Kritik Kinerja Polri, dari Penegakan Hukum hingga Penyalahgunaan Wewenang
Sejak Januari hingga September 2023, Kompolnas menerima 1.150 saran dan keluhan terkait kinerja Polri. Sebanyak 1.098 di antaranya keluhan tentang buruknya pelayanan Polri.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
Kepolisian Negara RI atau Polri tak pernah lepas dari sorotan. Kritik, aduan, serta protes dari masyarakat selalu muncul bagi Korps Bhayangkara ini. Tidak sedikit yang kecewa dengan kinerja kepolisian karena buruknya pelayanan, perlakuan diskriminatif, hingga penyalahgunaan wewenang.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly saat acara Konsultasi Publik Bersama Organisasi Advokat dan Praktisi Media Massa, Selasa (3/10/2023), mengungkapkan, hingga September 2023, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menerima 1.150 saran dan keluhan dari masyarakat. Sebanyak 1.098 laporan di antaranya tentang pelayanan buruk Polri.
Di luar itu, ada 45 laporan masyarakat tentang penyalahgunaan wewenang, 1 laporan dugaan korupsi, 4 aduan perlakuan diskriminatif, dan 2 laporan penggunaan diskresi yang keliru.
”Dari pengaduan dan keluhan masyarakat itu, yang terbanyak adalah penanganan pada penegakan hukum (reserse), yaitu sekitar 97 persen,” kata Yasonna.
Untuk menindaklanjuti laporan itu, Kompolnas sudah turun ke lapangan guna mengumpulkan data. Kompolnas bahkan sampai mengikuti gelar perkara dan sidang kode etik Polri.
Kompolnas juga mengklarifikasi dengan meminta data ataupun keterangan kepada anggota dan pejabat di lingkungan Polri, instansi pemerintah, masyarakat, dan pihak lain, yaitu organisasi advokat dan praktisi media massa.
Yasonna menyebut, untuk mengatasi masalah yang dikeluhkan publik itu, Kompolnas tidak bisa bekerja sendiri. Kompolnas harus bisa bekerja sama dengan Polri. Semua masukan akan disampaikan kepada institusi Polri agar terus memperbaiki kinerja, pelayanan publik, penegakan hukum, dan tugas lain sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Dari pengaduan dan keluhan masyarakat itu, yang terbanyak adalah penanganan pada penegakan hukum (reserse), yaitu sekitar 97 persen.
Kasus-kasus viral yang menjadi perhatian publik, seperti tewasnya pengawal pribadi Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Utara, Brigadir Setyo Herlambang (30), saat tengah membersihkan senjata apinya juga menjadi perhatian dari Kompolnas. Kompolnas telah mengingatkan anggotanya tentang prosedur operasi standar pembersihan senjata. Yasonna mengatakan, terkait hal itu, Kompolnas juga meminta masukan dari advokat dan media massa.
Sebelumnya, Tim Percepatan Reformasi Hukum juga merekomendasikan penguatan fungsi Kompolnas dengan merevisi Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Kompolnas. Terkait rekomendasi itu, Yasonna mengatakan bahwa masukan itu akan didorong kepada Presiden agar dibahas secara internal oleh pemerintah. Sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), ia bisa mengharmonisasi aturan tersebut.
”Sekarang ini, kerja sama antara Kompolnas dan Polri sudah lebih baik. Dalam mencapai tujuan, kerja sama itu penting tanpa mengabaikan profesionalisme Kompolnas,” ucapnya.
Komunikasi dan transparansi
Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto menambahkan, evaluasi dari Kompolnas terkait aduan itu adalah Polri perlu memperbaiki dua hal. Pertama, aspek komunikasi publik. Ketika pelapor bertanya-tanya kepada petugas pelayanan publik harus dijawab. Surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SPPHP) harus diberikan. Ini karena jika tidak ada informasi mengenai kasus hukum, pelapor akan protes.
”Kalau ada kendala penyidikan, tolong disampaikan seperti contohnya meminta keterangan dari instansi lain, ahli lain. Publik harus tahu kalau ada hambatan seperti itu,” kata Benny.
Adapun aspek kedua yang perlu diperbaiki adalah transparansi. Penyidik Polri diminta transparan menyampaikan kepada pelapor ataupun pengacara, kecuali hal-hal yang sedang dalam proses dan perlu kerahasiaan. Pelapor hanya perlu mengetahui perkembangan dari kasus yang sedang ditangani. Jika diinformasikan secara terbuka kepada masyarakat, tentu hal itu akan sangat diapresiasi.
”Kami menemukan satu inovasi di Makassar, kasatreskrim itu membuka diri dengan masyarakat dengan membuat grup WA. Semua pelapor masuk ke situ. Setiap pagi, para pelapor bertanya kasusnya sudah sampai mana. Di situ, semuanya menjawab sehingga bisa saling mengontrol,” ucapnya.
Fenomena saling kontrol itu disebut Benny sebagai bentuk pengawasan melekat. Sebab, atasan bisa mengontrol bawahannya dalam satu grup WA. Jika bawahan tidak menjawab, akan diketahui secara langsung. Begitu pula jika ada intervensi kasus oleh atasan, hal itu diharapkan juga bisa terpantau.
Sementara itu, terkait dengan kasus kematian asisten pribadi Kapolda Kaltara, menurut Benny, Kompolnas sudah turun ke lapangan dua kali untuk menggelar rekonstruksi serta mengundang saksi ahli. Mereka juga sudah mengundang pengacara dan kedua orangtua korban. Ia meminta masyarakat untuk bersabar sampai penyidik menyelesaikan proses investigasi kasus kriminal berbasis ilmiah (scientific crime investigation).
Penyidik Polri juga sedang mengecek DNA di lokasi, ponsel korban, dan akan mengundang keluarga korban dan pengacaranya. Namun, analisis ini belum selesai sehingga tidak bisa disampaikan hasilnya kepada publik.
”Kami sudah sampaikan kepada Polri percepatan proses hukum kasus-kasus yang menjadi atensi publik. Sebab, publik sudah tidak sabar menunggu. Kami minta agar kasus dituntaskan segera sehingga kami bisa menyampaikan kepada publik hasilnya apa sampai menunggu proses persidangan,” ucap Benny.