Taktik TNI Mencetak Prajurit Masa Depan
Perkembangan teknologi memaksa TNI, baik AU, AD, maupun AL, beradaptasi dengan perubahan dalam perang generasi kelima yang akan melibatkan teknologi tinggi dan taktik nonkinetik.
Perkembangan teknologi global yang kian pesat memacu Tentara Nasional Indonesia atau TNI untuk beradaptasi. Setiap matra, baik darat, laut, maupun udara, memiliki taktik dan strategi masing-masing untuk mencetak prajurit-prajurit masa depan. Mereka meyakini kiblat militer telah bergeser dari sebelumnya mendayagunakan manusia, kini menjadi memanfaatkan teknologi.
Generasi perang di dunia memasuki tahapan kelima, yakni melalui aksi militer nonkinetik, seperti rekayasa sosial, adu propaganda, dan serangan dunia maya. Hal ini semakin kuat ketika didukung dengan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan sistem yang sepenuhnya otonom.
Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan dan Latihan (Kodiklat) TNI AU Marsekal Madya Tedi Rizalihadi berpandangan, perang sudah melampaui cara-cara konvensional. Para prajurit tak lagi harus saling berhadapan atau face to face seperti dalam perang generasi pertama.
”Mulai dari doktrin, pendidikan, hingga pelatihan para prajurit TNI AU juga perlu berubah. Harus adaptif sesuai tuntutan zaman agar penyiapan dan pembinaan sumber daya manusia (SDM) TNI AU menghasilkan prajurit yang berkualitas, berkarakter dan profesional,” ujarnya di Markas Kodiklat TNI AU, Jakarta, Rabu (4/10/2023).
Baca juga: Kebutuhan Membangun SDM TNI yang Profesional
Kurikulum pendidikan para prajurit, kata Tedi, telah berubah drastis dari tahun 1945 yang hanya sekadar latihan bagi penerbang. Kini, Kodiklat TNI AU bertekad untuk mencetak prajurit yang bisa mengantisipasi perubahan spektrum peperangan, khususnya perkembangan teknologi pesawat, rudal, dan radar.
Belajar dari perang Rusia-Ukraina, penggunaan pesawat nirawak (unmanned aerial vehicle/UAV), gangguan radar (jamming), dan propaganda berperan penting dalam peperangan. Kodiklat TNI AU mengalami perubahan signifikan dan telah memanfaatkan teknologi simulasi (simulator) untuk sekolah penerbang dan skuadron udara operasional, baik untuk layanan tempur, angkut, maupun helikopter.
”Kalau dulu belum ada kurikulum perang siber, nanti harus ada. Kalau belum ada kurikulum penggunaan pesawat nirawak, nanti juga harus ada,” katanya.
Secara spesifik, Skadron Pendidikan (Skadik) 103, yang baru terbentuk, bertugas untuk menyiapkan, membina,, dan melatih penerbang-penerbang pesawat nirawak atau UAV. TNI AU kini juga telah memiliki satuan siber untuk menangkal serangan-serangan yang bersifat nonfisik.
Bagi Kodiklat TNI AU, tenaga pendidik menempati posisi sentral dalam pendidikan. Mereka yang akan menjamin masa depan prajurit. Sebab, sebagus-bagusnya alutsista yang dimiliki, tidak akan maksimal digunakan apabila tak ada prajurit mumpuni untuk mengawakinya ( Tedi Rizalihadi)
Adapun kurikulumnya disesuaikan dengan teknologi yang tersedia dalam alat utama sistem senjata (alutsista) milik TNI AU. Misalnya, kehadiran pesawat angkut C-130J Super Hercules memerlukan bahan ajar berbasis digitalisasi sistem navigasi, sementara pengajarnya ada yang berasal internal dan eksternal, sesuai dengan kapasitas yang dimiliki oleh tenaga pendidik.
”Bagi Kodiklat TNI AU, tenaga pendidik menempati posisi sentral dalam pendidikan. Mereka yang akan menjamin masa depan prajurit. Sebab, sebagus-bagusnya alutsista yang dimiliki, tidak akan maksimal digunakan apabila tak ada prajurit mumpuni untuk mengawakinya,” tutur Tedi.
