Saat KPU Sebarkan Pesan Cinta dan Pemilu Damai lewat Film
KPU coba menunjukkan konflik yang sulit dihindari dalam kontestasi pemilu dan pilkada. Meski sarat pesan, film ”Kejarlah Janji” karya Garin Nugroho ini cukup bisa dinikmati penonton karena disajikan dalam drama komedi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
Hari pemungutan suara Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024 bertepatan dengan Hari Kasih Sayang. Padahal, tak jarang masalah politik selama pemilu justru mengoyak kerukunan sosial hingga ke level keluarga. Tak ingin hal itu terulang seperti pada pemilu sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum menyebarkan pesan cinta melalui film Kejarlah Janji.
”Cinta itu perpaduan rindu dan benci. Kira-kira politik itu adalah antara rindu dan benci, tetapi bertemu dalam cinta. Kadang-kadang jadi teman, kadang-kadang jadi lawan. Jadi, tidak ada lawan dan kawan abadi dalam politik, dalam pemilu,” ucap Ketua KPU Hasyim Asya’ri seusai menonton film Kejarlah Janji bareng karyawan Kompas Gramedia (KG) di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (13/10/2023).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kesan yang diucapkan Hasyim itu seolah menyarikan film berdurasi 1 jam 30 menit tersebut. Pemain watak yang mengisi layar lebar terasa begitu dekat dengan penonton. Terutama saat muncul konflik-konflik akibat perbedaan pilihan ataupun kampanye hitam saat pemilihan kepala desa di Desa Bangunmapan. Sindiran-sindiran halus melalui candaan satire juga terasa lekat dengan polarisasi akibat pemilu yang lalu.
Film karya Garin Nugroho itu memang menjadi medium bagi KPU untuk memperkuat pendidikan pemilih. Pesan utama yang ingin disampaikan KPU adalah mencegah konflik akibat perbedaan pilihan. KPU ingin menunjukkan kepada pemilih bahwa konflik memang sulit dihindari dalam kontestasi pemilu dan pilkada di negara yang multikultural dan majemuk. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran bagi semua pemilih agar tak ragu dan gagap jika menghadapi situasi konflik akibat ajang kontestasi merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Pesan itu terasa relevan saat penonton diajak menyelami kisah keluarga Pertiwi yang diperankan oleh artis Cut Mini. Momen itu dimulai saat ketiga anak Pertiwi, yaitu Adam (Bima Zeno), Sekar (Shenina Cinnamon), dan Isham (Thomas Rian), pulang dari perantauan untuk berziarah ke makam sang ayah. Momen itu pun bersamaan dengan pemilihan umum yang akan dilanjutkan dengan pemilihan kepala desa di desanya.
Kedatangan anak-anak yang dirindukan itu tak dinyana justru memicu konflik keluarga yang tak terduga. Hal itu dipicu oleh perbedaan pandangan dan ambisi ketiga anak tersebut. Adam ingin membalaskan dendam sang ayah yang sempat kalah dalam pemilihan kepala desa (pilkades) sebelumnya. Untuk mewujudkan ambisinya itu, ia tak segan menyerang integritas calon dengan kampanye hitam yang menyerang harkat dan martabat lawan.
Adapun Sekar yang merupakan lulusan magister politik justru merasa muak dengan kenyataan politik yang begitu berjarak antara teori dan realitas. Sementara itu, si bungsu Isham, mahasiswa kritis yang hobi berdemo, memutuskan untuk tidak memilih atau golput karena kecewa dengan sikap pemimpin yang menurut dia tak pernah berpihak pada kepentingan rakyat.
”Konflik yang paling berat adalah di keluarga. Ada yang pernah punya pacar? Lalu disowankan (diperkenalkan) kepada bapak dan ibu, seketika bapak-ibu menolak. Kira-kira apa yang akan Saudara lakukan? Mendemo, protes, atau memutus pacarnya, atau tetap berhubungan diam-diam di luar sepengetahuan bapak-ibu?” tanya Hasyim.
