidak dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik. Sosok hakim konstitusi yang masuk juga harus bersih dari rekam jejak permasalahan etik agar tidak ada tudingan pemeriksaan memihak kepada pihak tertentu.
Sejauh ini, MK sudah menerima empat laporan atau pengaduan dugaan pelanggaran etik terkait dengan putusan 90/PUU-XXI/2023 yang disampaikan masyarakat.
Adapun dalam putusan nomor 90 itu, MK menyatakan, meskipun belum menginjak usia 40 tahun, seseorang dapat mengajukan diri dalam kontestasi pemilihan presiden asalkan pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah. Putusan itu dijatuhkan tidak bulat. Dari sembilan hakim konstitusi, dua hakim mengajukan alasan berbeda, sedangkan empat hakim mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion.
Pengaduan terkait dengan putusan tersebut, di antaranya, disampaikan Denny Indrayana, Pergerakan Advokat Nusantara, dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), serta Komunitas Advokat Lingkar Nusantara (Lisan) dan Dewan Pimpinan Pusat Advokasi Rakyat untuk Nusantara (ARUN).
Denny Indrayana, Pergerakan Advokat Nusantara, dan PBHI mengadukan hakim konstitusi Anwar Usman yang juga Ketua MK. Adapun Lisan dan ARUN mengadukan hakim konstitusi Saldi Isra. Selain kedua hakim itu, PBHI juga mengadukan Manahan MP Sitompul, Guntur Hamzah, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic P Foekh. Hanya tiga hakim yang sejauh ini belum diadukan, yaitu Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Arief Hidayat.
Dalam siaran persnya, MK memandang pengaduan itu sebagai bentuk perhatian publik kepada institusi tersebut. Lembaga tersebut juga komit untuk mendukung seluruh proses penanganan yang akan dilakukan oleh Majelis Kehormatan secara transparan.
Konflik kepentingan
Menurut Charles, figur yang dipilih untuk menjadi MKMK harus diperhatikan latar belakang dan rekam jejaknya.
Ini karena putusan etik tersebut akan berdampak krusial. Jika terbukti ada konflik kepentingan dalam putusan 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia calon presiden-calon wakil presiden, misalnya, putusan itu bisa dinyatakan tidak sah. Bahkan, menurut Charles, juga ada ancaman pidana yang diatur di Pasal 17 Ayat 6 UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
”Di pasal itu diatur, apabila ada pelanggaran terhadap ketentuan, seperti konflik kepentingan, putusan bisa dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenai sanksi administratif atau dipidana,” kata Charles.
Namun, apakah kemudian putusan etik itu bisa berpengaruh terhadap pencalonan presiden dan wakil presiden yang akan berlangsung hingga 25 Oktober ini, Charles mengatakan, hal itu tergantung dari itikad baik penyelenggara pemilu. Namun, jika putusan itu tidak bisa menghalangi pencalonan seseorang, hal itu bisa menjadi bahan sengketa pilpres di MK di kemudian hari. Pihak tertentu bisa memperkarakan pencalonan seseorang dengan norma itu menjadi tidak sah.
Dihubungi terpisah, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Violla Reininda, menambahkan, MKMK membutuhkan figur yang lebih negarawan dari negarawan yang akan diperiksa dan diadili secara etik. Menurut dia, diperlukan pertimbangan latar belakang dari tokoh-tokoh itu yang belum pernah melakukan pelanggaran hukum atau etik, tidak terafiliasi dengan partai politik, serta memiliki pemahaman yang dalam tentang penerapan etika kehakiman (judicial ethics).
”Yang bersangkutan juga harus berani dan tegas dalam menegakkan etik hakim konstitusi tanpa pandang bulu. Idealnya, keanggotaannya juga tidak ada unsur hakim konstitusi aktif agar tidak bias dan lebih obyektif,” katanya.
Adapun terkait dengan dampak putusan etik itu terhadap tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden yang masih bergulir, Violla mengatakan, selama ini putusan etik tidak pernah memengaruhi putusan perkara substantif. Sebab, keduanya dianggap berbeda meskipun saling memengaruhi. Jika terbukti ada pelanggaran etik yang fatal, terutama intervensi pihak lain agar menguntungkan pihak tertentu, ia justru berharap kasus ini dikembangkan ke ranah pidana.
Denny Indrayana menilai, Majelis Kehormatan MK harus mengerahkan semua integritas moral dan kapasitas keilmuannya untuk bekerja sepenuh hati demi menyelamatkan MK dan negara hukum Indonesia. Apabila nantinya terbukti ada pelanggaran etika hakim konstitusi saat menangani putusan 90/PUU-XXI/2023, Denny mengungkapkan, putusan tersebut menjadi tidak sah. Hal itu didasarkan Pasal 17 Ayat (5) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Hal ini terkait dugaan perkara 90/PUU-XXI/2023 memiliki kepentingan untuk memperjuangkan Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo, dalam pemilihan capres-cawapres 2024. Gibran yang saat ini menjabat Wali Kota Surakarta merupakan kemenakan dari istri Hakim Konstitusi Anwar Usman.