Dibebaskan dari Kasus Suap, Gazalba Saleh Tetap Dijerat Gratifikasi dan Pencucian Uang
Meski MA menguatkan putusan bebas Pengadilan Tipikor Bandung yang membebaskan Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh dalam kasus dugaan suap, KPK tetap menjeratnya dalam kasus gratifikasi dan pencucian uang.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Walaupun Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap putusan bebas di pengadilan tingkat pertama terhadap Gazalba Saleh, KPK masih tetap menjerat hakim agung MA tersebut. Gazalba tetap diproses sebagai tersangka dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang.
Dalam sidang pembacaan putusan perkara pidana di MA yang untuk pertama kalinya disiarkan secara live di platformYoutube, Kamis (19/10/2023), di Jakarta, Hakim Agung Dwiarso Budi Santiarto yang menjadi ketua majelis kasasi perkara Gazalba mengamini putusan bebas yang pernah dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Bandung terhadap Hakim Agung Gazalba Saleh.
Sebaliknya, secara terpisah, Juru Bicara KPK Ali Fikri menilai majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung telah memutus bersalah para terdakwa lain yang terdiri dari para hakim, aparatur sipil negara, pengacara, dan pihak swasta.
Ali menegaskan, saat ini Gazalba masih berstatus tersangka untuk perkara lain. KPK sebelumnya menjerat hakim agung nonaktif tersebut dengan dugaan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang dalam kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana.
Kasasi ditolak
MA sebelumnya menolak permohonan kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum pada KPK untuk melawan putusan bebas yang dijatuhkan pengadilan negeri tipikor pada tingkat pertama tersebut.
Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi penuntut umum.
”Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi penuntut umum,” kata Hakim Agung Dwiarso Budi Santiarto yang menangani perkara dengan nomor 5241 K/Pid.Sus/2023 itu.
Dwiarso dibantu juga anggota majelis hakim lainnya, yaitu Hakim Agung Sininta Sibarani dan Yohanes Priyana. Penyiaran secara langsung putusan MA di Youtube tersebut dilakukan oleh Ketua MA M Syarifuddin sebagai bagian dari akuntabilitas lembaga peradilan yang menjadi tuntutan dari masyarakat umum.
Seperti diketahui, Gazalba sebelumnya didakwa menerima suap Rp 2,2 miliar untuk mengondisikan putusan kasasi pidana Ketua Pengurus KSP Intidana, Budiman Gandi Suparman. Suap diduga diberikan melalui Theodorus Yosep Parera, pengacara dari Heryanto Tanaka, debitor KSP Intidana. Dalam perkara tersebut, jaksa KPK menuntut Gazalba dengan pidana penjara 11 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Majelis hakim pengadilan telah memutus bersalah para terdakwa lainnya yang terdiri dari para hakim, aparatur sipil negara, pengacara, dan pihak swasta.
Namun, majelis hakim pada Pengadilan Tipikor Bandung menyatakan Gazalba tidak terbukti dalam penerimaan suap Rp 2,2 miliar. Gazalba pun bebas dari seluruh tuntutan hukum yang diajukan KPK. Terhadap putusan tersebut, KPK kemudian mengajukan kasasi, tetapi kalah di MA.
Sementara itu, meski pada prinsipnya menghormati setiap putusan pengadilan, termasuk putusan MA terhadap Gazalba, Ali Fikri menyayangkan putusan MA. Pasalnya, perkara Gazalba bermula dari operasi tangkap tangan terhadap sejumlah pegawai MA yang berujung pada keterlibatan hakim agung.
”Majelis hakim pengadilan telah memutus bersalah para terdakwa lainnya yang terdiri dari para hakim, ASN, pengacara, dan dari pihak pelaku swasta,” kata Ali Fikri. Saat ini, KPK masih menunggu salinan putusan tersebut selengkapnya untuk dipelajari lebih lanjut.
Meski sudah bebas dalam perkara suap, Ali menegaskan, saat ini Gazalba masih berstatus tersangka untuk perkara lain. KPK menjerat Gazalba dengan dugaan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang.
Sebagaimana diberitakan, perkara KSP Intidana tersebut terkuak dengan dugaan adanya permainan perkara yang melibatkan hakim, pegawai negeri sipil pada MA, serta pengacara.
Sejauh ini ada beberapa hakim yang terjerat dalam kasus tersebut, antara lain Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati yang dihukum 8 tahun pada tingkat pertama, tetapi dipotong oleh pengadilan banding menjadi 7 tahun, Hakim Elly Tri Pangestu yang divonis 4,5 tahun, Hakim Prasetio Nugroho dihukum 9 tahun penjara, Hakim Edy Wibowo 4,5 tahun penjara, dan Hakim Hasbi Hasan yang kini berstatus tersangka KPK.
Maka, dengan sistem peradilan yang bersih dan bebas dari korupsi, (lembaga pengadilan) akan dapat menghasilkan putusan-putusan yang berintegritas dan berkeadilan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
Adapun pegawai MA yang dijerat KPK antara lain Desy Yustria yang dihukum 10 tahun penjara, Muhajir Habiebie 10 tahun penjara, Nurmanto Akmal 4,5 tahun penjara, Albasri 4 tahun penjara, dan Redhy Novasriza 8 tahun penjara.
Perbaikan sektor peradilan
Lebih jauh, Ali Fikri menyatakan, proses hukum dalam perkara dugaan korupsi penanganan perkara di pengadilan haruslah dimaknai bukan hanya untuk memberi deterrent effect atau efek jera kepada pelakunya semata. Namun, hal tersebut juga perlu dipandang sebagai upaya untuk mendorong perbaikan secara menyeluruh pada sektor peradilan di Indonesia.
”Maka, dengan sistem peradilan yang bersih dan bebas dari korupsi, (lembaga pengadilan) akan dapat menghasilkan putusan-putusan yang berintegritas dan berkeadilan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku,” kata Ali Fikri.