Meskipun demikian, perwira tinggi bintang tiga itu merasa bahwa TNI AU masih kekurangan personel dalam postur kekuatannya. Pasalnya, kebutuhan personel sangat spesifik sesuai dengan alutsista yang ada. Dari 100 persen kebutuhan, postur kekuatan yang terpenuhi baru 60 persen.
Baca juga: Presiden Minta TNI Jaga Kondisi Damai di Tahun Politik
Satu personel dituntut untuk memahami secara komprehensif satu alutsista sehingga tidak bisa diganti dengan mudah. Hal yang sama juga terjadi pada kebutuhan tenaga pendidik. Alutsista milik TNI AU juga berasal dari banyak negara sehingga butuh pemahaman ekstra bagi prajurit.
Menyatu dengan rakyat
Komandan Kodiklat TNI AD Letnan Jenderal Arif Rahman menilai, setiap prajurit matra darat harus mampu memosisikan diri bersama rakyat. Hal ini merupakan narasi strategis yang membedakan militer Indonesia dari negara lain. Sebab, pertahanan NKRI tak hanya bergantung pada TNI, tetapi seluruh komponen bangsa.
Dengan demikian, doktrin operasi militer TNI AD, yakni Kartika Yuda, kian kokoh dalam menghadapi perang terhadap agresor dan konflik dalam negeri. Namun, TNI AD tidak ingin terbelenggu dengan pengotak-otakan berupa operasi militer perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP).
”Tugas pokok itu ada tiga, menegakkan kedaulatan, mempertahankan keutuhan, dan melindungi bangsa. Semakin kuat ikatan tentara dengan rakyat, maka sponsor asing yang bergerak dalam negeri bisa dihadapi,” katanya.
Baca juga: Lawan Penjajahan Modern, Presiden Tekankan Pentingnya Lindungi Kedaulatan Digital
Pandangan tersebut muncul untuk merespons perubahan spektrum perang dan perkembangan alutsista. Apalagi, generasi perang terus meningkat dari satu hingga lima, dari perang simetris ke asimetris dan kini menjadi hibrida. ”Jujur, sekarang harus diadopsi dan diadaptasi menjadi doktrin ke prajurit. Amerika Serikat, misalnya, tidak lagi sulit membedakan antara perang militer dan perang nonmiliter,” tambah Arif.
Menurut jenderal bintang tiga itu, pemahaman teritorial–hubungan prajurit dan rakyat–menjadi kunci untuk memenangi pertempuran berlarut. Untuk mendukung hal tersebut, Kodiklat TNI AD kini tengah menyusun doktrin operasi militer untuk perang gerilya modern.
Sementara itu, pendidikan dan pelatihan prajurit akan beradaptasi dengan doktrin terbaru. TNI AD kini telah berubah, dari pola pendidikan yang berpusat di guru menjadi fokus ke murid (student learning center). Dengan demikian, prajurit tak lagi hanya mendengarkan teori saja, tetapi juga praktik-praktik interaktif yang edukatif.
”Ada transformasi bidang pendidikan. Kini, tak hanya Akademi Militer (Akmil) yang menggunakan sistem satuan kredit semester (SKS), tetapi juga pendidikan bagi tamtama dan bintara. Hampir semua kecabangan TNI AD kini menggunakan SKS,” jelas Arif.
Dengan begitu, seluruh pendidikan dan pelatihan yang dilalui prajurit akan dikonversi menjadi SKS sehingga mereka bisa terus melanjutkan sekolahnya. Hal itu juga berlaku bagi prajurit TNI yang menempuh pendidikan di luar negeri.
Postur kekuatan laut
Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Laut Muhammad Ali, saat ditemui di sela-sela acara Sarasehan TNI AL Tahun 2023, Senin (2/10/2023), mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan prajurit yang berkualitas dan profesional perlu lembaga pendidikan mumpuni. Fasilitas itu harus lengkap mencakup teknologi terkini seperti alutsista tanpa awak. Selain itu, perkembangan teknologi siber juga akan terus ditingkatkan dan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan prajurit TNI AL.
