Persoalan Izin, Warga Bubarkan Ibadah Jemaat Gereja Kristen Kemah Daud
Setelah adanya pergantian ketua RT, tanda tangan warga yang sudah dikumpulkan itu dianggap tidak berlaku. Hingga kini, gereja itu belum mengantongi izin.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Persoalan perizinan gereja yang belum tuntas memicu tindakan intoleransi berupa pembubaran ibadah di Gereja Kristen Kemah Daud di Bandar Lampung oleh warga sekitar, Minggu (19/2/2023). Kementerian Agama Lampung mendorong semua pihak menahan diri.
Pihak gereja juga diminta segera mengurus izin tempat ibadah sementara agar peristiwa serupa tidak terulang. Namun, pihak gereja juga meminta pemerintah mempermudah perizinan karena perizinan sudah diurus sejak 2014, tetapi kemudian warga sekitar yang sudah tanda tangan menarik dukungannya.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Lampung Puji Raharjo menjelaskan, dia telah berdialog langsung dengan masyarakat, pihak jemaat, tokoh masyarakat, pemerintah kecamatan, dan polisi pada Minggu. Dalam dialog tersebut, kedua belah pihak sepakat berdamai.
”Kita semua menginginkan kedamaian, keamanan, dan tentunya membangun hubungan yang harmonis antarumat beragama,” kata Puji saat dihubungi dari Bandar Lampung, Senin (20/2).
Pihaknya juga telah berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Kepolisian Daerah Lampung. Kelompok yang membutuhkan pengamanan saat menjalankan ibadah bisa mengajukan pengamanan kepada polisi.
Terkait dengan pendirian rumah ibadah, ia berharap semua kelompok agama memahami Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 tahun 2006. Ia mendorong, pihak gereja segera mengurus penggunaan gedung itu sebagai tempat ibadah sementara. Dengan begitu, jemaat tidak akan mendapat penolakan lagi dari warga sekitar karena izinnya sudah ada.
”Jika semua patuh pada peraturan tersebut, pelaksanaan ibadah di lingkungan akan dapat berjalan dengan kondusif,” katanya.
Sementara itu, Pendeta Gereja Kristen Kemah Daud Naek Siregar menuturkan, pembubaran ibadah itu terjadi pada Minggu. Awalnya, beberapa warga mendatangi gereja saat para jemaah saat ibadah sedang berlangsung. Salah seorang warga yang juga ketua RT setempat lalu memaksa masuk ke dalam gereja. Ia memaksa ibadah dihentikan dan meminta jemaah Kristen yang ada di dalam gereja dibubarkan.
”Kami sudah membujuk agar mereka sabar menunggu sampai jemaat selesai ibadah. Tapi mereka tidak setuju. Dari pada ibadah ribut-ribut dan jemaah jadi tidak konsentrasi, akhirnya kami bubar,” kata Naek.
Menurut dia, pelarangan ibadah yang dialami Jemaah GKKD bukan kali ini terjadi. Tahun 2016, warga sekitar juga pernah membubarkan jemaat yang sedang menjalani ibadah. Persoalan izin lingkungan yang belum dikantongi pihak gereja menjadi alasan warga melakukan pembubaran paksa ibadah.
Sejak 2007
Naek menceritakan, tanah untuk lokasi gereja itu dibeli sejak 2007. Saat itu, di sekitar kawasan itu masih berupa lahan kosong dan belum banyak perumahan seperti sekarang ini. Tahun 2013, pengelola membangun paroki.
Ia menjelaskan, pihaknya sudah berupaya mengurus perizinan gereja sejak 2014. Saat itu, ia pernah dibantu warga sekitar mengumpulkan tanda tangan 60 warga sekitar sebagai syarat pengajuan izin. Namun, setelah adanya pergantian ketua RT, tanda tangan warga yang sudah dikumpulkan itu dianggap tidak berlaku. Hingga kini, gereja itu belum mengantongi izin.
Pada 2018, ia juga pernah meminta izin merayakan ibadah Natal. Namun, izin perayaan Natal tidak diberikan. Jemaat terpaksa merayakan ibadah Natal dengan menyewa salah satu hotel di Bandar Lampung.
Selama 10 tahun terakhir, jemaat GKKD menumpang ibadah pada Gereja HKBP Pentakosta Kedaton, Bandar Lampung. Setiap ibadah, mereka harus bergantian karena ada empat kelompok jemaat berbeda yang beribadah di gereja tersebut. Naek berharap, pemerintah daerah membantu mempermudah pendirian izin gereja karena jemaat semakin banyak. ”Ada sekitar 150 anggota jemaat jika semuanya hadir,” katanya.
Kendati begitu, ia meminta para anggota jemaat untuk tidak menyimpan dendam atas peristiwa itu. ”Kami tidak ingin memojokkan siapa pun atas peristiwa ini. Kami hanya ingin khusyuk beribadah,” katanya.
Kami tidak ingin memojokkan siapa pun atas peristiwa ini. Kami hanya ingin khusyuk beribadah. (Naek Siregar)
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Bandar Lampung Purna Irawan menuturkan, pihaknya terus melakukan pendekatan kepada warga sekitar dan jemaat pengguna tempat ibadah agar saling berbuat kebaikan. Pendekatan dilakukan dengan dialog bersama terkait jaminan bagi setiap warga negara berhak menjalankan nilai-nilai agamanya.
Sementara itu, Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung Cik Ali menyatakan, pihaknya mengecam tindakan pembubaran ibadah yang dilakukan warga sekitar pada jemaat GKKD. Ia menilai, hal itu melanggar UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
Tindakan itu juga melanggar UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Polemik perizinan gereja tidak semestinya memicu pembubaran paksa ibadah yang mencederai toleransi yang selama ini dijaga.
LBH Bandar Lampung mencatat, pembubaran paksa ibadah gereja tidak kali ini terjadi. Sebelumnya, pembubaran ibadah juga di Gereja Protestan Injil Nusantara (GNIP) Filadelfia Bandar Lampung pada Minggu (5/2/2023). Pihaknya mendorong pemerintahan memberi solusi untuk masalah itu.