Saatnya Kepala Negara mengumpulkan semua pemimpin lembaga negara, termasuk Ketua Mahkamah Agung, untuk mencari solusi bersama guna mengatasi jual-beli keadilan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Prahara kembali terjadi di puncak kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung. Setelah dua hakim agung diadili dan ditahan, kini Sekretaris MA pun ditangkap.
Ini menyedihkan! Peristiwa itu sungguh mengecewakan. Seperti diberitakan harian ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Sekretaris MA Hasbi Hasan. Hasbi adalah Sekretaris MA kedua yang ditahan. Sebelumnya, Sekretaris MA Nurhadi ditahan dan diadili atas tuduhan menerima suap dalam penanganan perkara.
Selain Hasbi, KPK juga telah menetapkan 17 tersangka dalam dugaan suap pengurusan perkara kasasi Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Di antara 17 tersangka itu ada dua hakim agung, Sudrajat Dimyati dan Gazalba Saleh, pengacara, pengusaha, dan sekretaris/panitera.
Sesuai penjelasan Ketua KPK Firli Bahuri, Maret-September 2022, Hasbi menerima imbalan miliaran rupiah. KPK menyita sejumlah mobil milik Hasbi. Sebelumnya, Hakim Agung Sudrajat telah dijatuhi hukuman delapan tahun penjara. Adapun Hakim Agung Gazalba masih menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung.
Prahara di tubuh MA ini mengecewakan publik. Hakim agung adalah wakil Tuhan di bumi ini. Mereka mengambil keputusan dengan irah-irah, ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun, realitas menunjukkan, keputusan diambil berdasarkan keuangan yang mahakuasa. Uang sangat menentukan besar dan ringannya keputusan.
Runtuhnya tembok pengadilan bisa bermuara pada keruntuhan pilar negara hukum Indonesia. Kita mendengar reaksi dari Juru Bicara Mahkamah Agung Suharto yang menyebutkan, MA menghormati proses hukum yang sedang dijalankan KPK. Reaksi itu terlalu normatif. Tak terdengar permintaan maaf sebagai sinyal penyesalan atas terjadinya transaksi suap di benteng keadilan.
Rentetan korupsi yang menerpa republik ini selalu direspons dengan pernyataan normatif: menghormati proses hukum. Pernyataan normatif itu seakan tidak menghayati perasaan publik mengenai betapa sulitnya mencari keadilan di negeri ini. Selain permintaan maaf, langkah luar biasa perlu dilakukan, memecat mereka, termasuk hakim agung, yang telah berbuat tercela dan mengkhianati kepercayaan publik.
Prahara di MA tidak bisa dilokalisasi hanya pada perilaku oknum-oknum hakim agung. Perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap sistem kekuasaan kehakiman yang nir-pengawasan. Pengawasan Komisi Yudisial selalu dihindari dengan dalih kemandirian kekuasaan kehakiman.
Saatnya Kepala Negara mengumpulkan semua pemimpin lembaga negara, termasuk Ketua Mahkamah Agung, untuk mencari solusi bersama guna mengatasi jual-beli keadilan. Perlu dicari langkah berani, termasuk melakukan eksaminasi terhadap semua hakim dari semua tingkatan, untuk diminta komitmen mereka agar tidak lagi melakukan tindakan tercela. Jika tidak ada komitmen untuk hal itu, sebaiknya tanggalkan saja toga-toga kebesaran hakim agung.