Kondisi kehidupan beragama di Indonesia masih melahirkan perlakuan diskriminatif terhadap penganut agama minoritas. Dibutuhkan banyak pemberitaan keberagaman dengan cara-cara yang tepat dan bijak untuk memperbaikinya.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
Pemimpin Redaksi Kaltimtoday.co Ibrahim Yusuf mengatakan, dalam memberitakan isu keberagaman, ada kecenderungan media menyampaikan peristiwa lebih berfokus pada narasumber resmi tanpa mempertimbangkan dampak pemberitaan. Pemberitaan itu justru semakin meramaikan praktik diskriminasi, intoleransi, kriminalisasi, sampai persekusi.
Sebagai pemimpin media, Ibrahim beberapa tahun terakhir kian mencermati perkembangan isu keberagaman yang terjadi, terutama di Kalimantan Timur. Salah satu perhatiannya terkait pendirian rumah ibadah. Hal ini, lanjut Baim, sapaan akrabnya, disebabkan masih ada hambatan pada proses perizinan serta penolakan mendirikan tempat ibadah penganut agama minoritas.
Misalnya, pada Maret 2021, terjadi aksi massa menolak pendirian Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Jemaat Pniel Bengkuringan di Samarinda, Kalimantan Timur. Padahal, selama 11 tahun jemaah GPdI beribadah di rumah sederhana milik Pendeta Festivanus Roy Lintang. Selain penolakan pendirian gereja, di Samarinda juga pernah terjadi aksi teror. Sebuah bom molotov dilempar ke parkiran motor di samping Gereja Oikumene Sengkotek, Samarinda, Kaltim, Minggu (13/11/2016). Empat anak kecil mengalami luka bakar dalam peristiwa tersebut.
Untuk mendukung dan memperbaiki kualitas keberagaman, Baim mendorong para jurnalisnya aktif mengikuti sejumlah pelatihan yang berkaitan dengan peningkatan kompetensi wartawan. Salah satu pelatihan misalnya memperkuat perspektif jurnalis memahami isu keberagaman.
”Kami di Kaltim sadar benar, ketika meliput isu keberagaman, maka perspektif jurnalisnya harus beres. Di satu sisi, saat peliputan juga ada intimidasi terhadap wartawan kami, ketika meliput gereja-gereja yang mengalami diskriminasi dari kelompok intoleran,” ujar Baim saat diskusi publik ”Penerapan Pedoman Isu Keberagaman (PPIK)” menjelang pemilu serentak 2024 di Jakarta, Selasa (10/10/2023).
Menurut anggota Aliansi Jurnalis Independen Indonesia Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal, Shinta Maharani, masih banyak pemberitaan media yang belum menjalankan kode etik jurnalistik ketika meliput isu kelompok rentan, termasuk minoritas agama atau kepercayaan. Para jurnalis juga banyak yang belum tahu cara memverifikasi secara ketat atau berlapis ketika meliput kasus-kasus intoleransi dan diskriminasi.
Isu-isu agama atau kepercayaan dan keyakinan juga dianggap tidak menarik diangkat oleh media di Indonesia. Meski media memberitakan, ruang bagi kelompok minoritas dan korban sangat minim, dan perspektif pemberitaan juga tidak berbasis pada hak asasi manusia. Bahkan, media kerap menjadikan kelompok minoritas sebagai obyek pemberitaan dengan mengedepankan sensasi.
”Jurnalis kurang gigih memverifikasi informasi. Belum semua media massa juga taat pada pemenuhan jurnalisme yang berperspektif hak asasi manusia, membela korban, dan kritis pada kekuasaan sebagaimana menjadi semangat dari PPIK,” ungkap Shinta.
Anggota Dewan Pers yang juga Ketua Komisi Pendidikan dan Pengembangan Profesi Pers Paulus Tri Agung Kristanto mengingatkan para jurnalis untuk mengacu pada pedoman pemberitaan isu keberagaman yang diterbitkan Dewan Pers. Isinya seperti tidak menggunakan diksi, suara, atau gambar yang merendahkan dan menyebarkan kebencian pada kelompok tertentu.
Pedoman pemberitaan yang berperspektif keberagaman itu juga bertujuan untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas pers itu harus memberikan pendidikan kepada publik, kontrol sosial, dan memberikan informasi.
”Pers punya fungsi untuk menjaga NKRI dan keberagaman NKRI. Pers berjuang tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk mencerdaskan masyarakat dan mencerahkan masyarakat,” kata Tri Agung.
Komitmen
Manajer Program Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) Yuni Pulungan mengatakan, PPIK yang diterbitkan Dewan Pers harus diimplementasikan dan dikawal bersama. Sebab, tren diskriminasi, intoleransi, dan persekusi terhadap kelompok minoritas terus terjadi dan media tidak banyak memberikan ruang pemberitaan pada isu ini.
Berdasarkan pemantauan dan pendampingan Sejuk sejak Januari-September 2023, berbagai ancaman dan pelanggaran kebebasan beragama atau kepercayaan dan berkeyakinan masih dialami kelompok minoritas di banyak wilayah. Gangguan itu seperti penolakan izin pendirian rumah ibadah, pelarangan ibadah, dan aktivitas keagamaan lainnya. Praktik-praktik diskriminasi hingga persekusi bernuansa agama mendekati pemilu serentak 2024 juga semakin merebak.
Oleh karena itu, Sejuk berkomitmen mendorong media menerapkan PPIK yang diterbitkan Dewan Pers melalui berbagai kegiatan yang dilakukan di berbagai wilayah. Bahkan, Sejuk mengajak 12 media di berbagai wilayah Indonesia membuat kolaborasi liputan bertema #SemuaBisaBeribadah sebagai salah satu cara menerapkan PPIK. Salah satu media yang mengikuti kolaborasi liputan tersebut adalah Kaltimtoday.co
Baim menyampaikan, Kaltimtoday.co dalam mengerjakan konten kolaborasi itu turut mendapat tantangan, salah satunya kesulitan memperoleh kepercayaan narasumber saat peliputan ”Di Balik Penghambat Gereja-gereja di Samarinda”. Sebab, ada ketakutan ketika hasil pemberitaan terbit justru berbalik dan akan mempersulit proses izin mendirikan gereja.
”Kami menerjunkan tiga jurnalis dalam menggarap proyek peliputan tersebut. Kami menemukan sangat sulitnya mendirikan gereja di Samarinda karena terhambat pada proses perizinan. Lalu, ada juga penolakan dari warga setempat karena khawatir dampak gereja,” ungkap Baim.
Shinta yang juga mentor peliputan mengapresiasi seluruh artikel yang dihasilkan oleh 12 media yang terlibat dalam liputan kolaborasi. Liputan juga berdampak pada gereja-gereja yang diliput.
”Salah satunya adalah Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Jemaat Pniel Bengkuringan di Samarinda, Kalimantan Timur, yang diangkat oleh Kaltimtoday.co mendapat perhatian pemerintah setempat. Gereja-gereja lainnya juga merasa mendapat ruang untuk menyampaikan aspirasi, memperjuangkan hak-haknya untuk beribadah,” kata Shinta.