Hasyim membandingkan ketika masyarakat tidak setuju dengan kebijakan kekuasaan, baik itu presiden, pemerintah, maupun DPR, seseorang bisa leluasa berdemo atau melakukan protes. Namun, ketika hal itu terjadi di level keluarga, apakah seseorang mau menggunakan kekerasan, baik verbal maupun fisik. Hal itu rasa-rasanya tidak mungkin. Mekanisme-mekanisme demokrasi yang lekat dengan konflik itu bisa dilakukan untuk partai politik dan pemerintahan, tetapi sulit diterapkan di level keluarga yang menjadi rumah bersama.
Sugito (45), karyawan KG lainnya, juga menilai film Kejarlah Janji seru dan lucu.
Wira Widyanti (30), karyawan KG yang menonton film itu, merasa terkesan dengan alur cerita yang dibangun. Ia merasa film itu dekat dengan kehidupan sehari-hari. Sindiran-sindiran, misalnya fenomena kaum cebong dan kampret yang muncul di film itu, membuat Wira terkekeh. Ia juga merasa pesan pemilu damai yang disampaikan dalam film itu mengena. Sebab, film bertumpu pada narasi cerita keluarga.
”Ada banyak sindiran-sindiran seperti menolak masa jabatan kades lebih dari dua periode yang muncul dalam film itu. Ini related banget dengan politik terkini,” ujar Wira.
Sugito (45), karyawan KG lainnya, juga menilai film Kejarlah Janji seru dan lucu. Film itu meninggalkan kesan yang mendalam dan mengena terhadap dirinya. Ia jadi bernostalgia dengan kehidupan desa asalnya. Selain itu, film juga menyadarkan kembali kehidupan berkeluarga dalam memilih politik ataupun tujuan hidup. Ia berharap film itu bisa diputar di setiap kampung supaya masyarakat lebih sadar bahwa pemilu bisa damai dan tidak menakutkan jika disikapi dengan bijak.
”Keluarga yang tadinya sering ribut karena perbedaan pendapat dan politik akhirnya mengalah dan berdamai demi ibu dan keluarganya,” katanya.
Mengingatkan perjalanan bangsa
Sepanjang pemutaran film, penonton dari karyawan KG itu pun antusias. Mereka tertawa dan mengomentari adegan-adegan lucu dalam film bergenre drama komedi itu. Riuh tepuk tangan pun terdengar seusai film diputar.
Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo mengapresiasi kreativitas KPU dalam menyosialisasikan pemilu. Sosialisasi dengan medium budaya populer film bisa dikemas dengan santai, tetapi kaya dengan makna. Hal itu tentu bisa mengingatkan kembali masyarakat tentang perjalanan bangsa menuju Pemilu 2024. Film juga dianggap tepat untuk menyasar generasi cuek atau generasi muda yang merupakan pemilih terbesar pada pemilu kali ini.
”Film ini juga menyadarkan masyarakat bahwa memilih pemimpin jangan dengan sentimen, tetapi dengan nalar,” kata Budiman.
Terkait dengan menjaga nalar publik itu, Budiman menegaskan bahwa KG bisa menjadi mitra strategis bagi KPU untuk mendiseminasikan ide-ide tersebut. Termasuk menggelar debat kandidat untuk mendorong adu gagasan sehingga politik lebih rasional. Ia juga meyakini, Pemilu 2024 yang akan dilanjutkan dengan pilkada serentak di tahun yang sama akan kompleks dan rumit. Namun, hal itu pasti bisa disukseskan dengan kerja bersama semua elemen masyarakat.
”KG Group siap berkolaborasi dengan KPU agar perjalanan menuju 14 Februari 2024 bisa baik sehingga terpilih presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif benar-benar yang mewakili kita semua,” katanya.
Film yang diputar terbatas di bioskop komersial itu menurut rencana juga akan disosialisasikan ke pesantren-pesantren dalam rangka peringatan Hari Santri 22 Oktober mendatang. Selain itu, untuk menyasar generasi milenial dan generasi Z yang mencapai 56,45 persen dari 204 juta pemilih, film juga akan diputar di kampus-kampus.