Jaga Legitimasi Pemilu, KPU Diminta Tindak Lanjuti Putusan MA
Sejumlah pakar hukum tata negara menyarankan Komisi Pemilihan Umum untuk menindaklanjuti putusan uji materi Peraturan KPU yang diputus oleh Mahkamah Agung.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum meminta masukan dari lima pakar hukum terkait dengan tindak lanjut dua putusan uji materi Peraturan KPU yang diputus MA. Secara umum, para pakar menyarankan agar putusan itu segera ditindaklanjuti agar tidak menggerus legitimasi pemilu. KPU masih mempertimbangkan masukan itu.
Anggota KPU Mochammad Afifuddin, Senin (2/10/2023), mengatakan untuk membahas langkah-langkah setelah putusan uji materi MA Nomor 24 P/HUM/2023 tentang 30 persen keterwakilan perempuan dan Putusan MA Nomor 28P/HUM/2023 tentang syarat masa jeda mantan terpidana, KPU meminta saran dari lima pakar hukum tata negara dan hukum administrasi negara (HTN-HAN).
Mereka adalah Guru Besar Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono, Guru Besar Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Umbu Rauta, pengajar Fakultas Hukum Universitas Udayana Jimmy Z Usfunan, pengajar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Solo Agus Riewanto, dan pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Oce Madril.
”Poin diskusi dititiktekankan pada sejauh mana keberlakukan kedua putusan MA tersebut dan pilihan langkah apa saja yang dapat dilakukan sebagai tindak lanjut putusan dengan pertimbangan tahapan dan jadwal pencalonan DPR dan DPD yang sudah masuk di tahap penetapan daftar calon sementara,” ujar Afifuddin.
Bayu Dwi Anggono mengatakan, ia diminta menjelaskan implikasi hukum terhadap pasal yang telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Selain itu, juga pasal yang telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat oleh MA. Ia menyatakan karena sifat putusan MA final dan mengikat, tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh oleh KPU.
”Sehingga KPU sebagai lembaga negara yang terikat pada nilai konstitusi dan termasuk asas kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu wajib sifatnya untuk melaksanakan putusan MA,” kata Bayu.
Bayu menilai dari pembicaraan dengan KPU terlihat ada upaya baik dari para anggota KPU untuk melaksanakan putusan MA itu. Sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2013, termohon memiliki waktu 90 hari untuk menindaklanjuti putusan MA. Jika tidak ada revisi terhadap peraturan yang dibatalkan, otomatis norma tersebut tidak memiliki kekuatan hukum.
”Saya lihat KPU tidak menggunakan ketentuan 90 hari itu, tetapi menyatakan segera melaksanakan putusan itu. Sebab, semakin menunda, implikasi terhadap penyelenggara pemilu semakin berisiko karena tahapan akan terus berjalan,” terang Bayu.
Terpisah, anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, pada prinsipnya KPU akan melaksanakan prinsip pemilu berkepastian hukum. Setelah mendengar pendapat para ahli, KPU akan melaksanakan tindak lanjut dalam bentuk kebijakan. Putusan MA Nomor 24 P/HUM/2023 telah diterima pada awal September lalu. Adapun, putusan MA Nomor 28 P/HUM/2023 salinan hard copy-nya belum diterima KPU.
”Kami memahami betul bahwa sifat putusan MA adalah final dan mengikat dan kami akan segera tindak lanjuti,” kata Idham.
Saat ditanya apakah setelah ini akan ada revisi Peraturan KPU, Idham mengatakan hal itu akan disampaikan kepada partai politik. Ia justru mendapatkan informasi saat ini parpol sedang mengajukan permohonan fatwa ke MA.
Fatwa disampaikan karena salah satu putusan MA dianggap tidak memenuhi syarat formil karena tidak sesuai dengan hukum acara yang diatur di Pasal 76 UU Pemilu. Pasal itu mengatur tentang batas waktu permohonan uji materi PKPU yang tidak boleh lebih dari 30 hari sejak PKPU diundangkan.
Sementara itu, Afifuddin menuturkan, KPU masih akan mematangkan masukan dari para ahli untuk merumuskan tindak lanjut dua putusan MA. Tim internal KPU akan membahas dan mematangkan saran dari para pakar tersebut. Apabila telah rampung, KPU segera mengumumkan tindak lanjut tersebut
Fatwa MA
Bayu menambahkan, dari KPU memang ada kekhawatiran soal syarat formil putusan MA nomor 28. Hal itu karena pengujian norma pasal dianggap sudah kadaluwarsa karena lebih dari 30 hari sejak PKPU diundangkan. Karena ada keraguan, Bayu meminta agar hal itu tidak ditafsirkan sendiri oleh KPU.
”Saya bilang minta fatwa ke MA, karena MA sesuai UU MA itu bisa memberikan fatwa ketika ada permintaan dari lembaga negara,” ujarnya.
Agus Riewanto menuturkan, terkait dengan putusan MA, yang paling penting sebenarnya adalah substansi putusan. Syarat formil hukum acara bisa dikesampingkan karena putusan MA bersifat final dan mengikat.
Seharusnya KPU melaksanakan saja putusan itu. Sebab, jika putusan itu tidak dilaksanakan atau ditindaklanjuti, justru mereka berpotensi akan digugat di kemudian hari oleh pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil pemilu.
”Memang tidak mudah melaksanakan dua putusan MA itu. Sebab, KPU harus berhadapan dengan berbagai aspek. Ada calon-calon yang sudah sosialisasi, kemudian mengganti calon legislatif perempuan itu juga tidak mudah. Ada risiko juga yang harus dihadapi dengan para pemohon,” kata Agus.
Senada dengan itu, Bayu juga mengatakan isu syarat formil sebenarnya bukanlah isu krusial. Sebab, sifat putusan MA adalah final dan mengikat. Mengawal isu syarat formil dan hukum acara sudah menjadi kewenangan dari Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial.
Juru Bicara Mahkamah Agung Suharto mengaku belum menerima permintaan fatwa MA dari parpol maupun KPU. Sesuai aturan, permintaan fatwa MA diajukan melalui surat resmi kepada Ketua MA. ”Belum ada. Kami tunggu saja perkembangannya,” ujar Suharto.
Bayu berpandangan, putusan MA bersifat prospektif atau berlaku setelah putusan itu diucapkan. Segala sesuatu yang sudah dilakukan KPU sebelumnya harus diperbaiki sesuai dengan amar putusan MA. Hal yang sama juga terjadi pada saat penyesuaian jadwal pendaftaran capres dan cawapres di mana KPU harus menyesuaikan jadwal dengan norma baru di Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemilu.
”Kalau ada itikad baik, solusi hukum pasti ada. Justru kalau tidak dilaksanakan seperti bom waktu. Legitimasi pemilu akan jadi pertaruhan ketika ada pihak-pihak yang kalah dalam pemilu,” tegas Bayu.