Medsos Paling Rawan Politisasi SARA, Bawaslu: Pelaku Bisa Dilacak
Politisasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA menjadi ancaman yang membayangi pemilu. Bawaslu pun menyiapkan sejumlah langkah mitigasi.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Politisasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA menjadi perhatian Badan Pengawas Pemilu dalam Pemilu 2024 dan pemilihan serentak tahun depan. Bawaslu pun menegaskan pelaku provokasi SARA, termasuk lewat media sosial, bisa dilacak dan dijerat dengan hukum.
Hal itu diungkapkan anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty, di sela-sela peluncuran program ”Pemetaan Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024”. Program yang digelar di Yogyakarta, Selasa (10/10/2023), itu mengambil tema politisasi SARA.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Lolly mengungkapkan, politisasi SARA merupakan kerawanan yang perlu diwaspadai bersama dalam pemilu nanti. Tidak boleh lagi peristiwa di pemilu-pemilu sebelumnya terulang di 2024. ”Kita harus jaga bersama-sama. Kita tidak ingin (pasca) pemilu kita tercerai berai, timbul permusuhan, residu dari pemilu itu sendiri,” ujarnya.
Berdasarkan kajian Bawaslu, politisasi SARA dapat bermuara pada kekerasan berbasis SARA. Media sosial menjadi modus paling banyak yang digunakan oleh aktor-aktor tertentu untuk melakukan kampanye atau provokasi berbau SARA dalam pemilu.
Karena itu, Lolly mengatakan, Bawaslu bekerja sama dengan sejumlah pihak memitigasi kerawanan tersebut, salah satunya melalui patroli siber. Upaya ini melibatkan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), serta perusahaan penyedia layanan medsos, seperti Meta dan Tiktok.
”Bawaslu punya channel pelaporan cepat. Setelah kami kaji, kalau ada (konten) berpotensi menyebabkan disintegrasi bangsa, isinya hasutan, kami punya channel khusus sehingga take down-nya cepat,” ujarnya.
Ia menambahkan, pelaku provokasi pun bisa dilacak di semua platform medsos. Pelaku bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu atau Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Namun, Lolly menambahkan, kunci utama untuk memitigasi kerawanan ini adalah peran masyarakat agar menyebarkan informasi yang benar. Masyarakat juga diminta melaporkan ke Bawaslu jika menemukan pelanggaran terkait politisasi SARA.
Provinsi rawan
Dari kajian Bawaslu, terdapat enam provinsi yang paling rawan isu politisasi SARA, yakni DKI Jakarta, Maluku Utara, DI Yogyakarta, Papua Barat, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat. Hal itu berdasarkan identifikasi kasus dan peristiwa pada pemilu atau pilkada sebelumnya.
Namun, jika berdasarkan agregasi kabupaten/kota, enam provinsi paling rawan isu politisasi SARA adalah Papua Tengah, DKI Jakarta, Banten, DIY, Papua Pegunungan, dan Maluku Utara.
Masalahnya, ketika yang muncul adalah berita yang salah dan menyesatkan, dan itu dianggap sebagai sebuah kebenaran, itu akan berbahaya.
Adapun pada tingkat kabupaten/kota, terdapat 20 daerah yang dinilai rawan isu ini. Dari jumlah itu, lima daerah dengan kerawanan tertinggi adalah Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Puncak, dan Kabupaten Kepulauan Seribu.
Menanggapi data itu, Ketua Bawaslu DIY Mohammad Najib mengatakan belum semua masyarakat mampu menyaring mana berita yang benar, mana yang tidak benar. Semuanya dianggap berita obyektif dan benar. ”Masalahnya, ketika yang muncul adalah berita yang salah dan menyesatkan, dan itu dianggap sebagai sebuah kebenaran, itu akan berbahaya,” katanya.
Saat membacakan sambutan Gubernur DIY dalam acara yang sama, Kepala Bidang Politik Dalam Negeri Badan Kesbangpol Provinsi DIY Bagas Senoadji menyatakan, Pemda DIY siap bekerja sama dengan Bawaslu untuk menciptakan pesta politik yang aman, beradab, dan berkeadilan.
”Harapan kita agar rakyat tidak terkotak-kotak hanya karena perbedaan calon dan aspirasi, apalagi hujat-menghujat dan bermusuhan karena berada di pihak yang berbeda kubu dan partai,” ujarnya.