TNI AL pada dasarnya telah mengantisipasi tantangan perang masa depan yang lebih bervariasi, baik perang siber, perang proksi, perang konvensional maupun nonkonvensional. Semua itu dicapai dengan membangun kekuatan alutsista laut berupa drone bawah laut dan kapal selam.
”Kapal selam itu akan tetap kami adakan. Saya juga baru saja dari Eropa melihat beberapa produsen kapal selam dan kira-kira kapal selam mana yang akan kami pilih nanti dibahas di Kementerian Pertahanan (Kemhan),” ucap Ali.
Baca juga: Kebanggaan Menjadi Prajurit TNI
Untuk teknologi satelit, TNI AL juga akan mengembangkan Pusat Komando TNI AL (Puskodal) yang lebih jelas dan terarah. Puskodal diharapkan bisa lebih sesuai dalam melaksanakan networkcentric warfare atau operasi multidimensi berbasis teknologi. Semua itu sudah disiapkan untuk masuk dalam postur rencana TNI AL tahun 2025-2045.
Kepala Dinas Penerangan TNI AL Laksamana Pertama I Made Wira Hady Arsanta menambahkan, perubahan kurikulum pendidikan di Kodiklat TNI AL sudah disesuaikan dengan kebutuhan. Anggaran, mata pelajaran, dan praktik-praktiknya sudah dihadapkan dengan kebutuhan di masa depan.
”Misalnya ada pengadaan kapal baru, prajurit akan dibawa ke sana untuk mempelajari teknologinya supaya saat selesai pendidikan mereka sudah siap,” terangnya.
TNI AL saat ini juga sudah tak lagi terlalu menitikberatkan pada pembangunan personalia. Keberimbangan antara personel dan perkembangan teknologi sudah tercapai. Kondisi operasi saat ini tetap berjalan sembari memperbaiki teknik operasi yang terkini yang dihadapkan pada luasnya jenis operasi.
Rekrutmen TNI masih jauh dari ideal apabila dibandingkan dengan pola perekrutan prajurit di negara maju seperti AS. Sebab, Indonesia masih lebih mengedepankan jumlah pasukan yang banyak. (Yohanes Sulaiman)
Pengembangan SDM sudah dibuat imbang antara pembangunan personalia dan perkembangan teknologi terkini. TNI juga tetap menjaga agar kondisi operasi saat ini tetap berjalan sembari memperbaiki teknik operasi yang terkini yang dihadapkan pada luasnya jenis operasi.
Belum ideal
Pengamat pertahanan dari Universitas Jenderal Ahmad Yani, Yohanes Sulaiman, berpendapat, rekrutmen TNI masih jauh dari ideal apabila dibandingkan dengan pola perekrutan prajurit di negara maju seperti AS. Sebab, Indonesia masih lebih mengedepankan jumlah pasukan yang banyak.
Orientasi pengadaan sumber daya manusia di TNI berfokus pada pendekatan teritorial berdasarkan jumlah tentara per meter persegi. ”Sedangkan kalau di AS itu pengadaan prajurit TNI fokusnya pada misi sehingga jelas tujuannya apa,” katanya.
Dampak dari besarnya kuantitas prajurit TNI itu, lanjutnya, adalah banyaknya prajurit berpangkat kolonel dan bintang satu yang tidak memiliki jabatan. Terkait dengan perubahan kurikulum di lembaga pendidikan, menurut Yohanes, sampai saat ini di TNI masih kurang. Tidak ada sekolah spesialisasi khusus bagi prajurit.
Baca juga: Pekerjaan Rumah Menata SDM TNI
Praktik yang lazim dijalankan adalah prajurit yang berasal dari lulusan S-1 bidang hukum dan politik, mereka difokuskan menjadi birokrat biro hukum di tentara. Namun, hal itu tidak terlalu dibutuhkan dalam tupoksi perang tentara karena tidak berkaitan dengan perang.
Untuk mengembangkan kurikulum itu, lanjut Yohanes, diperlukan kejelasan visi dan komitmen dari Panglima TNI. Presiden juga harus memiliki visi dan misi yang jelas dan keberanian untuk mengubah kurikulum yang disesuaikan dengan tantangan perang masa depan.